Sabtu, 20 Oktober 2012

Pengaruh Iman Kepada Allah dalam Kehidupan


PENGARUH  IMAN KEPADA ALLAH DALAM KEHIDUPAN

Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris dalam bukunya Usus Fi Ath-Thashawwur Al-Islami menyebutkan delapan dampak iman kepada Allah. Berikut ini akan disebutkan secara ringkas.

1. Terbebasnya jiwa manusia dari takut mati.

Hal itu karena seorang mukmin yakin bahwa manusia pasti mati, dan kematian itu ada di tangan Allah. Kalau ajal manusia telah tiba, maka ajal itu tidak bisa ditunda sesaatpun juga, dan ia tidak bisa lari dari kematian itu walaupun, ia berada di benteng yang sangat kuat. Firman Allah :
وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya”. (QS.Al-Munafiqun :11)
Firman Allah juga :
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh “ ( QS. An-Nisa’/4 : 78 )
  Apabila keyakinan ini telah melekat pada hati seorang muslim, maka ia tidak akan pernah merasa takut dan hina dalam mempertahankan dan menegakkan agama pada kondisi bagaimanapun juga, lebih-lebih ia yakin bahwa keberaniannya tidak akan mengurangi umurnya sedikit pun juga dan bahwa pengecut tidak akan menambah umurnya sedikitpun juga.

2. Terbebasnya jiwa manusia dari takut tidak mendapatkan rizki.

Seorang mukmim yakin bahwa rizki ada di tangan Allah. Seseorang betapapun tinggi jabatannya dan kedudukannya tidak bisa mengurangi rizki siapapun juga. Firman Allah :
إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
“ Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rizki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh “. (QS. Adz-Dzariyat/51 : 58 ).
Dalam ayat lain Allah berfirman :
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
“ Dan  tidak ada suatu binatang melatapun ( makhluk yang bernyawa ) melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya “. (QS. Hud/11 : 6 )
Dewasa ini banyak orang yang tidak berani melaksanakan ajaran agamanya atau menyatakan hak dan melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar lantaran ambisi terhadap sesuap nasi, dengan anggapan komitmennya melaksanakan ajaran Islam  dan konsistemnya mengerjakan kebenaran akan mengancam makannya. Mereka lupa bahwa yang maha pemberi rizki itu adalah Allah SWT. Orang–orang yang mereka takutkan mengancam adalah seperti mereka juga, tidak bisa memberikan manfaat dan bahaya, tidak bisa memberikan rizki sedikitpun kecuali yang ditentukan Allah.
Sikap yang benar adalah bahwa keberanian menegakkan kebenaran pada diri sendiri dan orang lain tidak akan mengurangi rizki sedikitpun juga. Sebagaimana takut menegakkan kebenaran tidak akan menambah rizki sedikitpun juga.

3. Terbebasnya jiwa manusia dari sifat egois, kikir dan rakus.

Tabi’at manusia sangat mencintai harta , ia kikir dan rakus. Firman Allah :
وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا
“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan “ ( QS. Al-Fajr/89 : 20)
Allah juga berfirman :
وَكَانَ الْإِنْسَانُ قَتُورًا
“Dan adalah manusia itu sangat kikir “ (QS. Al-Isra’/17 : 100)
Tabi’at manusia semacam ini adalah tabia’t manusia yang tidak tersentuh aqidah. Jika aqidah Islam telah merasuk ke dalam lubuk hati seorang manusia , maka ia akan terbebas dari sifat cinta harta, egois, kikir, dan semacamnya, bahkan ia akan mengutamakan orang lain dalam kesenangan, dan mau berkorban untuk membela orang lain .
Seorang mukmin yakin bahwa harta yang ada di tangannya, pada dasarnya milik Allah, ia akan senang hati melaksanakan perintah Allah pada hartanya seperti zakat, infak dan shadaqah. Seorang mukmin yakin bahwa mengeluarkan zakat, infak dan shadaqah merupakan sebab mendapatkan ridho Allah. Pada waktu yang bersamaan ia yakin bahwa zakat, infaq, shadaqah tidak akan mengurangi harta, bahkan akan menyebabkan harta itu menjadi berkah dan berkembang.
Firman Allah :
آَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar. (QS. Al-Hadid/57 : 7)
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya. (QS. Saba’/34 : 39)
 Sabda Rasulullah saw. :
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ ، وَمَا زَادَ رَجُلًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا ، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ . (رواه الترمذي وقال : هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ )
“ Shadaqah tidak akan mengurangi harta, Allah tidak akan menambah seorang hamba lantaran memaafkan kecuali kemuliaan, dan seseorang tidaklah tawadhu’ karena Allah,  kecuali Allah akan mengangkat derajatnya.”  (HR. Tirmidzi, dan ia mengatakan : hadits hasan shahih).

 4. Hati yang selalu ingat kepada Allah.

Seorang muslim yakin bahwa Allah selalu mengetahui dan mengawasi tingkah laku hamba-Nya, baik yang dilakukan terang-terangan ataupun secara sembunyi. Orang yang hatinya selalu ingat kepada Allah yang selalu mengawasinya akan meninggalkan larangan-larangan Allah; ia tidak mencuri, menipu, berkhianat dan sebagainya.  Ia tidak akan mengambil sedikitpun harta yang bukan miliknya sekalipun harta itu melimpah ruah, dan sekalipun ia seorang fakir miskin.
 Jadi , orang yang kuat imannya akan selalu meninggalkan maksiat, karena ia yakin bahwa Allah selalu melihatnya walaupun tidak seorangpun yang melihatnya. Orang yang melakukan maksiat menunjukan bahwa hatinya sedang lemah. Firman Allah :
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidaklah kamu perhatikan bahwa sesungguhanya Allah mengetahui apa yang ada di di langit dan apa yang ada di bumi ? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara ) lima orang, melainkan Dialah yang keenamnya dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu “ (QS. Al-Mujadalah/58 : 7 )
Jika seandainya pada suatu waktu melakukan maksiat karena lalai, seorang muslim yang hatinya selalu ingat kepada Allah akan segera menghindari kelalaiannya , dia akan segera taubat dan mohon  ampun kepada Allah.
Firman Allah :
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ (135)
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (QS. Ali Imran/3 : 135)

5.Terbebasnya manusia dari penghambaan terhadap nilai–nilai jahiliyah.

Islam membagi masyarakat kepada dua bagian : masyarakat Islam dan masyarakat jahiliyah. Masing-masing masyarakat ini mempunyai standar nilai dan cirri yang berbeda-beda.
Di  antara ciri masyarakat jahiliyah adalah  punya sangkaan atau pandangan yang tidak benar terhadap Allah (QS. Ali-Imron/3 : 154), seperti keyakinan  orang-orang  musyrikin jahiliyah  bahwa malaikat anak Allah. Dalam urusan kehidupan manusia, masyarakat jahiliyah tidak berhukum kepada hukum Allah, tetapi  berhukum kepada hukum manusia ( QS. Al-Maidah/5 : 50 ). Di antara ciri masyarakat jahilyah juga adalah berprilaku jahiliyah, seperti prilaku kaum wanitanya yang memamerkan aurat dan dandanannya ( QS. Al-Ahzab/33 : 33). Begitu juga di antara ciri masyarakat jahiliyah adalah menjadikan ikatan kesukuan (hubungan darah), nasionalisme (hubungan tanah air) atau hubungan kepentingan bersama sebagai dasar ikatan berkumpul dan berserikat, bukan atas dasar kebenaran ( QS. Al-Fath/48 : 26).
Islam membangun masyarakat atas dasar pandangan atau keyakinan yang benar, Allah-lah yang menciptakan dan mengatur alam ini. Allah-lah satu-satunya ilah yang berhak diibadahi dan ditaati, dan hanya Allah-lah yang memiliki segala sifat  keagungan dan kesempurnaan.  Islam menetapkan hanya Allah yang berhak memutuskan aturan dan hukum, orang yang membuat aturan yang bertentangan dengan aturan Allah berarti ia telah merampas hak Allah. Dan orang yang mentaati aturan yang bertentangan dengan aturan Allah tersebut berarti telah memberikan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah. Islam menghendaki tingkah laku yang baik dan akhlak yang lurus mendominasi masyarakat. Untuk itu Islam melarang wanita memamerkan aurat dan dandanannya, lemah lembut dalam berbicara sehingga mendorong laki-laki untuk berbuat jahat terhadap mereka. Islam melarang pergaulan bebas antara laki-laki dan wanita yang akan membawa menyebarnya perbuatan yang tercela. Islam  menjadikan ikatan aqidah dan agama sebagai dasar dalam bermasyarakat, berkumpul dan bersatu, bukan ikatan hubungan darah, tanah air atau kepentingan bersama.

6. Sabar dalam menghadapi kesulitan dan cobaan.

Seorang mukmin ketika meyakini bahwa segala urusan ada di tangan Allah, dan tidak seorangpun yang mampu memberikan manfaat dan bahaya, ia akan menghadapi segala kesulitan dengan lapang dada penuh  kerelaan dan pasrah diri, sehingga ia bersikap sabar serta mengharapkan pahala dari Allah. Pada waktu yang sama keimanan   dapat meringankan rasa sakit dan kesedihan.
Firman Allah :
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. At-Taghabun/64 : 11)
Sabda Rasulullah saw. :
عَجَبًا ِلأَمْرِ المْؤُمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ ، وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ .
“Sungguh menakjubkan perkara orang mukmin itu. Perkaranya semua baik, dan itu tidak ada pada seorangpun selain orang mukmin. Jika mendapatkan kegembiraan bersyukur, itu baik baginya. Dan jika ditimpa kesusahan bersabar, itupun baik baginya “.    (HR. Muslim ).

7. Terbebasnya jiwa manusia dari  sikap zalim.

Islam mewajibkan umatnya bersikap adil dan sekaligus melarang mereka bersikap zalim, serta memerintahkan mereka untuk mencegah kezaliman dari orang lain. Misi umat Islam dalam setiap ekspansi (futuhat) adalah mengeluarkan umat manusia dari sempitnya dunia kepada luasnya akhirat dan dari zalimnya agama-agama kepada adilnya Islam. Dalam menegakkan keadilan, Islam tidak membeda-bedakan kerabat atau keturunan seperti tekad Rasulullah yang akan memotong tangan putrinya Fatimah jika mencuri.

8. Terbebasnya akal manusia dari segala bentuk khurafat.

Jika seorang mukmin meyakini dengan sepenuh hati bahwa hanya Allah yang mengetahui hal-hal yang ghaib, memiliki manfaat dan bahaya, maka sudah barang tentu ia akan terbebas dari anggapan-anggapan bahwa ada kekuatan selain Allah yang dapat mengetahui hal-hal yang ghaib serta dapat memberikan manfaat kepada seseorang dan dapat menghindarkannya dari bahaya. Dengan demikian ia tidak akan meminta pertolongan kepada tukang sihir, dukun, paranormal atau siapapun  juga, karena mereka tidak mengetahui hal-hal yang ghaib dan tidak   memiliki manfaat dan bahaya untuk  dirinya dan orang lain. Meminta pertolongan kepada mereka untuk mendapatkan manfaat seperti mendapatkan pekerjaan, naik jabatan, mendapatkan jodoh dan sebagainya; atau agar terhindar dari bahaya seperti sembuh dari penyakit, aman dari orang yang memburunyan dan semacamnya, dengan keyakinan mereka itu bisa memberikan manfaat dan menghindarkan dari bahaya yang mengancamnya adalah merupakan perbuatan syirik yang dapat mengeluarkannya dari keimanan.



(والله أعلم بالصواب)

Mengimani Asma' dan Sifat Allah


MENGIMANI ASMA’ DAN SIFAT ALLAH.
 

A.    Pengertian Mengimani Asma' dan Sifat Allah

Iman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT adalah menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang sudah ditetapkan Allah untuk diri-Nya dalam kitab suci-Nya atau sunnah rasul-Nya dengan cara yang sesuai dengan kebesaran-Nya tanpa tahrif (penyelewengan), ta'thil (penghapusan), takyif (menanyakan bagaimana?) dan tamtsil (menyerupakan).
                        Allah berfirman :
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
" Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan " (QS. Al-A'raf/7 : 180 )
ليْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
" … Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat " (QS. Asy-Syura'/42 : 11)
 
B.     Golongan Manusia dalam Mengimani Asma' dan Sifat

Dalam perkara ini ada dua golongan yang tersesat, yaitu :
1.    Golongan Mu'aththilah, yaitu mereka yang mengingkari nama-nama dan dan sifat-sifat Allah atau mengingkari sebagiannya saja. Menurut anggapan mereka, menetapkan nama-nama dan sifat itu kepada Allah dapat menyebabkan tasybih (penyerupaan), yakni menyerupakan Allah SWT dengan makhluk-Nya .
Pendapat ini jelas keliru karena :
a.       Anggapan itu akan mengakibatkan hal-hal yang bathil atau salah, karena Allah SWT telah menetapkan untuk diri-Nya nama-nama dan sifat-sifat, serta telah menafikan sesuatu yang serupa dengan-Nya. Andaikata menetapkan nama-nama dan sifat-sifat itu menimbulkan adanya penyerupaan, berarti ada pertentangan dalam kalam Allah serta sebagian firman-Nya akan menyelahi sebagian yang lain.
b.      Kecocokan antara dua hal dalam nama atau sifatnya tidak mengharuskan adanya persamaan. Anda melihat ada dua orangKecocokan antara dua hal dalam nama atau sifatnya tidak mengharuskan adanya persamaan. Anda melihat ada dua orang yang keduanya manusia, mendengar, melihat dan berbicara, tetapi tidak harus sama dalam makna kemanuasiaannya, pendengarannya, penglihatannya dan pembicaraannya. Anda juga melihat beberapa binatang yang punya tangan, kaki dan mata, tetapi kecocokannya itu tidak mengharuskan tangan, kaki dan mata mereka sama. Apabila antara makhluk-makhluk yang cocok dalam nama atau sifatnya saja jelas memiliki    perbedaan, maka tentu perbedaan antara Khaliq (Pencipta) dan makhluk (yang diciptakan) akan lebih jelas lagi.
2.    Golongan Musyabbihah, yaitu golongan yang menetapkan nama-nama dan sifat-sifat, tetapi menyerupakan Allah SWT dengan makhluk-Nya. Mereka mengira hal ini sesuai dengan nash-nash Al-Qur'an, karena Allah berbicara dengan hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahaminya.
Anggapan ini jelas keliru ditinjau dari beberapa hal, antara lain :
a.       Menyerupakan Allah SWT dengan makhluk-Nya jelas merupakan sesuatu yang bathil, menurut akal maupun syara'. Padahal tidak mungkin nash-nash kitab suci Al-Qur'an dan Sunnah Rasul menunjukkan pengertian yang bathil.
b.    Allah SWT berbicara dengan hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahami dari segi asal maknanya. Hakikat makna sesuatu yang berhubungan dengan zat dan sifat Allah adalah hal yang hanya diketahui oleh Allah saja.        Apabila Allah menetapkan untuk diri-nya bahwa Dia Maha Mendengar, maka pendengaran itu sudah maklum darisegi maknanya, yaitu menemukan suara-suara. Tetapi hakikat hal itu dinisbatkan kepada pendengaran Allah tidak maklum karena hakikat pendengaran jelas berbeda, walau pada makhluk sekalipun. Jadi perbedaan hakikat itu antara Pencipta yang diciptakan jelas lebih jauh berbeda.
                        Apabila Allah SWT memberitakan tentang diri-Nya bahwa Dia bersemayam di atas 'Arasynya, maka bersemayam dari segi asal maknanya sudah maklum, tetapi hakikat bersemayamnya Allah itu tidak dapat diketahui.

Selain  dua golongan di atas, ada juga golongan yang tidak mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah, dan juga tidak menyerupakan nama-nama dan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya, namun ia menetapkan sebagian sifat Allah sesuai dengan keagungan-Nya dan menakwilkan sebagian sifat yang lain dengan anggapan bahwa menetapkan sebagian sifat itu secara lahir dapat menimbulkan tasybih (penyerupaan dengan sifat makhluk). Inilah pendapat kebanyakan ulama Madzhab Asy’ariyah. Apa hukum golongan ini?
Dalam hal ini Prof. Dr. Abdullah al-Qadiriy daalam kitabnya al-Iman Huwa al-Asas menjelaskan bahwa anggapan ini jelas keliru karena tiga hal :
a.     Bertentangan dengan nash-nash Al-Qur'an dan Sunnah dan bertentangan dengan sikap yang diambil kaum Salaf (Sahabat dan pengikutnya). Tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa mereka mentakwilkan satupun nama-nama dan sifat-sifat Allah.
b.    Anggapan mereka bahwa menetapkan sifat-sifat Allah yang mereka takwilkan dapat menimbulkan tasybih adalah juga keliru; karena menetapkan sifat-sifat Allah sesuai dengan zhahirnya yang sesuai dengan keagungan-Nya serta  menafikan penyerupaannya dengan sifat-sifat makhluk, tidak akan menimbulkan tasybih seperti yang mereka perkirakan, sebagaimana Allah berfirman yang artinya :  " … Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat " (QS. Asy-Syura'/42 : 11) . Allah menafikan tasybih dari diri-Nya dan dengan dasar ini menetapkan dua sifat sama' (mendengar) dan bashar (melihat).
c.     Mereka melakukan tindakan kontradiktif dalam menetapakan sebagian sifat atas dasar tanzih (mensucikan sifat Allah dari penyerupaan dengan sifat makhluk-Nya), dan mentakwilkan sebagian sifat karena takut jatuh pada tasybih. Mestinya mereka menetapkan semua nama-nama dan sifat-sifat Allah atas dasar tanzih. Apa yang mereka katakan tentang sifat yang mereka tetapkan hendaknya juga mereka katakan tentang sifat yang mereka takwilkan. Kalau tidak, mereka harus menakwilkan seluruh sifat Allah; karena pada sifat yang mereka tetapkan tanpa takwil seperti  sifat sama' dan bashar, bisa jadi timbul anggapan   tasybih seperti anggapan mereka dalam sifat rahmah. Kemudian berbicara tentang sifat Allah harus sama dengan pembicaraan tentang zat Allah. Sebagaimana tidak ada yang menyerupai zat Allah, begitu juga tidak ada yang menyerupai sifat Allah.

Kemudian apa hukumnya orang yang menakwilkan sifat tersebut?
Lebih lanjut Abdullah al-Qadiriy menjelaskan  bahwa orang-orang yang menakwilan sifat, yaitu golongan Asy’ariyah, mereka tidak menkwailkan sifat atas dasar pengingkaran. Akan tetapi mereka menakwilkannya disebabkan kesalah pahaman mereka bahwa menetapkan sifat-sifat yang ditakwilkan itu secara zhahir dapat membawa kepada tasybih. Jadi pendapat mereka itu berdasarkan ijtihad, sedangkan orang yang berijtihad dimaafkan dari kesalahannya, diberi pahala atas ijtihadnya. Oleh karena itu tidak boleh mencela orang yang telah dimaafkan Allah dan telah dijanjikan pahala walaupun hal itu tidak menghalangi kita untuk menjelaskan kebenaran yang ia tidak mendapat petunjuk padanya.
Oleh karena itu kata beliau,  Ibnu Taimiah –rahimahullah- berkata  :  “Barang siapa  yang diketahui  ia melakukan ijtihad yang diperkenankan, maka tidak boleh menyebutnya dengan mencela dan menganggapnya berdosa, sebab Allah telah mengampuni kesalahannya. Akan tetapi wajib memberikan loyalitas dan mencintainya karena keimanan dan ketakwaan yang ada pada dirinya, melaksanakan hak-hak yang diwajibkan Allah seperti memuji, mendoakan daan semacamnya”. (Majmu’ al-Fatawa, juz 8 hal 234)
Dalam mensikapi madzhab golongan al-Asy’ariyah atau madzhab al-Khalaf tentang nama dan sifat Allah juga, Hasan al-Banna dalam “Risalah al-‘Aqaid”nya menjelaskan : “Kami berkeyakinan bahwa pendapat Salaf  itu dengan diam dan menyerahkan makna sifat-sifat itu sepenuhnya kepada Allah swt adalah lebih selamat dan lebih utama untuk diikuti, untuk memotong habis takwil dan ta’thil (penafian). Jika anda termasuk orang yang memiliki ketenangan iman dan kesejukan keyakinan yang dikaruniakan Allah, maka sekali-kali janganlah menyimpang dari pendapat Salaf. Kami juga meyakini bahwa takwil-takwil kaum Khalaf tidak mengharuskan jatuhnya vonis kekafiran dan kefasikan atas mereka, serta tidak pula menjadikan munculnya pertikaian berlarut-larut di antara mereka dan selainnya, baik dulu maupun sekarang. Lapangan Islam lebih luas dari ini semua”.

C.    Macam-macam Sifat Allah

Sifat-sifat Allah yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah ada dua macam :
Pertama, Shifaat Tsubutiyyah/Sifat-sifat Eksistensial, yaitu sifat-sifat yang mengandung makna kesempurnaan yang selalu ada dalam diri Allah swt.
Kedua, Shifaat Salbiyyah/Sifat-sifat Negatif, yaitu sifat-sifat yang mengandung penafian atas semua yang bertentangan dengan kesempurnaan Allah Yang Suci guna menetapkan sifat yang menjadi kebalikannya, yakni sifat kesempurnaan eksistensial.
Maka sifat-sifat Allah swt mengandung dua jenis ini. Yaitu kesempurnaan eksistensial atau penafian yang membuktikan kesempurnaan eksistensial. Allah swt tidak boleh disifatkan dengan penafian an sich yang tidak mengandung pembuktian atas kesempurnaan eksistensial. Karena itu adalah kekurangan yang menafikan kesempurnaan-Nya.
Shifaat Tsubutiyyah/Sifat-sifat Eksistensial selanjutnya terbagi menjadi dua :
1.                     Shifaat dzaatiyyah  (sifat dzat). Yaitu sifat  yang tidak tekait dengan kehendak, dan tidak dapat dibayangkan bahwa suatu waktu Allah swt tidak memiliki sifat-sifat ini. Misalnya : hayat (hidup), qudrah (kuasa), sama' (mendengar), bashar (melihat), kalam (berbicara) dan semacamnya. Patokannya adalah seluruh sifat yang tidak mungkin terpisah dari Allah SWT.
2.                       Shifaat Fi'liyyah (sifat fi'il/sifat perbuatan). Yakni sifat yang terkait dengan kehendak dan kekuasaan Allah, seperti istiwa' (bersemayam), nuzul (turun), ridha , mahabbah (cinta), ghadhab (benci) dan semacamnya.
Yang kedua ini merupakan sifat qadim. Maksudnya, Allah swt telah memiliki sifat tersebut sejak azali dan selalu akan memilikinya di masa yang akan datang. Tetapi di antara sifat perbuatan itu ada yang hanya berlaku pada kondisi tertentu dan tidak berlaku umum dan dalam segala kondisi. Misalnya sifat perbuatan yang termaktub dalam ayat  : وَيَمْكُرُ اللَّهُ/dan Allah menggagalkan tipu daya itu (QS. Al-Anfal:30), dan ayat :  اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ/ Allah akan (membalas) olok-olokan mereka. (QS. Al-Baqarah:15.
Kedua ayat ini diturunkan dalam konteks kontra aksi atas apa yang ingin mereka lakukan. Tetapi perbuatan ini hanya dilakukan Allah swt terhadap orang-orang kafir dan semacamnya. Hanya dalam ikatan konteks ini Allah swt bersifat dengan sifat ini. Sebab makna kesempurnaan memang hanya terdapat dalam ikatan kontekstual.
Sifat perbuatan ini juga bersifat satuan-satuan. Maksudnya Allah swt melakukannya satu persatu berdasarkan kehendak-Nya.
Shifaat Salbiyyah/Sifat-sifat Negatif  seperti  penafian sifat ngantuk dan tidur, bertujuan menetapkan kontra sifat-sifat itu yang membuktikan kesempurnaan Allah swt. Yaitu kesempurnaan hidup dan kesinambungan-Nya dalam mengurus urusan makhluk-Nya, seperti tertera dalam ayat : لا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلا نَوْمٌ/ tidak mengantuk dan tidak tidur. (QS. Al-Baqarah:255).
Begitu pula penafian adanya sekutu yang setara dengan Allah swt tujuanya sama. Yaitu menetapkan kontranya yang membuktikan kesempurnaan Allah. Yaitu kesaan Allah swt, seperti yang tertera dalam firman-nya : وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ/ dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia". (QS. Al-Ikhlash:4)
Kewajiban kita terhadap kedua jenis sifat itu adalah mengakui eksistensi sifat-sifat tersebut pada Allah SWT dengan makna yang sesuai dengan kesempurnaan Allah, yaitu makna hakiki yang tidak disertai dengan tasybih, ta'thil, ta'wil dan takyif. Hendaknya kita mengatakan seperti yang dikatakan oleh Imam Syafe'i –Semoga Allah merahmatinya- : "Aku beriman kepada Allah dan kepada apa yang datang dari Allah sesuai dengan maksud Allah. Dan aku beriman kepada Rasulullah SAW dan kepada apa yang dibawanya sesuai  dengan maksud Rasulullah SAW.

D.    Nama-nama Allah 'Azza wa Jalla

Asma-ullah  adalah nama-nama Allah yang diinformasikan oleh-Nya dalam kitab-Nya atau oleh Rasululah saw dalam Sunnahnya. Setiap nama-nama itu menunjukkan satu atau lebih sifat Allah. Setiap nama itu juga merupakan musytaqq (derivasi/turunan) dari mashdarnya, misalnya al-'alim adalah derivasi dari al-'ilm. Ia menunjukkan pada sifat ilmu Allah. Hal yang sama juga  berlaku pada nama-nama lainnya.
Tidak ada kontradiksi antara nama-nama itu sebagai sifat dan sebagai nama. Misalnya, Ar-Rahman adalah nama sekaligus sifat Allah swt. Yang perlu dicatat, setiap nama Allah menunjukkan maknanya dan semuanya merupakan sifat-sifat terpuji. Dan disebut al-husna karena nama-nama itu menunjukkan nama yang paling baik dan makna yang paling mulia.
Mentauhidkan (mengesakan) Allah dalam hal nama-nama-Nya menuntut kita mengimani semua nama yang disandang-Nya  pada diri-Nya dengan segala makna dan pengaruh yang berkaitan dengan nama itu. Misalnya, dalam Al-Qur'an disebutkan nama Allah 'Ar-Rahim', maka kita mengimani bahwa itu adalah nama Allah, mengimani bahwa Allah mempunyai kasih sayang dan Dia mengasihi orang yang dikehendaki-Nya. Demikian pula dengan semua nama lainnya yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasul-Nya.
Apakah nama-nama Allah hanya berjumlah sembialan puluh sembilan?. Memang dalam sebuah hadits yang diriwayatkam Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda :
إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا  ، مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا ، مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ ،  إِنَّهُ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ
" Sesungguhnya Allah mempunyai sembilan puluh sembilan nama , yakni seratus kurang satu. Barangsiapa menghitungnya maka dia masuk surga. Sesungguhnya Allah itu witir dan mencintai yang witir " (HR.Bukhari dan Muslim).
Namun para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan sabda Rasulullah saw 'sembialn puluh sembilan nama' tidaklah terbatas pada jumlah tersebut, melainkan sekedar menjelaskan  bahwa Allah mempunyai sembilan puluh sembilan nama, dan  barangsiapa menghitungnya, maka dia akan masuk surga. Hadits itu tidak menafikan  adanya nama-nama  lain bagi Allah. Sedangkan pengertian 'barangsiapa menghitungnya, dia akan masuk surga' adalah barangsiapa menghafalnya sembari merenungkan dan mengambil 'ibrah dari maknanya, melaksanakan segala tuntutannya, dan mensucikan Pemiliknya, maka ia akan masuk surga.


(والله أعلم بالصواب)