Senin, 18 Maret 2013

Dalil-Dalil Syara' Yang Tidak Disepakati


DALIL-DALIL  SYARA’  YANG TIDAK DISEPAKATI

I. AL-ISTIHSAN
A. Definisi Al-Istihsan
Menurut bahasa al-istihsan  berarti : mengganggap sesuatu itu baik.
Sedangkan menurut istilah al-istihsan adalah :
 هو عدول المجتهد عن مقتضى قياس جلي إلى مقتضى قياس خفي، أو عن حكم كلي إلى حكم استثنائي لدليل انقدح في عقله رجَّح لديه هذا العدول.
Berpalingnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jaliy (qiyas yang nyata) kepada tuntutan qiyas khafiy (qiyas yang samar), atau dari hukum kulliy (umum) kepada hukum istitsna’iy (pengecualian) karena ada dalil yang menurut akalnya dapat menguatkan perpalingan ini.
Penjelasan :
Apabila terjadi suatu kejadian dan tidak ada nash mengenai hukumnya. Untuk menganalisanya terdapat dua aspek yang berbeda. Pertama, aspek yang nyata yang menuntut suatu hukum tertentu. Kedua, aspek yang tersembunyi yang menuntut hukum lain. Selanjutnya pada diri mujtahid terdapat dalil yang menguatkan aspek analisis yang tersembunyi, lalu ia berpaling dari aspek analisis yang nyata. Inilah yang dinamakan al-istihsan menurut syara’.
Demikain pula apabila ada hukum yang bersifat kulliy (umum), namun pada diri mujtahid ada dalil yang menuntut pengecualian kasusistis dari hukum yang bersifat kulliy tersebut dan menuntut hukum lainnya, maka ini juga menurut syara’ disebut dengan al-istihsan.
B. Jenis-Jenis Al-Istihsan
Dari definisi di atas, al-istihsan dibagi menjadi dua jenis :
  1. Menguatkan qiyas khafiy atas qiyas jaliy karena ada dalil.
  2. Pengecualian kasuistis (juz’iyyah) dari suatu hukum kulliy karena ada dalil.
Contoh jenis pertama :
Fuqaha Hanafiyah menyebuntukan bahwasanya seorang pewakaf apabila mewakafkan sebidang tanah pertanian, maka masuk pula secara otomatis hak pengairan (irigasi), hak air minum, hak lewat ke dalam tanah wakaf, tanpa harus menyebuntukannya, berdasarkan al-istihsan. Menurut qiyas, semuanya itu tidak termasuk kecuali secara tekstual semuanya itu disebuntukan sebagaimana dalam jual beli. 
Sisi al-istihsannya ialah : tujuan wakaf adalah pemanfaatan sesuatu yang diwakafkan kepada mereka. Sedangkan pemanfaatan tanah pertanian tidak akan terwujud kecuali dengan meminum airnya, saluran  airnya, dan jalannya. Oleh karena itu, semuanya itu juga termasuk dalam wakaf meskipun tanpa menyebuntukannya, sebab tujuan tersebut. tidak akan terealisir kecuali dengan semuanya itu seperti dalam sewa menyewa.
Qiyas yang nyata (qiyas jaliy) adalah mempersamakan wakaf ini dengan jual beli karena sama-sama mengeluarkan milik dari pemiliknya. Sedangkan qiyas yang tersembunyi  (qiyas khafiy) adalah mempersamakan wakaf ini dengan sewa-menyewa karena sama-sama dimaksudkan untuk dimanfaatkan.
Contoh lain : Fuqoha hanafiyah menyebuntukan bahwa sisa minuman burung yang buas seperti burung gagak, burung elang, burung rajawali adalah suci berdasarkan istihsan, dan najis berdasarkan qiyas.
Sisi qiyasnya adalah sisa minuman burung-burung tersebut disamakan dengan sisa minuman binatang buas seperti harimau, singa, srigala dan sebagainya, di mana daging binatang buas tersebut haram dimakan. Sedangkan binatang   yang dagingnya haram dimakan, maka sisa minumannya juga haram diminum. Jadi berdasarkan qiyas sisa minuman burung yang buas itu najis. 
Sisi istihsannya ialah : meskipun  daging burung yang buas haram dimakan, namun air liurnya yang keluar dari dagingnya tidak bercampur dengan sisa minumannya, sebab ia minum dengan paruhnya, sedangkan paruh merupakan tulang yang suci. Adapun binatang buas, ia minum dengan lidahnya yang bercampur dengan air liurnya. Oleh karena itu, sisa minumannya najis.
Contoh jenis kedua :
Allah melarang jual beli benda yang tidak ada dan mengadakan akad terhadap sesuatu yang tidak ada. Namun Dia memberikan kemurahan secara istihsan pada salam (jual beli dengan pemesanan), sewa menyewa, muzara’ah (akad bagi hasil penggarapan tanah), musaqah (akad bagi hasil penyiraman tanah/kebun), dan istishna’ (akad jasa pengerjaan sesuatu). Semuanya itu adalah akad, sedangkan sesuatu yang diakadkan itu tidak ada pada waktu akad berlangsung. Sisi istihsannya adalah kebutuhan dan kebiasaan manusia.
Contoh lain : Fuqaha menyebuntukan bahwa orang yang diberi amanat tidaklah mengganti rugi kecuali disebabkan penganiayaan atau kelalaian dlm; memelihara. Berdasarkan istihasan dikecualikan orang  yang menyewa dengan persekutuan. Orang yang diberi amanat itu mengganti rugi, kecuali apabila rusaknya disebabkan sesuatu kekuatan yang memaksa. Sisi istihsannya adalah jaminan penyewa.  
C. Kehujjahan Al-Istihsan
Dari definisi istihsan dan penjelasan terhadap kedua macamnya jelaslah bahwa pada hakekatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena hukum istihsan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan qiyas yang nyata, disebabkan adanya beberapa faktor yang memenangkannya yang membuat tenang si mujtahid. Itulah segi istihsan. Sedangkan bentuk yang kedua dari istihsan ialah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut pengecualian kasuistis dari hukum kulliy (umum), dan ini juga yang disebut dengan segi istihsan. 
Kebanyakan Ulama Hanafiyah yang mempergunakan istihsan sebagai hujjah berdalil tentang kehujjahannya bahwa beristidlal dengan istihsan merupakan istidlal dengan dasar qiyas yang nyata, atau ia merupakan pentarjihan suatu qiyas atas qiyas yang kontradiksi dengannya, disebabkan adanya dalil yang menuntut pentarjihan ini, atau ia merupakan istidlal dengan kemaslahatan umum (mashlahah mursalah) berdasarkan pengecualian kasuistis dari hukum yang kulliy. Semuanya ini merupakan istidlal yang shahih. 
Sedangkan kelompok mujtahid yang mengingkari terhadap istihsan sebagai hujjah , mereka menganggapnya sebagai beristinbath terhadap hukum syara’ berdasarkan hawa nafsu dan seenaknya sendiri. Tokoh utama kelompok ini adalah Imam Syafi’i. Menurut sebuah riwayat beliau berkata : (من استحسن فقد شرع /”Barangsiapa yang beristihsan, maka ia telah membuat syari’at). Maksudnya ia telah memulai hukum syara’ dari dirinya sendiri. Dalam kitab Risalah Ushuliyahnya beliau mengatakan : (الاستحسان تلذذ /Istihsan adalah mencari enak)  
D. Syubuhat Orang Yang Tidak Mempergunakannya Sebagai Hujjah
Kelompok yang mengingkari  istihsan sebagai hujjah  mengangga bahwa beristinbath  hukum syara’ dengan istihsan adalah istinbath berdasarkan hawa nafsu dan seenaknya sendiri.
Anggapan ini tidak tepat. sebab sesungguhnya istihsan setelah diteliti adalah perpindahan dari dalil yang zhahir atau dari hukum yang kulliy karena ada dalil yang menuntut perpindahan ini. Jadi ia bukan semata-mata pembentukan syari’at berdasarkan hawa nafsu.
Setiap hakim terkadang muncul pada akalnya suatu kemaslahatan yang hakiki dlm berbagai kasus, yang menuntut perpindahan hukum pada kasus-kasus tersebut dari apa yang dituntut oleh zhahir undang-undang. Hal ini tidak lain adalah bentuk dari istihsan.
Oleh karena itu, Imam asy-Syathibi mengatakan dlm kitab al-Muwafaqat : “Barangsiapa yang mempergunakan dalil istihsan, ia tidaklah kembali kepada semata-mata perasaan dan kemauannya saja. Akan tetapi ia kembali kepada apa yang ia telah ketahui  dari tujuan Syari’ secara keseluruhan pada berbagai contoh yang diajukan, seperti beberapa masalah yang menuntut qiyas, hanya saja hal itu akan membawa kepada hilangnya kemaslahatan dari satu segi, atau dari segi lainnya ia bisa mendatangkan kerusakan.

II. AL-MASHLAHAH AL-MURSALAH
A. Definisi Al-Mashlahah Al-Mursalah
Al-Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang mutlak, menurut istilah Para Ahli Ushul Fiqh :
المصلحة التي لم يشرع الشارع حكما لتحقيقها، ولم يدل دليل شرعي على اعتبارها أو إلغائها.
Ialah kemaslahatan yang Syari’ tidak mensyari’atkan suatu hukum untuk merealisasikannya, dan tidak ada dalil yang menunjukkan pengakuan atau pembatalannya.
Kemaslahatan ini disebut mutlak karena tidak terikat oleh dalil yang mengakuinya atau dalil yang membatalkannya. Contohnya, karena kemaslahatan, para sahabat menetapkan pengadaan penjara, pencetakan mata uang, penetapan tanah pertanian yang ditaklukkan di tangan penduduknya dan memungut pajak atas tanah itu, atau kemaslahatan lainnya yang dituntut oleh keadaan darurat, kebutuhan, atau kebaikan, sedangklan tidak ada hukum yang disyari’atkan untuknya, dan tidak ada bukti syara’ yang mengakui atau membatalkannya.
Penjelasan :
Maksud pembentukan hukum adalah mewujudkan kemaslahatan orang banyak, yakni mendatangkan manfaat, menolak madarat, atau menghilangkan keberatan dari mereka. Kemaslahatan manusia itu bagian-bagiannya tidak terbatas, satuan-satuannya tidak pernah habis,  selalu muncul yang baru sesuai dengan kondisi manusia yang selalu baru,  senantiasa berkembang akibat perbedaan lingkungan. Pensyari’atan suatu hukum terkadang mendatangkan manfaat  pada suatu masa dan pada masa yang lain mendatangkan mudharat. Terkadang juga pada waktu bersamaan mendatangkan manfaat pada suatu lingkungan tertentu, dan menimbulkan mudharat di lingkungan yang lain.
Kemaslahatan yang untuk mewujudkannya Syari’ mensyari’atkan suatu hukum; dan untuk mengakuinya, menunjukkan beberapa illat terhadap yang disyari’atkannya, kemaslahatan tersebut menurut istilah para ahli ushul fiqh disebut dengan al-mashlahah al-mu’tabarah dari Syari’. Contoh: untuk menjaga kehidupan manusia, Allah mensyari’atkan qishash bagi pelaku pembunuhan yang disengaja. Untuk menjaga harta manusia, Allah mensyari’atkan hukuman bagi pencuri. Untuk menjaga kehormatan manusia, Allah mensyari’atkan hukuman bagi orang yang menuduh berzina, dan orang yang berzina.  
Masing-masing dari pembunuhan dengan sengaja, pencurian, tuduhan zina, dan zina merupakan sifat yang munasib (sesuai). Maksudnya adalah pembentukan yang didasarklan atasnya dapat mewujudkan kemaslahatan. Sifat itu diakui oleh Syari’, karena Syari’ membangun hukum berdasarkan atasnya. Sifat munasib yang  diakui oleh Syari’ ini adakalanya munasib muatstsir atau munasib mulaim, sesuai dengan pengakuan Syari’ padanya. Pembentukan hukum yang didasarkan atas sifat tersebut  tidak ada perbedaan pendapat lagi.
Kemaslahatan yang dikehendaki oleh lingkungan dan kenyataan-kenyataan baru yang datang setelah wahyu terputus, sementara Syari’ tidak menentukan hukum untuk mewujudklannya, dan tidak ada dalil yang mengakui atau membatalkannya, itulah yang disebut dengan munasib mursal, atau dengan kata lain disebut dengan al-mashlahah al-mursalah. Misalnya, kemaslahatan menuntut bahwa perkawinan yang tidak diperkuat dengan akte resmi, maka pengakuan terhadap perkawianan itu tidak didengar ketika terjadi pengingkaran. Contoh lain, kemaslahatan yang menghendaki bahwa akad jual beli yang tidak dicatat tidak dapat memindahkan hak milik. Kesemuanya ini merupakan kemaslahatan yang hukumnya tidak disyari’atkan oleh Syari’, dan tidakl ada dalil dari Syari’ yang mengakui atau membatalkannya. Inilah maslahah mursalah
B. Dalil Orang Yang Menjadikan Al-Mashlahah Al-Mursalah Sebagai Hujjah
Jumhur ulama berpendapat bahwa maslahah mursalah adalah hujjah syar’iyyah yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwa kejadian yang tidak ada hukumnya dlm nash, ijma’, qiyas, atau istihsan, padanya disyari’atkan hukum yang dikehendaki oleh kemaslahatan umum. Pembentukan hukum atas dasar kemaslahatan tersebut tidak terbentur pada adanya bukti pengakuan dari syara’.
Dalil mereka atas kehujjahan maslahah mursalah ini ada dua hal.
Dalil mereka yang pertama adalah bahwa kemaslahatan manusia selalu baru dan tidak ada habis-habisnya. Seandainya hukum tidak disyari’atkan untuk mengantisipasi kemaslahatan manusia yang terus bermunculan dan tuntutan perkembangan mereka, serta pembentukan hukum hanya terbatas pada berbagai kemaslahatan yang diakui Syari’ saja, niscaya akan banyak kemaslahatan manusia yang tertinggal di berbagai tempat dan zaman. Pembentukan hukum tidak dapat mengikuti roda perkembangan manusia dan kemaslahatan mereka. Hal ini tidak sesuai dengan apa yang dimaksud dlm pembentukan hukum sebagai upaya mewujudkan kemaslahatan umat manusia.
Dalil mereka yang kedua adalah bahwa orang yang meneliti pembentukan hukum oleh para sahabat, tabi’in, dan para imam mujtahid, jelas bahwa mereka telah menentukan berbagai hukum untuk merealisir kemaslahatan umum ini, bukan karena adanya dalil yang mengakuinya.
     Abu Bakar : mengumpulkan mushaf, memerangi pembangkang zakat,
     Umar : melaksanakan penjatuhan talak 3 dlm satu kalimat, menetapkan pajak, membukukan administrasi, mengadakan penjara, dan sebagainya.
     Usman : menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf, memberikan bagian warisan kepada seorang isteri yang ditalak suaminya karena maksud menghindari diri dari pembagian waris kepadanya.
     Ali : membakar orang-orang Syi’ah Rafidhah yang ekstrim.
     Ulama Hanafiyah : melarang mufti yang suka bersenda gurau, dokter yang bodoh, orang kaya yang bangkrut.
     Ulama Malikiyah : membolehkan penahanan dan penta’ziran orang yang dicurigai bersalah untuk memperoleh pengakuan darinya.
     Ulama Syafi’iyah : mewajibkan qishash terhadap sekelompok orang yang membunuh satu orang.
C. Syarat-Syarat Berhujjah Dengan  Al-Mashlahah Al-Mursalah
  1. Kemaslahatan itu merupakan kemaslahatan yang hakiki, dan bukan suatu kemaslahatan yang bersifat dugaan saja. Maksud syarat ini adalah bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus dapat mendatangkan manfaat dan menolak bahaya. Adapun sekedar dugaan bahwa pembentukan hukum itu dapat mendatangkan manfaat, tanpa mempertimbangkannya dengan bahaya yang datang, ini adalah kemaslahatan yang bersifat dugaan. Contoh kemaslahatan yang berdasarkan dugaan adalah pencabutan hak suami untuk mentalak  isterinya dan meletakkan hak itu pada hakim saja dlm segala situasi dan kondisi.
  1. Ia merupakan kemaslahatn umum, bukan kemaslahatan pribadi. Maksud syarat ini adalah untuk membuktikan bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus adalah untuk mendatangkan manfaat bagi mayoritas umat manusia, atau menolak bahaya dari mereka, bukan untuk kemaslahatan pribadi atau sejumlah individu yang minoritas.
  1. Pembentukan hukum berdasarkan kemaslahatan ini tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan berdasarkan nash atau ijma’. Oleh karena itu, tidak sah mengakui kemaslahatan yang menuntut persamaan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam pembagian warisan, karena kemaslahatan ini dibatalkan disebabkan bertentangan dengan nash al-Qur’an.
D. Syubhat (Kesalah-Pahaman) Orang Yang Tidak Menjadikan Al-Mashlahah Al-Mursalah Sebagai Hujjah
Sebagian Ulama berpendapat bahwa yang tidak ada bukti syara’ yang mengakui atau membatalkannya tidak bisa dijadikan dasar pembentukan hukum. Dalil mereka ada dua hal, yaitu :
Pertama : Syari’at memperhatikan kemaslahatan manusia dengan nash-nashnya dan dengan petunjuknya berupa qiyas. Syari’ tidaklah membiarkan umat manusia dengan sia-sia, dan tidak pula membiarkan kemaslahatan apapun tanpa ada penunjukan kepada pentasyri’annya. Tidak ada suatu kemaslahatan tanpa ada bukti dari Syari’ yang mengakuinya. Kemaslahatan yang tidak ada bukti dari Syari’ yang mengakuinya, pada hakikatnya bukan kemaslahatan. Ia tidak lain merupakan mashlahah wahmiyah (kemaslahatan yang bersifat dugaan saja) dan tidak boleh mendasarkan pembentukan hukum atas kemaslahatan itu.
Kedua, pembentukan hukum atas dasar kemutlakan kemaslahatan berarti membuka pintu bagi orang-orang yang mengikuti hawa nafsu, baik dari kalangan penguasa, pemerintah, maupun para mufti. Sebagian mereka kadangkala terkalahkan oleh hawa nafsu dan keinginannya, sehingga mereka membayangkan berbagai mafsadah (kerusakan) sebagai kemaslahatan. Sedangkan kemaslahatan merupakan perkiraan yang bisa berbeda akibat perbedaan pendapat dan lingkungan. Oleh karena itu, membuka pintu pembentukan hukum berdasarkan mutlaknya kemaslahatan membukan pintu kejahatan.
Menurut Abdull wahab Khallaf : Pendapat yang kuat adalah  maslahah mursalah bisa dijadikan dasar pembentukan hukum, sebab jika tidak, akan terjadi stagnasi pembentukan hukum Islam.
Beliau memberikan bantahan kepada orang yang mengatakan :” setiap bagian kemaslahatan manusia pada masa manapun dan lingkungan apapun telah diperhatikan Syari’,  dan melalui nash-nash dan berbagai prinsip umum, Dia telah mensyari’atkan hukum yang menjadi bukti dan sesuai dengan kemaslahatan itu”, bahwa perkataannya itu tidak didukung oleh fakta; sebab tidak diragukan lagi bahwa sebagian kemaslahatan yang baru terjadi  tidak nampak bukti syara’ yang mengakuinya.
Beliau juga memberikan bantahan terhadap kekhawatiran terjadinya kesia-siaan dan kezaliman serta mengikuti hawa nafsu dengan mengatasnamakan kemaslahatan, bahwa kekhawitiran ini bisa ditolak., sebab kemaslahatan umum tidak bisa dijadikan dasar pembentukan hukum kecuali apabila kemaslahatan itu memenuhi tiga kriteria yang telah dijelaskan, yaitu kemaslahatan yang hakiki, bersifat umum dan tidak bertentangan dengan nash dan prinsip syar’i.
Dalam hal ini Ibnu al-Qayyim berkata : “Di antara kaum Muslimin ada sekelompok orang yang berlebih-lebihan dlm memelihara maslahah mursalah, sehingga mereka menjadikan syari’at serba terbatas, tidak mampu melaksanakan kemaslahatan manusia yang membutuhkan yang lain, mereka telah menutup dirinya untuk menempuh berbagai jalan yang benar, yaitu jalan kebenaran dan keadilan. Dan di antara mereka ada pula orang-orang yang melampaui batas., sehingga mereka membolehkan sesuatu yang bertentangan dengan syari’at  Allah dan memunculkan kejahatan yang panjang dan kerusakan yang luas”.,

III. ‘URF
A. Pengertian
'Urf  ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah tidak ada perbedaan antara 'urf dengan adat (adat kebiasaan), namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian 'urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.
Seperti dalam salam (jual beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat jual beli ialah pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang yang dibeli dan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada salam barang yang akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual beli dilakukan, baru ada dalam bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka salam itu dibolehkan.
Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan antara ijma' dengan 'urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma' ada suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para mujtahid membahas dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata pendapatnya sama. Sedang pada 'urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian seseorang atau beberapa anggota masyarakat sependapat dan melaksanakannya. Hal ini dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka mengerjakan pula. Lama-kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak tertulis yang telah berlaku diantara mereka. Pada ijma' masyarakat melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid telah menyepakatinya, sedang pada 'urf, masyarakat mengerjakannya karena mereka telah biasa mengerjakannya dan memandangnya baik.
B. Klasifikasi
Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan ruang lingkupnya, yaitu:
  1. ‘Urf ‘am (umum). Yaitu ‘urf yang berlaku di seluruh negeri muslim, sejak zaman dahulu sampai saat ini. Para ulama sepakat bawa ‘urf umum ini bisa dijadikan sandaran hukum.
  2. ‘Urf khosh (khusus). Yaitu sebuah ‘urf yang hanya berlaku di sebuah daerah dan tidak berlaku pada daerah lainnya. ‘Urf ini diperselisihkan oleh para ulama apakah boleh dijadikan sandaran hukum ataukah tidak.
 Contoh: Di sebuah daerah tertentu, ada seseorang menyuruh seorang makelar untuk menawarkan tanahnya pada pembeli, dan ‘urf yang berlaku di daerah tersebut bahwa nanti kalau tanah laku terjual, makelar tersebut mendapatkan 2% dari harga tanah yang ditanggung bendua antara penjual dengan pembeli; maka inilah yang berlaku, tidak boleh bagi penjual maupun pembeli menolaknya kecuali kalau ada perjanjian sebelumnya.

Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan objeknya, yaitu:
  1. ‘Urf Lafzhy (ucapan). Yaitu sebuah kata yang dalam masyarakat tententu dipahami bersama dengan makna tertentu, bukan makna lainnya. ‘Urf ini kalau berlaku umum di seluruh negeni muslim ataupun beberapa daerah saja maka bisa dijadikan sandaran hukum.
 Misalnya:
a.       Ada seseorang berkata: “Demi Alloh, saya hari ini tidak akan makan daging.” Ternyata kemudian dia maka ikan, maka orang tersebut tidak dianggap melanggar sumpah, karena kata ”daging” dalam kebiasaan masyarakat kita tidak dimaksudkan kecuali untuk daging binatang darat seperti kambing, sapi, dan lainnya.
b.      Ada seorang penjual berkata: “Saya jual kitab ini seharga lima puluh ribu.” Maka yang dimaksud adalah lima puluh ribu rupiah, bukan dolar ataupun riyal.

2.      ‘Urf Amali (perbuatan). Yaitu Sebuah penbuatan yang sudah menjadi ‘urf dan kebiasaan masyanakat tertentu. Ini juga bisa dijadikan sandaran hukum meskipun tidak sekuat ‘urf lafzhy.
 Misalnya:
a.   Dalam masyarakat tertentu ada ’urf orang bekerja dalam sepekan mendapat libur satu hari, pada hari Jum’at. Lalu kalau seorang yang melamar pekerjaan menjadi tukang jaga toko dan kesepakatan dibayar setiap bulan sebesar Rp.500.000, maka pekerja tersebut berhak berlibur setiap hari Jum’at dan tetap mendapatkan gaji tersebut.

Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan diterima atau tidaknya, yaitu:
  1. ‘Urf shahih ialah ‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara’.
 Misalnya:
Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara’.

2. 'Urf bathil ialah ‘urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara’.
Misalnya:
Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.
 C. Syarat-Syarat ‘Urf
Tidak semua ‘urf bisa dijadikan sandaran hukum. Akan tetapi, harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
  1. ’Urf itu berlaku umum. Artinya, ‘urf itu dipahami oleh semua lapisan masyarakat, baik di semua daerah maupun pada daerah tertentu. Oleh karena itu, kalau hanya merupakan ‘urf orang-orang tententu saja, tidak bisa dijadikan sebagai sebuah sandaran hukum.
  2. Tidak bertentangan dengan nash syar’i. Yaitu ‘Urf yang selaras dengan nash syar’i. ‘Urf ini harus dikerjakan, namun bukan karena dia itu ’urf, akan tetapi karena dalil tersebut.
 Misalnya:
‘Urf di masyarakat bahwa seorang suami harus memberikan tempat tinggal untuk istrinya. ‘Urf semacam ini berlaku dan harus dikerjakan, karena Allah SWT  berfirman:
  أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.  (QS. athTholaq [65]:6).
3.      ‘Urf itu sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah ‘urf baru yang barusan terjadi.
Misalnya:
Maknanya kalau ada seseorang yang mengatakan demi Allah, saya tidak akan makan daging selamanya. Dan saat dia mengucapkan kata tersebut yang dimaksud dengan daging adalah daging kambing dan sapi; lalu lima tahun kemudian ‘urf masyarakat berubah bahwa maksud daging adalah semua daging termasuk daging ikan. Lalu orang tersebut makan daging ikan, maka orang tersebut tidak dihukumi melanggar sumpahnya karena sebuah lafadh tidak didasarkan pada ‘urf yang muncul belakangan.
4.      Tidak berbenturan dengan tashrih. Jika sebuah ‘urf berbenturan dengan tashrih (ketegasan seseorang dalam sebuah masalah), maka ‘urf itu tidak berlaku.
 Misalnya:
Kalau seseorang bekerja di sebuah kantor dengan gaji bulanan Rp. 500.000,- tapi pemilik kantor tersebut mengatakan bahwa gaji ini kalau masuk setiap hari termasuk hari Ahad dan hari libur, maka wajib bagi pekerja tersebut untuk masuk Setiap hari maskipun ‘urf masyarakat memberlakukan hari Ahad libur.

5.      ‘Urf tidak berlaku atas sesuatu yang telah disepakati
Hal ini sangatlah penting karena bila ada ’urf yang bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh para ulama (dalam hal ini ’Ijma) maka ’urf menjadi tidak berlaku, terlebih bila ’urf nya bertentangan dengan dalil syar’i.
D. Dasar hukum 'urf
Para ulama sepakat bahwa 'urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah selama tidak bertentangan dengan syara'. Ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Imam Syafi'i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Mekkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan 'urf. Tentu saja 'urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.

IV. ISTISHHAB (الاستصحاب)
A.    Pengertian Istishhab
Kata al-istishhab (الاستصحاب) secara etimologi berarti (اعتبار المصاحبة) : memandang keikutsertaan secara terus-menerus.
Sedangkan menurut terminologi, istishhab ialah :
الحكم على الشيء بالحال التي كان عليها من قبل، حتى يقوم دليل على تغير تلك الحال.
Menetapkan hukum berdasarkan keadaannya sebelumnya, sehingga ada dalil yang menunjukkan perubahan keadaan tersebut.
Atau :
جعل الحكم الذي كان ثابتا في الماضي باقيا في الحال حتى يقوم دليل على تغيره.
Menjadikan  hukum yang telah ada pada masa yang lalu masih tetap pada keadaannya.
Contoh : Seseorang yang diketahui masih hidup pada masa tertentu, tetap dianggap hidup pada masa sesudahnya selama belum terbukti bahwa ia telah wafat. Begitupula seseorang yang telah berwudhu’, jika ia ragu, dianggap tetap wudhu’nya selama belum terjadi hal yang membuktikan batal wudhu’nya.
B.     Macam-macam ISTISHHAB

1.                  Istishhab al-ibahah al-ashliyah, didasarkan atas hukum asal dari sesuatu yaitu mubah. Jenis ini banyak berperan dalam menetapkan hukum di bidang muamalah, bahwa hukum dasar dari sesuatu yang bermanfaat boleh dilakukan selama tidak ada dalil yang melarangnya.
2.                  Istishhab al-baraah al-ashliyah, yaitu istishhab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai ada dalil yang mengubah statusnya itu, dan bebas dari utang atau kesalahan sampai ada bukti yang mengubah statusnya. Misal: seseorang yang menuntut haknya dirampas orang lain, ia harus mampu membuktikannya, karena pihak tertuduh pada dasarnya bebas dari segala tuntutan, kecuali ada bukti yang jelas.
3.                  Istishhab al-hukm, didasarkan atas tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya. Misal: pemilik asal rumah & tanah tetap dianggap sah selama tidak ada peristiwa jual beli / hibah yang mengubah status hukum kepemilikan.
4.                  Istishhab al-washf, istishhab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Misal: air yang diketahui bersih, tetap dianggap bersih selama tidak ada bukti yang mengubah statusnya itu.

C.    Hukum Istishhab

Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa tiga macam istishhab (point pertama hingga ketiga) adalah sah dijadikan landasan hukum.
Mereka berbeda pendapat pada jenis istishhab al-washf :
Kalangan Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa istishhab al-washf dapat dijadikan landasan hukum secara penuh, baik dalam menimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankan haknya yang sudah ada. Misalnya, seseorang yang hilang tidak ketahuan rimbanya, tetap dianggap hidup sampai ada bukti bahwa ia telah wafat. Jadi harta dan istrinya masih dianggap kepunyaannya, dan jika ahli warisnya wafat, dia turut mewarisi harta peninggalan dan kadar pembagiannya langsung dinyatakan sebagai hak miliknya.
Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa istishhab al-washf hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudah ada, bukan untuk menimbulkan hak yang baru. Dalam contoh orang hilang tersebut meskipun harta dan istrinya masih dianggap sebagai kepunyaannya, tapi jika ada hali waris yang wafat maka khusus kadar bagiannya disimpan dan belum dapat dinyatakan sebagai haknya sampai terbukti ia hidup.



V. SYAR’U MAN QABLANA
A. Pengertian Syar'u Man Qablana
Yaitu syari’at atau ajaran nabi-bani sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syari’at nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa. Apakah syariat-syariat yang diturunkan kepada mereka itu berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad Saw.
B. Hukum Syar'u Man Qablana
Para ulama ushul Fiqh sepakat bahwa syariat para Nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam Quran dan Sunnah Rasul Saw, tidak berlaku lagi bagi umat Islam. Karena kedatangan syariat Islam telah mengakhiri berlakunya syariat terdahulu.
Para ulama juga sepakat bahwa syariat sebelum Islam yang dicantumkan dalam al-Qur’an adalah berlaku bagi umat jika ada ketegasan bahwa syariat itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad Saw. Contoh: Syariat puasa, QS. Al-Baqarah: 183
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah : 183)
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum-hukum syariat nabi terdahulu yang tercantum dalam al-Quran, tetapi tidak ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu masih berlaku bagi umat Islam dan tidak ada pula penjelasan yang membatalkannya. Misal : hukuman qishahs dalam syariat Nabi Musa dalam QS. Al-Maidah: 45
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأنْفَ بِالأنْفِ وَالأذُنَ بِالأذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang lalim. (QS. Al-Maidah : 45)
Jumhur Ulama Hanafiyah, sebagian Ulama Malikiyah dan Ulama Syafi’iyah berkata bahwa syari’at tersebut adalah syari’at kita. Kita wajib mengikuti dan melaksanakanya selama ia telah dikisahkan kepada kita dan di syari’at kita tidak ada yang menghapusnya. Karena hukum itu adalah bagian dari hukum-hukum Ilahi yang telah disyari’atkan Allah kepada kita melalui lisan para rasul-Nya. Oleh karena itu Ulama Hanafiyah berdalil dalam pembunuhan seorang muslim oleh seorang kafir dzimmi dan pembunuhan seorang laki-laki oleh seorang perempuan dengan kemutlakan firman Allah surat al-Maidah : 45 di atas.  
Sebagian ulama berkata bahwa syari’at itu tidak menjadi syari’at bagi kita, karena syari’at kita menghapus syari’at-syari’at yang telah lalu, kecuali jika syari’at kita menetapkannya.
Barangkali yang benar adalah pendapat yang pertama, karena syari’at yang telah lalu yang dihapuskan  syari’at kita hanyalah  syari’at yang  bertentangan dengan syari’at kita saja. Juga karena disebuntukannya syari’at yang telah lalu di dalam al-Qur’an tanpa ada nash yang menghapusnya, berarti secara inflisit merupakan syari’at kita. Sebab syari’at itu merupakan hukum ilahi  yang disampaikan rasul kepada kita dan tidak ada dalil yang menghapusnya, juga karena al-Qur’an membenarkan kitab Taurat dan Injil sebelumnya. Selama hukum salah satunya tidak dihapus, maka al-Qur’an mengakuinya.

VI. MADZHAB SAHABAT

A. Pengertian

Semasa RasululIah SAW masih hidup, semua masalah yang muncul atau timbul dalam masyarakat langsung ditanyakan para sahabat kepada RasululIah SAW, dan RasululIah SAW memberikan jawaban dan penyelesaiannya. Setelah RasululIah SAW meninggal dunia, maka kelompok sahabat yang tergolong ahli dalam mengistinbathkan hukum, telah berusaha sungguh-sungguh memecahkan persoalan tersebut, sehingga kaum muslimin dapat beramal sesuai dengan fatwa-fatwa sahabat itu. Kemudian fatwa-fatwa sahabat ini diiwayatkan oleh tabi'in, tabi'it tabi'in dan orang-orang yang sesudahnya, seperti meriwayatkan hadits. Karena itu timbul persoalan, apakah pendapat sahabat itu dapat dijadikan hujjah atau tidak?

B. Hukum Madzhab Sahabat  

Para ulama sepakat  bahwa ada dua macam pendapat sahabat yang dapat dijadikan hujjah, yaitu:
a.       Pendapat para sahabat yang diduga keras bahwa pendapat tersebut sebenarnya berasal dari Rasulullah SAW, karena pikiran tidak atau belum dapat menjangkaunya, seperti ucapan Aisyiah RA:
لا يمـكن الحـمـل فى بـطـن أمـه أكـثـر مـن سـنـتـين قـدر مـا يتـحـول ظـل مـعـزل  (رواه الدار قـطـنى)
Artinya:
"Kandungan itu tidak akan lebih dari dua tahun dalam perut ibunya, (yaitu tidak akan) lebih dari sepanjang bayang-bayang benda yang ditancapkannya." (HR. Daraquthni)

b.      Pendapat sahabat yang tidak ada sahabat lain yang menyalahkannya, seperti pendapat tentang bahwa nenek mendapat seperenam (1/6) bagian waris, yang dikemukakan oleh Abu Bakar, dan tidak ada sahabat yang tidak sependapat dengannya.

Para ulama berbeda pendapat tentang  perkataan sahabat yang merupakan pendapat dan ijtihadnya yang tidak disetujui oleh sahabat yang lain :
a.       Abu Hanifah dan yang sependapat dengannya berkata : “Apabila saya tidak mendapatkan dalam kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, maka saya mengambil perkataan sahabat yang saya kehendaki dan meninggalkan perkataan sahabat yang saya kehendaki pula. Kemudian saya tidak keluar dari perkataan mereka untuk mengambil perkataan yang lain”. Jadi Imam Abu Hanifah tidak berpendapat  bahwa perkataan sahabt tertentu merupakan hujjah. Beliau dapat mengambil pendapat sahabat yang beliau kehendaki. Akan tetapi beliau tidak punya alasan untuk meninggalkan perkataan sahabat seluruhnya. Dalam satu peristiwa, beliau tidak melakukan qiyas selama ada pendapat sahabat dalam peristiwa tersebut. Barangkali cara pandang beliau adalah  bahwa perbedaan sahabat dalam satu peristiwa menjadi dua pendapat merupakan ijma’ dari mereka, yang tidak ada pendapat ketiganya. Begitu juga perbedaan pendapat mereka menjadi tiga pendapat adalah merupakan ijma’ dari mereka, yang tidak ada pendapat keempatnya. Jadi keluar dari pendapat mereka berarti keluar dariijma’ mereka.
b.      Lahir perkataan Imam Syafi’I adalah pendapat mereka bukan merupakan hujjah, boleh saja berbeda dengan pendapat mereka semua. Berijtihad dalam mengistinbath hukum adalah pendapat lain. Karena semua itu merupakan kumpulan pendapat pribadi yang tidak maksum. Sebagaimana seorang sahabat boleh berbeda dengan pendapat sahabat lain, maka mujtahidin  sesudah sahabat juga boleh berbeda pendapat dengan pendapat sahabat. Oleh karena itu Imam Syafi’i berkata : “Tidak boleh menetapkan hukum atau berfatwa kecuali dari sisi khabar yang pasti, yaitu al-Qur’an atau as-Sunnah, atau perkataan para ulama yang mereka tidak berselisih, atau qiyas atas sebagian ini”.


(والله أعلم الصواب)