Rabu, 26 September 2012

Pendahuluan Aqidah

PENDAHULUAN AQIDAH A. Pengertian Aqidah Aqidah menurut bahasa berasal dari bentukan kata عَقـَدَ- يَعْقـِدُ- عَقـْدًا yang mempunyai beberapa arti, antara lain : a. Ikatan ( الربط ) seperti dalam kalimat عَقَدَ الحَبْلَ artinya : Ia mengikatkan atau menyimpulkan tali. Ikatan tali itu disebut عُقْدَة , dalam QS. Al-Falaq digunakan dalam bentuk jama’: وَمِنْ شَرِّ النّفَّثّتِ فِي العُقَدِ) ) “Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul” (QS. al-Falaq/113: 4) b. Perjanjian atau akad (العقد ) seperti dalam ayat : يآاَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ)) “Hai Orang-orang beriman, penuhilah akad-akad itu”(QS. al-Maidah/5 :1) c. Tekad Hati (عزم القلب ) seperti dalam ayat : (لاَيُؤَاخِذُكُمُ اللهُ بِاللَّغْوِ فِى أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الأَيْمَانَ) “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak (untuk bersumpah). Tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja”. (QS. al-Maidah/5 : 89). Aqidah menurut istilah agama Islam sebagaimana disebutkan oleh Umar Sulaiman Al-Asyqar dalam bukunya Al-'AQidah Fillah adalah : الأُمُوْرُ الَّتِى تُصَدِّقُ بِهَا النُّفُوْسُ وَتَطْمَئِنُّ اِلَيْهَا الْقُلُوْبُ وَتَكُوْنُ يَقِيْنًا عِنْدَ أَصْحَابِهَا لاَيُمَازِجُهَا رَيْبٌ وَلاَ يُخَالِطُهَا شَكُّ “Perkara-perkara yang dibenarkan jiwa, dan hati merasa tenang karenanya serta menjadi suatu keyakinan bagi pemiliknya yang tidak dicampuri keraguan sedikitpun”. Definisi ini sejalan dengan definisi yang diungkapkan Dr. Ibrahim bin Muhammad Al-Buraikan dalam bukunya Al-Madkhal Li Dirasati Al-Aqidah Al-Islamiyyah 'Ala Madzhabi Ahli As-Sunnah Wa Al-Jama'ah . Menurut beliau 'aqidah adalah : الإِيْمَانُ الَّذِي لاَ يَحْتَمِلُ النَّقِيْضَ " Keimanan yang tidak mengandung kontra " . Kata "iman" di sini, berarti pembenaran. Kata "tidak menagndung kontra" berarti : tidak ada sesuatu selain iman dalam hati sang hamba, tidak ada asumsi selain bahwa ia beriman kepada-Nya. Maka semua asumsi akan adanya kontra seperti keraguan, dugaan, waham, ketidak tahuan, kesalahan, kelupaan, tidak termasuk dalam batasan ini. Dari dua definisi yang dikemukakan di atas, jelas bahwa inti dari aqidah menurut Islam adalah keyakinan yang tidak dicampuri atau tidak mengandung keraguan, dugaan dan semacamnya. Dalam hal ini keyakinan tentang beberapa perkara yang disebutkan Allah dan Rasul-Nya, bukan sembarang keyakinan. Beberapa perkara yang harus diyakini setiap muslim inilah yang disebut dengan pokok-pokok aqidah atau rukun iman sebagaimana disebutkan Rasulullah saw. dalam haditsnya yang terkenal dengan hadits Jibril : الاِيْمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ ، وَمَلاَئِكَتِهِ ، وَكُتُبِهِ ، وَرُسُلِهِ ، وَالْيَوْمِ الأَخِرِ ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ (رواه مسلم). “Iman itu adalah bahwa engkau beriman kepada Allah, Malaikat-malikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan engkau beriman kepada qadar yang baik dan yang buruk”. (HR. Muslim). Kalau diperhatikan perkara-perkara yang harus diyakini itu bersifat gaib sebagaimana firman Allah tentang sifat-sifat orang mukmin : الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ Artinya : (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib (QS. al-Baqarah/2 : 3) Allah gaib, malaikat gaib, demikian juga hari akhir. Sedangkan kitab dan rasul, sepintas bukan gaib karena bisa dilihat, tetapi yang dimaksud adalah mengimani kaitannya dengan Allah. Yaitu bahwa Rasul diutus oleh Allah dan kitab-kitab diturunkan oleh Allah, ini adalah hal yang gaib. Karena perkara-perkara itu suatu yang gaib maka untuk menjadi keyakinan, perkara-perkara itu harus kita benarkan dengan pembenaran yang kokoh tidak mengandung keraguan sedikitpun. Jika mengandung keragu-raguan atau kebimbangan, itu namanya Zhan (dugaan/sangkaan), bukan aqidah. Ini sesuai dengan firman Allah : اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ أَمَنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا وَجَاهَدُوْا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِى سَبِيْلِ اللهِ ، أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُوْنَ. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka bejihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar”. (QS. Al-Hujurat/49 : 15) Firman-Nya lagi : الم ، ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَرَيْبَ فِيْهِ “Alif Laam Miim..Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya” (QS. al-Baqarah/2 :1) Dan firman-Nya lagi : رَبَّنَا اِنَّكَ جَامِعُ النَّاسِ لِيَوْمٍ لاَرَيْبَ فِيْهِ “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia (untuk menerima pembalasan) pada hari yang tak ada keraguan padanya” (QS. Ali Imran/3 : 9). Aqidah dalam Islam adalah pasangan syari’ah, karena Islam adalah aqidah dan syari’ah. Syari’ah adalah kewajiban-kewajiban praktis dalam Islam yang harus dilakukan seseorang dalam ibadah dan mu’amalah. Sedangkan aqidah bukan perkara-perkara yang bersifat praktis, tetapi perkara-perkara yang bersifat teoritis yang harus diyakini seseorang dengan hatinya, karena Allah menyampaikannya melalui al-Qur’an atau melalui wahyu kepada Rasulullah saw. Aqidah secara umum terbagi menjadi dua : 1. ‘Aqidah Shahihah (aqidah yang benar), yaitu aqidah yang bersumber dari Allah SWT, yang dibawa para Rasul-Nya pada zaman dan tempat manapun juga. Pada dasarnya aqidah yang dibawa para Rasul itu satu, karena sumbernya satu. Tidak terbayangkan aqidah yang sumbernya satu itu berbeda dari seorang Rasul dengan Rasul yang lain, atau berbeda dari satu zaman dengan zaman yang lain. 2. ‘Aqidah Fasidah (aqidah yang salah), yaitu aqidah yang bersumber pada akal fikiran manusia. Setinggi apapun derajat manusia, maka ilmunya tetap terbatas dan terpengaruh oleh adat istiadat, pemikiran-pemikiran orang lain dan hawa nafsunya sendiri. Rusaknya aqidah itu bisa juga karena adanya penyimpangan dan perubahan walaupun asalnya benar, seperti aqidah agama Yahudi dan Nasrani di masa sekarang yang keduanya sudah mengalami penyimpangan dan perubahan sejak masa yang lama. Aqidah yang benar sekarang ini hanya terdapat dalam Islam, karena Islam adalah agama yang terpelihara, yang Allah menjamin kemurniannya. Firman Allah : ِانَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya (QS. al-Hijr/15 : 9). Hubungan aqidah dengan Iman adalah bahwa aqidah merupakan basis dan sumber keimanan. Sedangkan iman adalah aqidah yang melekat kuat dalam hati, yang diikrarkan oleh penganutnya dengan lisannya dan dibuktikan dengan amal dan perbuatannya sesuai dengan tuntutan aqidah. Aqidah yang melekat dalam hati, tapi tidak ada wujudnya dalam amal nyata adalah aqidah yang kosong, tidak pantas dikatakan aqidah. Kita banyak melihat orang yang mengetahui kebenaran yang sesungguhnya, tetapi mereka tidak membentuk kehidupan mereka sesuai dengan kebenaran yang mereka ketahui, bahkan kadang-kadang menentang dan memerangi kebenaran yang mereka yakini. Orang semacam ini adalah seperti Iblis yang mengetahui Allah, mengetahui kebenaran para Rasul dan kitab-kitab-Nya yang dibawanya, tetapi dia berjanji untuk memerangi kebenaran yang diketahuinya. Fir’aun meyakini bahwa mukjizat yang dibawa nabi Musa as. adalah bersumber dari Allah, tetapi dia mengingkari dan menentangnya karena kesombongannya (QS. an-Naml/27 : 14). Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengetahui bahwa Muhammad saw. adalah seorang Nabi dan Rasul Allah, tetapi mereka tidak mengakuinya. Begitu juga Abu Thalib, mengetahui bahwa agama yang dibawa keponakannya Nabi Muhammad saw. adalah agama yang paling baik, tetapi dia tidak beriman karena takut dicela kaumnya. Jadi Iman adalah bukan hanya sekedar mengetahui atau mengenal Allah, tetapi Iman ialah aqidah yang melekat pada hati penganutnya, diikrarkan dan dinyatakan oleh lidahnya dan dia rela diatur dan dibentuk oleh pedoman Allah, oleh karena itu Ulama Salaf berkata : الاِيْمَانُ : اِعْتِقَادٌ بِالْجِنَانِ ، وَنُطْقٌ بِاللِّسَانِ ، وَعَمَلٌ بِالأَرْكَانِ. “Iman adalah meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan, melaksanakan dengan anggota badan”. B. Nama-Nama yang Berkaitan dengan Aqidah 1. Iman Iman menurut bahasa adalah at-tashdiq atau membenarkan sedangkan menurut ajaran Islam Iman adalah meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan melaksanakan dengan anggota badan. Aqidah dikatakan Iman karena keduanya sangat berkaitan erat yang tak dapat dipisahkan, dimana Aqidah menuntut adanya Iman, dan Iman mengandung Aqidah. 2. Tauhid Tauhid berasal dari kata وَحََدَ- يُوَحِّدُ- تَوْحِيْدًا yang berarti menyatukan, kemudian dalam makna ini dalam Ilmu Tauhid digunakan untuk menunjukkan suatu yang tunggal dan istimewa, karena Esanya Allah bukan karena ada yang menjadikan-Nya satu. Jadi kata Al-Wahid adalah individu yang memiliki kekhususan-kekhususan tersendiri. Sedangkan tauhid menurut ajaran Islam adalah meng-Esa-kan Allah sebagai Tuhan (Rububiyyah), sebagai sembahan (Uluhiyyah), dengan segala nama, sifat dan perbuatannya. Ilmu Aqidah dinamakan Ilmu Tauhid karena permasalahan terbesar Ilmu Aqidah adalah masalah tauhid. 3. Ushuluddin Ushuluddin atau Ushul ad-addien terdiri dari dua kata Ushul dan ad-dien. Ushul bentuk jamak dari Ashl yang menurut bahasa Arab berarti sesuatu yang di atasnya sesuatu yang lain dibangun, misalnya fondasi rumah. Sedangkan pengertian terminologinya adalah sesuatu yang mempunyai cabang. Tapi dalam terminologi syariat Islam kata Ushul antara lain digunakan dengan arti kaidah (dasar) yang kokoh. Sedang kata ad-dien dalam bahasa Arab berarti ketundukan dan kepasrahan. Dalam terminologi Syariat Islam, ad-dien berarti melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan atau mentaati Allah dan Rosul-Nya. Dengan demikian Ushuluddin berarti kaidah-kaidah umum yang besar yang dengannya ketaatan kepada Allah dan Rosul-Nya serta ketundukan terhadap perintah dan larangan-Nya teraplikasikan. Makna ini tentu saja hanya dapat diterapkan untuk ilmu aqidah. Ilmu aqidah dikatakan Ushuluddin karena ajaran Islam yang lain ditegakkan di atasnya. 4. Al-Fiqhu al-Akbar Yang pertama sekali menggunakan istilah ini untuk Ilmu aqidah adalah Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Zauthi pada abad kedua Hijriyah ketika menulis sebuah buku tentang “Aqidah Kaum Salaf”. Al-Fiqh dalam bahasa Arab berarti pemahaman, kata ini kemudian digabung dengan kata al-akbar yang digunakan dalam arti pokok-pokok agama Islam untuk membedakannya dari kata al-Fiqhu al-Ashghar yang biasa digunakan untuk menunjukkan ilmu tentang yang halal dan yang haram beserta berbagai masalah Furu’dalam Islam. Ilmu Aqidah dikatakan al-Fiqhu al-Akbar karena Aqidah merupakan masalah paling besar dan paling penting dalam keseluruhan ajaran Islam. 5. As-Sunnah Kata as-Sunnah dalam bahasa arab berarti cara (thariqah) dan jalan hidup (siroh). Menurut Ulama hadits, as-Sunnah berarti: “perkataan, atau perbuatan, atau persetujuan atau diskripsi yang dinisbatkan kepada Rosulullah saw”. Ulama Ushul fiqh mendefinisikan As-sunnah sebagai : “sesuatu yang diperintahkan oleh pembuat syari’at tapi tidak bersifat wajib” Ulama Fiqh mendefinisikan As-sunnah sebagai : “Suatu perbuatan yang bila dilaksanakan maka pelakunya akan mendapat pahala, dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa”. Sedang Ulama Aqidah Islam mendefinisikan : “Sebagai salah satu sumber penerimaan aqidah Islam yang benar dan salah satu metode dasar menetapkan muatan-muatannya’. Oleh sebab itu, sebagian Ulama Salaf mengartikan As-sunnah dengan Ittiba‘ (meneladani Rosulullah saw), sementara sebagian yang lain mengartikannya dengan Islam. Kedua pengertian ini tentu saja tidak saling bertentangan, sebab Islam adalah ungkapan dari aqidah yang benar, sedang ittiba’ adalah ungkapan dari metode penerimaan ajaran aqidah yang benar. Dengan demikian, maka arti As-sunnah adalah : “mengikuti aqidah yang benar yang telah ditetapkan berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah”. Aqidah dinamakan as-Sunnah karena aqidah yang benar bersumber kepada as-Sunnah yang merupakan penjelas al-Qur’an. Di antara Ulama yang menggunakan definisi ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal, putera beliau Abdullah bin Ahmad dan Ibnu Abi’Ashim. C. Sumber Aqidah Islam Yang dimaksud dengan sumber Aqidah Islam adalah metode yang harus ditempuh dalam menetapkan muatan-muatan Aqidah Islam. Metode inilah yang telah ditempuh kaum Salaf dalam menetapkan substansi Aqidah Ilahiyah. Ada tiga sumber Aqidah Islam yang akan dibahas di sini, yaitu : al-Qur’an, as-Sunnah dan Akal Sehat. 1. Al-Qur'an Al-Qur'an adalah kalamullah ( firman Allah ) yang sebagai mukjizat yang diturunkan kepada hati Nabi Muhammad saw. , diriwayatkan secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah. Al-Qur'an adalah sumber pertama seluruh kandungan syari'at Islam, baik yang bersifat prinsipil maupun furu'. Semua sumber syari'at Islam yang lain adalah sumber yang sepenuhnya merujuk kepada Al-Qur'an. Al-Qur'an merupakan wahyu Allah SWT yang paling utama, semua kandungannya adalah kebenaran dan kejujuran semata. Firman-Nya : وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ قِيلًا " Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah ". ( QS. An-Nisa'/4 : 122) Allah SWT telah berjanji untuk menjaga kemurnian dan keabsahan Al-Qur'an sepanjang masa, sesuatu yang tidak dilakukannya untuk kitab-kitab samawi yang lain. Firman-Nya : إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ " Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya ". (QS. Al-Hijr/15 : 9) Salah satu bukti penjagaan itu ialah pola penyampaian dan pewarisan Al-Qur'an dari generasi ke generasi yang bersifat mutawatir (diriwayatkan oleh jumlah yang banyak sehingga mustahil terjadi kebohongan). Di samping penyampaian dan pewarisan lafaz Al-Qur'an begitu kuatnya, maka seperti itu pulalah yang terjadi bagi maknanya. Ini bisa dilihat dari betapa besar perhatian kaum muslimin termanifestasikan dalam warisan raksasa Ulumul Qur'an. IlmuTafsir, Qiraat, Tajwid, Nasikh Mansukh, Asybah dan Nazha-ir, Gharibul Qur'an, telah mewariskan Al-Qur'an – dengan segala lafaz dan maknanya – kepada kita secara sempurna, tanpa sedikitpun celah yang mungkin membuat kita ragu dan skeptis, bahwa Al-Qur'an yang kini berada di tangan kita adalah benar-benar kalam Allah yang telah diturunkan kepada Rasulullah saw. Selanjutnya, dalam menjelaskan masalah aqidah, Al-Qur'an menempuh dua metode : Pertama, menempatkan ayat-ayat yang membawa muatan-muatan aqidah pada suatu alur yang bersifat berita-berita aksiomatis, yang kejelasannya telah sampai pada tingkat yang tidak mungkin diingkari oleh siapapun juga. Kedua, menempatkan ayat-ayat yang membawa muatan-muatan aqidah pada suatu alur yang sejalan dengan alur logika akal sehat yang benar. Misalnya firman Allah SWT. : لَوْ كَانَ فِيهِمَا ءَالِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا "Andaikan ada pada keduanya (langit dan bumi) Tuhan selain Allah, niscaya rusaklah keduanya ". (QS. Al-Anbiya'/21 : 22) Maksudnya, jika ada Tuhan selain Allah di langit dan di bumi, tentu keduanya pasti rusak. Tapi, ternyata sampai kini keduanya belum rusak. Maka kesimpulannya , tidak ada Tuhan selain Allah di langit dan bumi. 2. As-Sunnah As-Sunnah adalah wahyu kedua sebagaimana Rasulullah saw. menyebutkannya begitu dalam sabdanya : أَلاَ إِنِّيْ أُوْتِيْتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ " Sungguh aku telah diberi Al-Qur'an dan sesuatu yang seperti itu ". (HR. Ahmad) Maksud dari kalimat "dan sesuatu yang seperti itu " adalah As-Sunnah. Kata 'hikmah' dalam ayat berikut juga diartikan oleh Imam Syafe'i dan ulama lainnya dengan As-Sunnah : وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ " Dan agar dia mengajarkan al-Kitab dan hikmah kepada mereka " (QS. Al-Jumu'ah/62 : 2) Jadi Sunnah berada pada peringkat kedua setelah Al-Qur'an. Sunnah merupakan wahyu yang penjelasannya bersifat independen dan mempunyai kedudukan yang sama dengan Al-Qur'an dari segi kewajiban melaksanakan muatan ajarannya. Firman Allah : وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا " Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah ". (QS. Al-Hasyr/59 : 7) As-Sunnah adalah penjelasan dan tafsir yang dapat menyingkap rahasia, muatan dan hukum yang terdapat dalam Al-Qur'an. Ia menafsirkan ayat-ayat yang masih bersifat umum dan menjelaskan ayat-ayat yang masih samar. Semua sunnah yang datang dari Rasulullah saw, adalah upaya menyampaikan Al-Qur'an. Maka ia sepenuhnya kebenaran dan kejujuran, bahkan ia merupakan kalam terfasih setelah kalam Allah. Orang yang tidak fasih tentu tidak dapat memberikan penjelasan yang sempurna. Rasulullah saw. telah menjelaskan semua yang diwahyukan kepada beliau hingga tiba saatnya Allah menyempurnakan agama ini. Tak ada sesuatu yang samar atau tersembunyi dari semua penjelasan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat mereka yang tidak beliau jelaskan. Allah berfirman : الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا " Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah kucukalupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu " (QS. Al-Maidah/5 : 3) Salah satu faktor terkuat yang memelihara keabsahan sunnah adalah metode sanad dan kritik sanad. Ini merupakan keistimewaan tersendiri bagi umat ini yang tidak ditemukan pada umat-umat lain. Ibnul Mubarak berkata : " Metode sanad ini adalah agama, maka telitilah dari siapakah kalian mengambil agama kalian. " Dari segi keabsahannya, sunnah dibagi dalam dua jenis : sunnah mutawatir dan sunnah al-Aahaad. Sunnah mutawatir adalah sunnah yang diriwayatkan oleh sekelompok perawi yang jumlah itu dianggap mustahil dapat melakukan kebohongan secara bersama. Sedangkan al-Aahaad adalah bila jumlah perawinya tidak sebanyak perawi sunnah mutawatir. Para ulama sepakat bahwa sunnah mutawatir merupakan hujjah dalam Ilmu Aqidah dan Tauhid dan mempunyai nilai ilmu dan yakin. Sedangkan tentang sunnah al-Aahaad mereka berbeda pendapat dalam hal : apakah menyatakan keabsahan riwayat setingkat ilmu dan yakin (mutlak) ? , dan karenanya dapat dijadikan hujjah dalam ilmu aqidah dan tauhid atau tidak ? Jumhur (mayioritas) ahli Kalam menyatakan sunnah al-aahaad tidak menyatakan keabsahan yang setingkat dengan ilmu dan yakin, sehingga ia tidak dapat dijadikan hujjah dalam ilmu aqidah dan tauhid. Akan tetapi jumhur ulama Salaf menyatakan keabsahan setingkat ilmu dan yakin dan karenanya merupakan hujjah dalam ilmu aqidah dan tauhid. Mazhab ulama Salaf itu dilandaskan pada sejumlah dalil naqli (wahyu) dan aqli (akal). Adapun dalil naqlinya adalah bahwa ayat-ayat yang memerintahkan kita mengikuti Sunnah Rasul bersifat mutlak dan umum. Misalnya ayat-ayat berikut : وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ " Dan taatlah pada Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat " . (QS. Ali Imran/3 : 132) فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih". (QS. An-Nur/24 : 63) Adapun dalil aqlinya, penjelasannya sebagai berikut : 1) Bila ada sesuatu yang dibolehkan bagi satu dari dua hal yang serupa, maka itu juga harus dibolehkan bagi yang lain. Dalam kaitan ini, Al-Qur'an dan Sunnah adalah dua hal yang serupa dari segi bahwa keduanya adalah wahyu. Maka bila salah satunya dapat dijadikan hujjah dalam satu masalah, yang lainpun harus dapat dijadikan hujjah. Di sini, Al-Qur'an adalah hujjah dalam ilmu aqidah dan tauhid, maka sunnah – dengan segala jenisnya - juga harus dijadikan hujjah dalam ilmu tersebut. 2) Zhan (persangkaan) adalah saudara kadzib (kebohongan) sebagaimana dinyatakan : إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا "Sesungguhnya zhan (persangkaan) itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran." (QS. Yunus/10 : 36) Maka haram menjadikan zhan sebagai hujjah. Jika kita mengatakan bahwa sunnah al-aahaad itu mempunyai nilai atau derajat zhan berarti ia tidak berguna sedikitpun untuk mencapai kebenaran. Kesimpulan ini tentu saja salah. Maka kita harus menetapkan kebenaran kontranya, yaitu bahwa khabarul wahid mempunyai nilai yakin. 3. Akal Sehat a. Definisi Akal Kata 'Aql dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti, di antaranya : Ad-diyah (denda), Al-Hikmah (kebijakan), Husnut Tasharruf (tindakan yang baik atau yang tepat). Secara terminologis, 'Aql (selanjutnya ditulis akal) digunakan untuk dua pengertian: Pertama, aksioma-aksioma rasional dari pengetahuan-pengetahuan dasar yang ada pada setiap manusia. Kedua, kesiapan bawaan yang bersifat instinktif dan kemampuan yang matang. Akal merupakan 'ardh atau sifat yang ada dalam diri manusia yang bisa ada dan bisa hilang. Sifat itu dijelaskan oleh Rasulullah saw. dalam salah satu sabdanya : وَالْمَجْنُوْنُ حَتَّى يَعْقِلَ "…..dan orang gila sampai ia kembali berakal." Ia adalah instink yang diciptakan oleh Allah SWT kemudian diberi muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas kepemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan Allah. Firman-Nya : وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آَدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, (QS. Al-Isra'/17 : 70) b. Sikap Manusia terhadap Akal Ada tiga aliran manusia dalam mensikapi penggunaan akal sehat sebagai dalil. Pertama, aliran Rasionalisme yang dianut para filosof bersama para pengikut mereka dari kalangan Mu'tazilah. Prinsip-prinsip aliran ini dapat diringkas sebagai berikut : 1) Akal adalah dasar dan sumber semua dalil. 2) Akal didahulukan atas syariat. 3) Tingkat kebenaran dalil akal adalah Yaqiniyyah ( mutlak ) sedang dalil syar'i adalah Zhanniyyah ( praduga ). 4) Balasan pahala dan dosa sepenuhnya ditentukan oleh akal. 5) Kriteria baik dan buruk dari sutau perbuatan ditentukan akal. 6) Akal sudah dapat menentukan hukum sebelum datangnya wahyu, maka akal dapat menentukan hukum halal dan haram. 7) Manusia yang hidup pada masa antara nabi Isa as. dengan nabi Muhammad saw. dimana dakwah islam tidak tersampaikan kepada mereka serta semua manusia yang menghadapi kondisi yang sama dengan mereka digolongkan sebagai orang kafir yang akan berada di neraka selamanya. 8) Hukum halal dan haram atas sesuatu adalah substansi yang melekat padanya bukan sifat yang datang setelah turunnya wahyu. 9) Hujiah Allah atas manusia telah berlaku dengan adanya akal. 10) Mengabsahkan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan akal. Misalnya akal mewajibkan Allah menurunkan Rasul, akal mewajibkan berlakunya semua yang terbaik dan lainnya. Sikap-sikap tersebut dapat dibantah dengan dalil-dalil berikut : إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ "Yang menetapkan hukum itu hanyalah Allah." ( QS : al-An'am/6: 57, Yusuf/12 : 40, 67 ) وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ "Dan hendaklah kami memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah." ( QS. Al-Maidah/5 : 49 ). وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak ( pula ) patut bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan satu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan ( yang lain ) tentang urusan mereka”. ( QS. Al-Ahzab/33 : 36 ). Adapun penentuan hukum halal dan haram atas sesuatu adalah sepenuhnya hak syariat. Allah berfirman : وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqarah/2 : 275) قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ “Katakanlah : Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -karena sesungguhnya semua itu kotor- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah”. (QS. Al-An'am/6 145) Seandainya segala sesuatu telah mempunyai hukum substantif (bawaan) tentulah ia sudah haram sebelumnya. Tetapi Allah mengikat sifat haram itu dengan wahyu. Itu menunjukan bahwa hukum haram datang bersama wahyu, bukan sebelumnya. Allah berfirman : قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ “Katakanlah : Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" (QS. Al-A'raf/7 : 32) Ayat ini menunjukkan sebentuk pengingkaran terhadap anggapan adanya hak seseorang mengharamkan sesuatu yang belum diharamkan Allah. Ini berarti bahwa sesuatu tidak dianggap haram kecuali bila Allah sendiri yang mengharamkannya. Penjelasan tersebut membuktikan kesalahan dan kebatilan sifat pertama ini. Kedua, aliran Asy-ariyah (pengikut Abul Hasan al-Asy'ary). Aliran ini mengatakan bahwa penentuan hukum atas sesuatu adalah hak prerogatif syariat, akal tidak mempunyai kekuatan apapun dalam hal ini. Tetapi aliran ini kemudian sangat terpengaruh dengan aliran mu'tazilah, khususnya setelah masa Abul Ma'ali al-juwainy yang menyerap dan mengadaptasi banyak pemikiran mu'tazilah, sehingga mereka mulai memberi posisi yang berlebihan kepada akal, termasuk mendahulukannya atas syariat. Yang pasti bahwa dalil-dalil yang digunakan untuk membantah pendapat Mu'tazailah menunjukkan bahwa penentuan hukum haram dan halal atas sesuatu adalah hak prerogatif syari'at, dan bahwa legitimasi al-Qur'an terhadap penggunaan akal memberi urgensi tersendiri terhadap akal. Karena itu, dalil-dalil ini pun digunakan untuk membantah pendapat Asy'ariyah. Akan tetapi Asy’ariyyah menolak pendapat Mu’tazilah yang menganggap bahwa dalil akal mempunyai nilai kebenaran yaqiniyyah, sebab mereka mengingkari adanya maksud-maksud terpuji dari tindakan-tindakan Allah. Bagi Asy’ariyyah, motivasi tindakan Allah tidak didasari pada hikmah-hikmah tertentu. Maha Tinggi Allah atas apa yang mereka katakan. Di antara yang menunjukkan kebatilan pendapat Asy'ariyyah itu adalah bahwa Allah telah menunjukan hikmah-hikmah dan alasan-alasan tertentu yang melandasi turunnya suatu hukum syari'at dan mengatur hirarki hukum. Allah juga menamakan diri-Nya al-Hakim (Yang Maha Bijaksana), dan mustahil ada Zat Yang Maha Bijaksana tanpa adanya kebijaksanaan (hikmah). Allah juga menyatakan bahwa Dia tidak menciptakan makhluk-makhluk-Nya secara main-main (tanpa tujuan). Firman Allah : وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan benar. (QS. Al-Hijr/15 : 85) Dengan begitu menjadi kebatilan yang terkandung dalam aliran ini. Ketiga, aliran Salaf Aliran ini menempuh jalan pertengahan dan dipelopori oleh banyak ulama besar, seperti Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan lainnya. Muatan pikiran aliran ini secara ringkas dapat disebut sebagai berikut : 1) Akal mempunyai kemampuan mengenal dan memahami yang bersifat global, tidak bersifat detail. 2) Syari'at didahulukan atas akal, karena syari'at itu ma'shum sedang akal tidak ma'shum. 3) Apa yang benar dari hukum-hukum akal pasti tidak bertentangan dengan syari'at. 4) Yang benar dari hasil pemikiran akal itu adalah yang sesuai dengan syari'at. 5) Yang salah dari hasil pemikiran akal itu adalah yang bertentangan dengan syari'at. 6) Penentuan hukum-hukum tafshiliyyah (terinci seperti wajib, haram dan seterusnya), adalah hak prerogatif syari'at. 7) Akal tidak dapat menentukan hukum tertentu atas sesuatu sebelumnya wahyu, walaupun secara umum ia dapat mengenal dan memahami yang baik dan yang buruk. 8) Balasan atas pahala dan dosa ditentukan oleh syari'at. Allah berfirman : وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا “…dan Kami tidak akan meng`azab sebelum Kami mengutus seorang rasul (QS. Al-Isra'/17 : 15) 9) Hasil-hasil pemikiaran akal yang bertentangan dengan syari'at adalah batil. 10) Hasil-hasil pemikiran akal sehat manusia yang bertentangan dengan syari'at bisa disebabkan oleh dua kemungkinan. Mungkin karena syubhat, mungkin juga karena kelemahan dalil syari'at. 11) Kadang-kadang terdapat muatan syari'at yang membingungkan akal, tetapi tidak menolak atau bertentangan dengannya. 12) Kebolehan (halal) adalah hukum dasar segala sesuatu sebelum turunnya hukum syari'at. Allah berfirman : قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ “Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” ) QS. Al-A'raf/7 : 32. 13) Janji surga dan ancaman neraka sepenuhnya ditentukan syari'at. 14) Orang-orang yang hidup antara pada masa antara Nabi Isa as. dan Nabi Muhammad saw. tidak boleh dihukumkan masuk surga atau neraka. Demikian juga orang-orang yang risalah Islam belum sampai kepada mereka. Tetapi sebagaimanan yang dijelaskan Rasulullah saw. dalam sebuah hadits shahih, di hari kiamat nanti mereka akan diuji dengan mengirimkan Rasul kepada mereka. Jika mereka beriman, mereka akan masuk surga; dan jika mereka kafir, mereka akan masuk neraka. 15) Tidak ada kewajiban tertentu bagi Allah yang ditentukan oleh akal kita kepada-Nya. Karena Allah mengatakan tentang dirinya : فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ “Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya”. (QS. Al-Buruj/85 : 16) 16) Akal adalah sumber hukum yang bersifat sub-ordinat (tidak berdiri sendiri). Dan wahyu (al-Qur'an dan as-Sunnah) tidak membutuhkannya lagi, sekalipun tidak menolak apa yang benar dari hukum akal. D. Dampak Aqidah Islam dalam Kehidupan Manusia. Di antara dampak aqidah Islam yang menonjol dalam kehidupan manusia ialah : 1. Kemerdekaan ( Terbebas dari segala bentuk perbudakan ). Firman Allah : قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (QS.Ali-Imran/3 : 64) 2. Ketenangan. Firman Allah : الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram . (QS. Ar-Ra'd/13 : 28) 3. Keberkahan. Firman Allah : وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al-A'raf/7 : 96) 4. Kehidupan yan baik. Firman Allah : مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl/16 : 97) 5. Kemuliaan. Firman Allah : وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ Padahal kemulissn itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mu'min, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui. (QS. Al-Munafiqun/63 : 8) 6. Kedudukan di permukaan bumi. Firman Allah : وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. (QS. An-Nur/24 : 55) 7. Surga. Firman Allah : إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ جَنَّاتُ النَّعِيمِ (8) خَالِدِينَ فِيهَا وَعْدَ اللَّهِ حَقًّا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (9) Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, bagi mereka surga-surga yang penuh keni`matan, Kekal mereka di dalamnya; sebagai janji Allah yang benar. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Luqman/31 : 8-9) (والله أعلم بالصواب)