BEBERAPA BENTUK
PERBUATAN SYIRIK
Perbuatan syirik memiliki bentuk yang sangat beragam yang sangat
berbahaya bagi kehidupan masyarakat. Beberapa bentuk perbuatan syirik itu ada
yang bertentangan dengan tauhid, ada pula yang bertentangan dengan kesempurnaan
tauhid, dan ada pula yang memiliki dua dimensi; di satu sisi ia bertentangan
dengan tauhid, dan di sisi lain ia juga bertentangan dengan kesempurnaan
tauhid. Yang dimaksud dengan bertentangan dengan tauhid adalah dapat menghilangkan tauhid atau keimanan,
inilah yang disebut dengan syirik besar. Sedangkan yang dimaksud dengan
bertentangan dengan kesempurnaan tauhid adalah tidak menghilangkan tauhid atau
keimanan, tapi hanya mengurangi kesempurnaan tauhid, inilah yang disebut dengan
syirik kecil.
Selanjutnya, berikut ini disebutkan beberapa bentuk perbuatan syirik :
1. Sihir ( السحر )
Kata sihir
dalam bahasa Arab digunakan untuk sesuatu yang tersembunyi dan faktor-faktor
yang halus. Dari sini kemudian sihir disebut sebagai sihir karena ia selalu dilakukan di ujung malam
secara sembunyi-sembunyi dengan efek yang berpengaruh secara halus. Untuk makna
ini, misalnya kita temukan dalam sabda Rasulullah saw. :
وَإِنَّ مِنْ الْبَيَانِ لَسِحْرًا
“ Sesungguhnya sebagian dari
bayan (penjelasan dengan kata, orasi) ada yang bisa menyihir”. (HR. Abu Daud)
Karena orang
yang pandai membuat penjelasan dengan kata (orator) memiliki kesanggupan
menyembunyikan hakikat kebenaran dari kemilau kata.
Dalam
terminologi syariat, sihir diartikan sebagai azimat, jampi dan buhul tali yang
berpengaruh pada jiwa dan raga dalam artian dapat membuat sakit, membunuh,
memisahkan pasangan suami isteri yang disinyalir Allah :
فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا
مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ
Maka mereka mempelajari dari
kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara
seorang (suami) dengan isterinya. ( QS. Al-Baqarah/: 2 : 102 )
Allah SWT telah
menyuruh kita untuk berlindung dari sihir dan tukang sihir dalam firman-Nya :
وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ
فِي الْعُقَدِ
dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir
yang menghembus pada buhul-buhul, ( QS. Al-Falaq/113 : 4 )
Sihir itu
sendiri mempunyai hakikat yang nyata dan pengaruh yang juga nyata pada obyek
yang disihir. Karena hakikatnya yang nyata, Allah SWT melukiskan sebagian sihir
dengan kebesaran dalam firman-Nya :
وَجَاءُوا بِسِحْرٍ عَظِيمٍ
…serta mereka mendatangkan sihir
yang besar (mena`jubkan). ( QS. Al-A’raf/7 : 116 )
Kalau bukan
karena hakikatnya yang nyata, tentulah Allsh SWT tak akan menyebutnya besar.
Walaupun demikian, ada juga sihir yang hanya bersifat khayalan ( ilusi ) dan
tidak mempunyai hakikat nyata. Misalnya, sihir para tukang sihir Fir’aun yang
disebut Allah SWT dalam firman-Nya :
يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِنْ
سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَى
…terbayang kepada Musa
seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka. ( QS. Thaha/ 20 : 66 )
Maksudnya,
tali-tali itu bergerak cepat dan seperti ular dalam bayangan penglihatan Musa
akibat kekuatan sihir mereka. Jadi sihir itu ada dua macam :
Pertama, Sihir
Hakiki ( mempunyai fakta yang nyata )
Kedua, Sihir
Khayali ( Tidak mempunyai fakta yang nyata ).
Tapi ini tidak
berarti bahwa seorang penyihir mampu merubah hakekat sesuatu. Jadi penyihir itu
tentu tidak mampu merubah manusia menjadi monyet, misalnya atau monyet menjadi
sapi. Pengaruh atau efek sihir dan penyihir tidak bersumber dari kekuatannya
sendiri. Tetapi efeknya akan memberi pengaruh nyata apabila ia sejalan dengan
izin Allah yang bersifat takdir kauniyah.
Sedang izin Allah yang bersifat syar’i tentu tidak sejalan dengan sihir
tersebut karena Allah sendiri yang mengharamkannya secara Syar’i. Firman-Nya :
وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ
مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ
Dan mereka itu (ahli sihir) tidak
memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun kecuali dengan izin Allah. (
QS. Al-Baqarah/2 : 102 )
Para ulama
sepakat kalau sihir itu haram, dosa besar dan perbuatan yang bisa membinasakan
sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw. :
"
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ " ، قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا
هُنَّ ؟ قَالَ : الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ... "
“ Jauhilah tujuh hal
yang membinasakan.” Para sahabat bertanya :
Apakah itu ya Rasulullah ? Beliau menjawab : “Mempersekutukan Allah dan
sihir dan ……” (HR. Bukhari dan Muslim)
Penyihir itu
dihukumkan kafir yang menyebabkannya keluar dari Islam, sedang perbuatan sihir
itu juga merupakan kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam. Jadi, ia
merupakan jenis kafir yang besar yang bila pelakunya mati dalam keadaan begitu,
maka ia tidak akan diampuni dan seluruh amalnya dianggap batal.
Karena itu,
Imam Malik, Ahmad dan Abu Hanifah berpendapat bahwa setiap penyihir harus
dibunuh sebagai orang murtad. Hukum bunuh ini didasarkan pada sejumlah riwayat
dari sahabat Rasulullah saw. :
- Sebuah riwayat yang benar
mengatakan bahwa “ Hafshah -Ummul Mu’minin- telah memerintahkan untuk membunuh
seorang budak wanitanya karena telah menyihirnya dan dibunuhlah wanita itu”.
- Imam Bukhari meriwayatkan dari
Bujalah bin ‘Abdah yang berkata : Umar Bin Khattab menulis ( memerintahkan ) :
“Bunuhlah setiap penyihir laki-laki dan penyihir perempuan”. Maka kami pun
membunuh tiga penyihir wanita.
- Jundub bin Abdullah Al-Azdi
meriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada Rsulullah saw. bahwa beliau
bersabda : “Hukum atas sihir adalah pembunuhan dengan pedang”.
Sedang Imam
Syafi’i mengatakan : “Penyihir hanya dibunuh jika ia telah membunuh manusia
dengan sihirnya.” Jadi, menurut beliau penyihir dibunuh karena hukum qishash,
bukan karena ia murtad. Adapun hukum kafir yang dijatuhkan kepadanya, bila ia megatakan suatu perkataan kafir atau
melakukan perbuatan kafir. Tapi bila ia tidak mengatakan atau melakukan sesuatu
yang menyebabkannya jadi kafir, maka dia tidak dianggap kafir.
Barangkali
pendapat yang terkuat adalah pendapat para Ulama yang mengatakan bahwa penyihir itu kafir
kepada Allah sebagaimana difirmankan Allah SWT. :
وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ
أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ
…sedang keduanya tidak
mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan : "Sesungguhnya
kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". ( QS.
Al-Baqarah/2 : 102 ).
Jadi,
seandainya mempelajari dan menggunakan sihir bukan perbuatan kafir tentulah
peringatan ini tidak akan disebutkan.
Di antara
perbuatan yang dapat digolongkan sebagai sihir adalah sulap, hipnotisme dan
telepati dan semacamnya.
Kalau sihir itu
haram, dan penyihir itu -menurut pendapat yang terkuat- kafir, maka sudah tentu
mendatangi penyihir dan meminta mereka melakukan sihir adalah juga haram dengan
sendirinya. Jadi, siapa yang mendatangi seseorang penyihir, maka ia telah
menjadi kafir dengan tingkat kafir kecil tapi lebih besar dari pada dosa besar
yang paling besar. Dasarnya adalah sabda Rasulullah saw. :
مَنْ
تَعَلَّمَ شَيْئًا مِنَ السِّحْرِ قَلِيْلاً كَانَ أَوْ كَثِيْرًا كَانَ آخِرَ عَهْدِهِ
مِنَ اللهِ . (رواه عبد الرزاق عن صفوان بن سالم ، وهو مرسل)
“ Siapa yang
mempelajari sihir, baik sedikit maupun banyak, maka itulah akhir perjanjiannya
dengan Allah.” ( Diriwayatka n oleh Abdur Razzaq dari Shafwan bin Salim. Ini
hadis Mursal.
Sihir juga
digolongkan syirik karena ia terjadi hanya dengan pertolongan setan. Rasulullah
saw. bersabda :
" مَنْ عَقَدَ عُقْدَةً ثُمَّ نَفَثَ فِيهَا
فَقَدْ سَحَرَ ، وَمَنْ سَحَرَ فَقَدْ أَشْرَكَ ، وَمَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ
إِلَيْهِ ". (رواه النسائي)
“Siapa yang membuat
buhul tali, kemudian menghembusinya dengan tiupan, maka ia telah menyihir, dan
siapa yang menyihir maka ia telah menjadi musyrik, dan siapa yang
menggantungkan sesuatu, maka ia akan diserahkan kepadanya ( untuk menolong atau
menjadi tempat bergantungnya )”. ( Diriwayatkan oleh Nasa’i )
2. Peramalan ( الكهانة)
Maksudnya,
memohon untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang masih gaib yang akan terjadi
di masa depan. Seorang peramal dianggap telah mengklaim memiliki ilmu tentang
kegaiban, padahal yang gaib itu hanya diketahui oleh Allah sebagaimana
difirmankan Allah SWT :
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا
يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا (26) إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ
يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا (27)
(Dia adalah Tuhan) Yang
Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang
yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia
mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. (
QS. Jin/72 : 26-27 )
Jika suatu saat
ramalan seorang dukun peramal menjadi kenyataan, maka itu adalah berita yang
dicuri oleh setan yang mencuri dengar
dari langit kemudian membocorkannya kepada dukun tersebut. Jadi, kebenaran itu
adalah suatu kebetulan belaka bahwa apa yang ia katakana sesuai dengan ilmu
Allah. Tapi, kenyataan kebetulan seperti itu terjadi sekali dalam seratus kali
ucapannya. Sehingga perbandingan tingkat kebenaran dan kebohongannya adalah
satu per seratus. Dengan demikian, tingkat ketepatannya sangat lemah bahkan
teramat jauh. Ketepatan itu pun bukan karena ia memang mengetahui kegaiban itu
secara pasti, walaupun ia selalu mengatakannya demikian, melainkan suatu kesesuaian dengan ilmu Allah
yang bersifat kebetulan.
Dengan
demikian, ramalan para dukun tentang masa depan yang masih gaib itu adalah
klaim ilmu yang bohong belaka. Mereka – dengan menyebarkan khurafat, sihir dan
perdukunan – sebenarnya hendak mengeksploitasi kebodohan dan kesahajaan
masyarakat awam untuk merampas harta mereka dengan cara bathil.
Atas dasar
itulah Islam mengharamkan peramalan serta semua perilaku yang terkait
dengannya. Yang terakhir ini, misalnya menelusuri barang curian melalui
sejumlah tanda seperti bekas pencuri, tempat pencurian, atau sapu tangan
pencuri dan semacamnya. Ini semua digolongkan ke dalam perilaku peramalan
karena kesamaan sifatnya.
Dukun peramal
dinyatakan kafir karena ia mengklaim mengetahui kegaiban yang sebenarnya hanya
diketahui Allah SWT. Orang yang memanfaatkan jasa dukun peramal dan percaya
pada pengetahuannya akan kegaiban juga dinyatakan kafir dengan tingkat kafir
besar. Sedang orang yang tidak mempercayainya, tetapi mendatangi tempat sang
dukun tidak dengan maksud menjadi saksi atasnya atau menyuruh mereka kepada
yang makruf atau mencegah mereka dari yang mungkar, atau ia mendatangi tempat
sang dukun dengan tujuan melaksanakan advisnya karena menganggap itu tidak
berbahaya – dimana jika ramalannya ternyata benar ia senang tujuannya tercapai
dan jika tidak benar juga tidak apa-apa -
juga dinyatakan kafir dengan tingkat kafir kecil yang lebih besar dari
dosa besar paling besar. Rasulullah saw. bersabda :
مَنْ
أَتََى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى
مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم . (رواه أبو داود )
“Siapa yang mendatangi seorang
dukun peramal, lalu mempercayai apa yang ia katakan, maka dia telah kafir
kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad saw.” ( HR. Abu Daud )
مَنْ
أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ
عَلَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم . (رواه الأربعة والحاكم )
“Siapa yang mendatangi dukun
peramal. Lalu percaya apa yang ia katakan, maka dia telah kafir kepada apa yang
diturunkan kepada Muhammad saw.” ( HR.
Imam yang empat dan Al- Hakim )
مَنْ أَتََى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ
لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةُ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا . (رواه مسلم)
“Siapa yang mendatangi seorang
dukun peramal, lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu, kemudian ia percaya
pada yang ia katakan, maka solatnya tidak akan diterima selama empat puluh
hari”. ( HR. Imam Muslim ).
Mengenai orang
yang mendatangi dukun peramal, ada dua pendapat yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad :
Pertama,
pelakunya dinyatakan kafir dengan tingkat kafir kecil. Agaknya inilah pendapat yang
terkuat.
Kedua, tawaqquf.
Maksudnya, menamai pelakunya dengan nama yang diberikan oleh Rasulullah saw.
Jadi tawqquf disini adalah dalam hokum bukan dalam nama. Maka kita tidak
boleh mengatakan dia telah keluar dari Islam.
Di antara
perilaku lain yang dapat digolongkan sebagai peramalan adalah meramal nasib
dengan melihat telapat tangan, air dalam cangkir, membaca huruf-huruf abjad ,
melihat atap rumah dan semacamnya. Dan perilaku ini banyak tersebar di kalangan
masyarakat kita.
3. Nusyroh ( النشرة )
Ibnu Atsir
berkata : “Nusyrah – dengan syakal dhammah – adalah semacam jampi atau
pengobatan yang dilakukan terhadap apa yang diduga kemasukan jin. Ia disebut
Nusyrah karena ia menyebarkan penyakit yang menimpanya, atau disingkap dan
dihilangkan”. Yang dimaksud di sini adalah mengeluarkan sihir dari seseorang
yang terkena sihir. Jenis nusyroh ada dua macam :
Pertama,
mengeluarkan sihir dari seseorang yang terkena sihir dengan sihir yang sama.
Ini hukumnya haram dan pelakunya dinyatakan kafir dengan tingkat kafir kecil.
Inilah, misalnya yang dinyatakan oleh Al-Hasan : “Sihir itu tidak dikeluarkan
kecuali oleh penyihir”. Ini dilakukan dengan cara pelaku Nusyrah ( yang
melakukan pengobatan ) dan orang yang terkena Nusyrah mendekatkan diri kepada
Setan dengan melakukan apa yang disenangi sehingga setan itu membatalkan
aksinya pada diri orang tersbut.
Kedua,
mengeluarkan sihir dari seseorang dengan doa dan jampi yang dibolehkan dan
terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah. Ini hukumnya mubah atau boleh. Rasulullah
saw. ditanya tentang Nusyrah, maka
beliau bersabda :
هِيَ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
“Dia
adalah pekerjaan setan.” ( HR. Ahmad
dengan sanad yang baik dari Jabir ).
Rasulullah saw. bersabda :
لَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
“Janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram.”
Rasulullah saw.
bersabda :
مَا جَعَلَ اللهُ شِفَاءَ أُمَّتِي
فِيْمَا حَرَّمَ عَلَيْهَا
“Allah tidak menjadikan
kesembuhan ( penyakit yang menimpa ) umatku pada apa yang ia haramkan bagi
mereka”.
Jadi,
mengeluarkan atau menyembuhkan orang yang terkena sihir dengan sihir adalah
perbuatan setan, sedang perbuatan setan itu haram, maka tentu tak akan ada
kesembuhan di dalamnya. Juga tidak boleh menduga, bahwa di situ biasanya ada
kesembuhan, karena beliau mengharamkan berobat dengan sesuatu yang haram. Itu
juga tidak dibenarkan dengan alasan darurat, karena wilayah darurat itu ada
pada sesuatu yang mengandung manfaat yang dapat menolaknya, sedang sihir tidak
demikian sebagaimana yang disinyalir dalam hadits terdahulu. Jika kita
mengatakan, dalam pengobatan seperti ini ada manfaat, maka wilayah darurat itu
ada dalam ketakutan terhadap mati, sedang orang yang terkena sihir itu tidak
mati karena pengaruh sihir semata sehingga kita dapat membenarkannya melakukan
itu dengan alasan untuk menjaga keselamatan jiwanya.
Selain itu,
membolehkan mendatangi penyihir untuk keperluan pengobatan sama artinya dengan
membantu mempelajari sihir. Dan ini secara implisit berarti membolehkan
mempelajari dan melaksanakan sihir, dan ini tentu saja membuka peluang bagi
orang-orang jahat untuk menyihir orang sehingga orang itu terpaksa
mendatanginya untuk berobat. Dan seterusnya, terbentuklah mata rantai kejahatan
dan kerusakan, padahal syariat telah menghalalkan darah penyihir dan
menyatakannya kafir. Masalah ini merupakan musibah yang telah menimpa banyak
orang di zaman ini, dimana banyak di antara mereka yang memanfaatkan jasa
penyihir untuk menyembuhkan sihir yang menimpa mereka, atau menyihir orang lain
karena dengki, dendam, dan benci. Inilah mata rantai kejahatan dan kerusakan
yang membuka pintu khufarat dalam masyarakat.
4. Pernujuman (التنجيم)
Dalam bahasa
Arab, kata Tanjim ( penujuman ) adalah seimbang dengan kata taf’il
yang berarti usaha mengetahui sesuatu melalui fenomena bintang. Sedang dalam
terminology syariat, pernujuman diartikan sebagai upaya mengetahui sesuatu
dengan mengikuti syarat bintang-bintang.
Al-Qur’an telah
menyebutkan beberapa hikmah penciptaan bintang :
Pertama,
dasar penentuan arah mata angin.
Kedua,
petunjuk bagi musafir dalam menentukan posisi tujuan perjalanan. Allah
berfirman :
وَعَلَامَاتٍ وَبِالنَّجْمِ
هُمْ يَهْتَدُونَ
…dan (Dia ciptakan) tanda-tanda
(penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk.
(QS. An-Nahl/16 : 16 )
Ketiga,
sebagai hiasan di langit dunia.
Keempat,
untuk melempar setan-setan yang mencuri berita di langit setelah diutusnya
Rasulullah saw. Allah berfirman :
وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا
رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ
Sesungguhnya Kami telah menghiasi
langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu
alat-alat pelempar syaitan, ( QS. Al-Mulk/67 : 5 )
Maka jika ada
manfaat selain ini, dia harus mendatangkan dalil syar’i yang benar dan bebas dari
syubhat untuk membenarkannya. Karena kita tidak boleh meninggalkan apa yang
telah disebutkan dalam Al-Qur’an hanya lantaran pendapat seseorang.
Selanjutnya
penujuman dibagi menjadi dua bagian :
Pertama,
Ilmu Ta’tsir. Maksudnya, menjadikan keadaan bintang dan benda angkasa
lainnya sebagai dasar penentuan berbagai peristiwa di bumi, baik sebagai
sesuatu yang berpengaruh mutlak maupun hanya sebagai isyarat yang menyertai
peristiwa-peristiwa bumi. Jika dia
percaya bahwa keadaan itu adalah factor yang berpengaruh mutlak atas
peristiwa-peristiwa bumi – baik karena kekuatan internalnya maupun karena izin
Allah – maka ia dinyatakan musyrik dengan tingkat musyrik besar dan keluar dari
Islam. Tetapi jika percaya bahwa keadaan itu merupakan isyarat yang menyertai peristiwa-peristiwa
bumi, maka ia dinyatakan sebagai musyrik dengan tingkat musyrik kecil yang
bertentangan dengan kesempurnaan tauhid. Alasannya, meyakini kefaktoran atau
kesertaan keadaan perbintangan itu atas peristiwa-peristiwa bumi adalah masalah
syariat, maka hubungan sebab-akibat itu harus didukung oleh dalil syar’i atau
konvensi, sesuatu yang dalam hal ini tidak ditemukan. Dengan demikian, klaim
itu tersebut dianggap sebagai berkata sesuatu tentang Allah tanpa ilmu.
Kedua, Ilmu
Tas-yir. Maksudnya, menjadikan keadaan bintang dan benda angkasa sebagai
petunjuk penentuan arah mata angin dan letak geografis suatu negara dan
semacamnya. Jenis ini dibolehkan dalam Islam. Dari sinilah munculnya hisab
taqwm ( penanggalan ),
pengetahuan tentang puncak atau ujung musim dingin dan panas, waktu-waktu
pembuahan ( hewan dan tumbuhan ), kondisi cuaca, hujan, penyebaran wabah
penyakit dan semacamya. Rasulullah saw.
pernah bersabda :
مَن اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِن النُّجُوْمِ
فَقَدْ اقَتَبًسَ مِن السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ
“Barang siapa yang mengambil
pancaran dari sekumpula bintang (menjadikannya sebagai dasar ramalan peristiwa
bumi), maka sungguh ia telah mengambil pancaran sinar dari sekumpulan sihir
(sama dengan melakukan sihir), dia menambahkannya jika ia menambahkannya”. ( HR.
Abu Daud dan sanadnya benar ).
Hadits ini
mengacu kepada bagian pertama tadi. Yakni Ilmu Ta’tsir. Karena seorang ahli
nujum ( astrolog ) memang biasa menggunkan bantuan setan dan meyakini apa yang
diyakini oleh kaum Shaibah bahwa bintang-bintang itu mempunyai ruh yang aktif,
maka mereka menggunakan bantuan setan untuk menyelesaikan urusan mereka. Atas
dasar ini, maka ilmu ini dianggap sebagian dari sihir.
5.
Al-istisqa’
bil anwa’
(الإستسقاء
بالأنواء )
Istisqa’
berarti memohon siraman hujan. Sedang anwa’ adalah bentuk jamak dari naw-u
yang berarti posisi bintang. Selanjutnya, kata ini dipakai untuk arti bintang
saja ( tanpa kata posisi). Ini adalah kebiasaan orang Arab menggunakan kata
posisi atau tempat untuk menunjuk obyek yang ada pada posisi atau tempat
tersebut. Ini merupakan bentuk majaz mursal. Sehingga arti istilah ini adalah
memohon siraman hujan kepada bintang. Maksudnya, menisbatkan kerja itu pada
bintang, baik itu kerja menurunkan hujan ataupun kerja lainnya.
Itu jelas
perbuatan haram. Karena semua kefaktoran itu harus dinisbatkan kepad Allah SWT.
Maka pelakunya dianggap kafir sebagaimana diriwayatkan oleh Rasulullah saw.
dari Tuhannya bahwa ia berkata :
أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ ، فَأَمَّا مَنْ
قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ
، وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي مُؤْمِنٌ
بِالْكَوْكَبِ .
“Di antara hamba-Ku
ada yang menjadi beriman kepada-Ku dan ada pula yang kafir. Adapun orang yang
mengatakan : “ Kami telah diberi hujan karena keutamaan dan rahmat Allah”, maka
itulah orng yang beriman kepada-Ku dan kafir terhadap bintang-bintang. Sedang
orang yang mengatakan : “Kami diberi hujan dengan bintang ini dan itu “, maka
itulah orang kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang. “ (HR. Bukhari
dan Muslim)
Jika dia
percaya bahwa bintang adalah pelaku atau factor yang mempengaruhi turunnya
hujan, maka dia dinyatakan musyrik dengan tingkatan musyrik besar. Dan jika dia
percaya bahwa bintang menyertai turunnya hujan sehingga dapat dijadikan isyarat
walaupun dengan meyakini bahwa turunnya hujan itu dengan izin Allah SWT, maka
perbuatan itu tetap haram dan pelakunya dinyatakan musyrik dengan tingkat
musyrik kecil yang bertentangan dengan kesempurnaan tauhid.
Tetapi jika ia
misalnya mengatakan : “Hujan telah turun pada bintang ini atau bintang itu”,
maka itu dibolehkan. Karena maksudnya adalah turunnya hujan bertepatan dengan
munculnya atau terbenamnya bintang ini atau itu. Jadi itu hanya sebuah
informasi dan tidak disertai oleh keyakinan adanya hubungan antara turunnya
hujan dengan muncul atau tenggelamnya bintang. Dalam kaitan hal ini,
menisbatkan perubahan cuaca kepada iklim, situasi udara dan semacamnya adalah
perbuatan haram dan digolongkan ke dalam penujuman.
Menisbatkan
sesuatu kepada selain Allah sebagai pencipta, baik sebagai pelaku, factor yang
mempengaruhi atau factor penyerta adalah perbuatan syirik tersembunyi yang kini
banyak tersebar di kalangan masyarakat kita. Inilah syirik tersembunyi yang
sangat dikhawatirkan oleh Rasulullah saw. dalam salah satu sabdanya :
أَخْوَفُ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِيْ ثَلَاثٌ : الإسْتِسْقَاءُ
بِالنُّجُوْمِ ، وَحِيْفُ السُّلْطَانِ ، وَتَكْذِيْبٌ بِالْقَدَرِ .
“Apa yang sangat
kutakutkan dari kalian adalah tiga hal : memohon hujan kepada bintang-bintang,
tirani penguasa dan pendustaan terhadap takdir”. ( HR. Imam Ahmad bin Hanbal
dalam musnad-nya dari jabir As-Siwa’i ).
Perbuatan
memohon hujan kepada bintang-bintang merupakan sebentuk pengingkaran terhadap
nikmat Allah SWT dan sikap tawakkal kepada selain Allah SWT. Selain itu, ia
juga membuka peluang bagi munculnya berbagai kepercayaan yang salah dan rusak
yang pada gilirannya akan menghantar kepada kepercayaan, kaum Shaibah yang
menyembh Haikal dan bintang. Ini adalah syirik Rububiyah, sebab di dalamnya
terkandung penafian ciptaan dari penciptanya dan sebaliknya serta pemberian hak
Rububiyah kepada selain Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda :
أَرْبَعٌ
مِنْ أَمْرِ الجْاَهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُوْنَهُنَّ : الفَخْرُ بِالأَحْسَابِ ،
وَالطَّعْنُ فِي الأَنْسَابِ ، وَ الإسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُوْمِ ، وَالنِّيَاحَةُ
.
“Ada empat hal dari urusan
jahiliyah yang belum mereka tinggalkan : berbangga-bangga dengan keluarga,
menuduh (mencacatkan ) nasab (keturunan), memohon
hujan kepada bintang dan meratapi mayat.” ( HR.
Muslim )
6. Ath-Thiyaroh
Ath-Thiyarah
dengan syakal kasrah pada huruf tha’ dan syakal fathah pada huruf ya’ dalam
bahasa Arab berarti : rasa pesimis terhadap sesuatu. Akar katanya adalah : tathayyur.
Asalnya adalah kebiasaan orang-orang Arab untuk menjadikan burung atau kijang
yang lewat di depan atau belakang atau atas rumah mereka sebagai tanda-tanda
keberkahan atau pesimisme. Jika, misalnya hewan itu mengarah ke kanan maka
mereka menyebutnya sanih, jika ke utara mereka menyebutnya barih,
jika ia datang dari arah belakang mereka menyebutny mu’id. Sebagian
mereka menjadikan barih sebagai tanda pesimis dan sanih sebagai
tanda berkah. Sebagian mereka melakukan sebaliknya.
Jadi batasan
definitive bagi istilah tathayyur atau thiyarah adalah kebiasaan
merasa pesimis dengan tanda-tanda tertentu dari burung, binatang-binatang
tertentu, warna, individu, hari dan bulan serta lainnya. Dengan mana ia menolak
melakukan sesuatu atau melakukannya.
Kebiasaan itu
kemudian dilarang setelah Islam datang. Karena hewan-hewan itu sama sekali
tidak mampu mendatangkan manfaat atau mudharat. Thiyarah adalah
perbuatan yang diharamkan oleh syariat Islam. Perbuatan ini digolongkan ke
dalam syirk kecil jika pelakunya hanya melakukannya dengan ucapan dan perbuatan
atas dasar keyakinan bahwa hewan dan burung itu hanya merupakan tanda-tanda
yang menyertai datangnya manfaat atau tertolaknya mudharat. Tetapi jika is
meyakini hal itu sebagai subjek atau factor yang berpengaruh mutlak dalam
mendatangkan manfaat atau mudharat, maka ia dinyatakan musyrik besar
menyebabkannya keluar dari tauhid dan Islam. Rasulullah saw. bersabda :
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ
.
“Thiyarah itu
syirik, thiyarah itu syirik, thiyarah itu sirik”. (HR. Abu Daud,
Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Thiyarah
dengan ucapan dan perbuatan tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Ibnu
Mas’ud berkata :
وَمَا مِنَّا إِلَّا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ
بِالتَّوَكُّلِ
“Setiap kita
sebenarnya pernah melakukan Thiyarah, tetapi Allah menghilangkannya dengan
tawakkal”. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Maksudnya, thiyarah
adalah kecenderungan yang ada pada setiap orang termasuk orang-orang beriman.
Hanya saja, pada orang-orang beriman, thiyarah dapat dihalau dengan
tawakkal dan bergantung kepada Allah. Dalam sebuah hadits shahih yang
diriwayatkan Muslim dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Salmi bahwa ia berkata : “Ya
Rasulullah, di antara kita ada yang melakukan thiyarah” Rasulullah saw.
menjawab : “ Itu adalah sesuatu yang dirasakan setiap orang dalam dirinya, maka
janganlah ia menolaknya”.
Rasulullah
saw. juga menjelaskan sesuatu yang dapat
menghapus dosa thiyarah, sabdanya :
مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ قَالُوا
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ قَالَ أَنْ يَقُولَ أَحَدُهُمْ اللَّهُمَّ
لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ وَلَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ
“Barang siapa yang
dicegah oleh thiyarah untuk melakukan apa yang dia inginkan, maka dia
telah menjadi musyrik”, mereka bertanya
: Apakah yang dapat menghapusnya ? Rasulullah menjawab : “Hendaklah ia berkata
: “Ya Allah tiada kebaikan selain kebaikan-Mu, tiada burung selain burung-Mu
dan tiada Tuhan selain Engkau.” ( HR.
Ahmad )
Pengharaman thiyarah didasarkan pada beberapa hal yaitu :
Pertama,
karena dalam thiyarah terkandung penisbatan kemampuan mendatangkan
manfaat dan mudharat kepada selain Allah SWT.
Kedua,
karena dalam thiyarah terkandung sikap bergantung kepada selain Allah
SWT.
Ketiga,
karena dalam thiyarah terkandung makna keterkaitan hati kepada selain
Allah SWT.
Keempat,
karena thiyarah melahirkan rasa
takut, tidak aman dari banyak hal dalam diri seseorang, sesuatu yang pada
gilirannya menyebabkan kegoncongan jiwa yang dapat mempengaruhi proses kerjanya
sebagai khalifah di muka bumi.
Kelima,
karena thiyarah membuka jalan
penyebaran khurafat dalam masyarakat dengan jalan memberikan kemampuan
mendatangkan manfaat dan mudharat atau mempengaruhi jalan hidup manusia kepada
berbagai jenis makhluk yang sebenarnya tidak mereka miliki. Pada gilirannya,
itu akan mengantar kepada perbuatan syirik besar.
7. At-Tamaim (Jimat)
Kata tamaim
adalah bentuk jamak dari tamimah yaitu sesuatu yang dikalungkan ke leher
atau bagian dari tubuh seseorang yang bertujuan mendatangkan manfaat atau
menolak mudharat, baik kandungan jimat itu adalah al-Qur’an, benang, kulit atau
kerikil dan semacamnya.
Jimat terbagi
menjadi dua macam yaitu :
Pertama,
yang tidak bersumber dari al-Qur’an yang
ini dilarang oleh syariat Islam. Jika ia percaya bahwa jimat itu adalah subjek
atau factor yang berpengaruh, maka dia dinyatakan dengan tingkat syirik besar.
Tapi jika dia percaya bahwa jimat hanya menyertai datangnya manfat atau
mudharat, maka dia dinyatakan musyrik dengan tingkat musyrik kecil. Hal ini sesuai dengan hadits
Rasulullah saw. :
فِي صَحِيْحِ البُخَارِيِّ عَنْ أَبِي بَشِيرٍ الْأَنْصَارِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ
أَسْفَارِهِ فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَسُولًا
أَنْ لَا يَبْقَيَنَّ فِي رَقَبَةِ بَعِيرٍ قِلَادَةٌ مِنْ وَتَرٍ أَوْ قِلَادَةٌ إِلَّا
قُطِعَتْ
Dalam shahih Bukhori dari Basyir
Al-Anshari bahwa beliau pernah bersama Rasulullah saw. dalam sebagian perjalanan, lalu Rasulullah saw. mengutus
seseorang untuk tidak menyisakan semua kalung yang digantung di leher keledai
melainkan ia harus memotongnya.
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya jampi, jimat dan tiwalah adalah
syirik.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah)
Tiwalah adalah sesuatu yang
digunakan oleh wanita untuk merebut cinta suaminya ( pelet ) dan ini dianggap
sebagai sihir.
Jimat
diharamkan oleh syariat Islam karena ia mengandung makna keterkaitan hati dan
tawakkal kepada selain Allah, dan membuka pintu bagi masuknya
kepercayaan-kepercayaan yang rusak tentang berbagai hal yang pada akhirnya
mengantarkan kepada syirik besar. Rasulullah saw. bersabda :
مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
“Barang siapa yang
bergantung kepada sesuatu, maka
urusannya itu akan diserahkan
kepada sesuatu itu”. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Ketika Allah
SWT menyerahkan urusan seseorang kepada dirinya sendiri atau kepada sesuatu
yang ia bergantung kepadanya selain Allah, ia niscaya tidak akan pernah
beruntung selama-selamanya. Itu adalah isyarat kerugian abadi, karena Allah
tidak akan menolongnya lagi.
Kedua,
yang bersumber dari Al-Qur’an. Dalam hal ini, kaum salaf berbeda dalam dua
pendapat : sebagian membolehkan, sebagian mengharamkannya. Agaknya, pendapat
kedua inilah yang terkuat. Karena dalil yang mengharamkan jimat menyatakannya
sebagai perbuatan syirik dan tidak membedakan apakah jimat berasal dari
Al-Qur’an atau bukan dari Al- Qur’an. Dengan membolehkan jimat dari jenis kedua
ini, sebenarnya kita telah membuka peluang menyebarnya jimat jenis pertama yang
jelas-jelas haram. Maka, sarana yang dapat mengantar kepada perbuatan haram
mempunyai hukum haram yang sama dengan perbuatan haram itu sendiri. Ia juga
menyebabkan tergantungnya hati kepadanya, sehingga pelakunya akan ditinggalkan
oleh Allah dan diserahkan kepada jimat tersebut untuk menyelesaikan masalahnya.
Selain itu, pemakaian jimat dari Al-Qur’an juga mengandung unsur penghinaan
terhadap Al-Qur’an, khususnya di waktu tidur dan ketika sedang membuang hajat
atau sedang berkeringat dan semacamnya. Hal semacam itu tentu saja bertentangan
dengan kesucian dan kesakralan Al-Qur’an. Selain itu juga, jimat ini dapat pula
dimanfaatkan oleh para pembuatnya untuk menyebarkan kemusyrikan dengan alasan
jimat yang dibuatnya berasal dari Al-Qur’an.
8. Ar-Ruqa’/jampi (الرقى )
Ar-Ruqa’
adalah bentuk jamak dari kata ruqyah. Artinya adalah doa perlindungan
yang bisa dipakai sebagai jampi bagi orang yang sakit. Doa itu berasal dari
Al-Qur’an atau do’a Nabi atau do’a-do’a lain yang dikenal mujarab dan
dibolehkan dalam syariat Islam berdasarkan hadits :
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ قَالَ : كُنَّا
نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ ، فَقُلْنَا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، كَيْفَ تَرَى فِي
ذَلِكَ ؟ فَقَالَ : " اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ ، لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا
لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ " .
Dari ‘Auf bin Malik al-Asyja’iy, beliau berkata : Di masa jahiliyah kami bisa
melakukan ruqyah, lalu berkata kepada Rasulullah saw. : Bagaimana menurutmu ya Rasulullah ? Maka
beliau berkata : “Perlihatkan padaku ruqyah kalian, tidak apa-apa ruqyah itu selama tidak mengandung syirik”.
(HR. Muslim dan Abu Daud)
Ada beberapa syarat yang harus terpenuhi dalam ruqyah yang dibolehkan
:
Pertama,
hendaklah ruqyah dilakukan dengan kalam Allah atau nama-Nya atau sifat-Nya atau
dengan doa-doa yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. pada penyakit tersebut.
Kedua,
hendaklah ia dilakukan dengan bahasa Arab.
Ketiga,
hendaklah ia diucapkan dengan makna yang jelas dan dapat dipahami.
Keempat,
tidak boleh sesuatu yang haram dalam kandungan ruqyah itu. Misalnya, memohon
pertolongan kepada selain Allah, berdoa kepada selain Allah, menggunakan nama
jin atau raja-raja jin dan semacamnya.
Kelima,
tidak bergantung kepada ruqyah dan menganggapnya sebagai penyembuh.
Keenam,
kita harus yakin bahwa ruqyah tidak berpengaruh dengan kekuatannya sendiri,
tetapi hanya dengan izin Allah SWT.
Jika salah satu
syarat tersebut tidak terpenuhi, maka ruqyah itu menjadi haram. Jika seseorang
meyakini bahwa ruqyah itu sebagai subjek atau factor yang berpengaruh mutlak,
maka ia menjadi musyrik dengan tingkat musyrik besar. Dan jika ia percaya bahwa
ruqyah tersebut hanya merupakan factor yang menyertai kesembuhan, maka ia
menjadi musyrik dengan tingkat musyrik kecil.
Atas dasar itu,
maka ruqyah dibagi menjadi dua bagian. Pertama,
ruqyah syar’iyah yaitu ruqyah yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut. Kedua,
ruqyah bid’ah yaitu ruqyah yang kehilangan salah satu syarat tersebut, yakni :
1)
Tidak menggunakan bahasa Arab.
2)
Maknanya tidak jelas dan tidak
dipahami.
3)
mengandung unsur syirik,
menggunakan nama jin atau raja jin, atau kata tak bermakna berupa huruf-huruf
yang terpotong-potong dan semacamnya.
4)
jika ia percaya bahwa ruqyah itu
mempengaruhi dengan kekuatannya sendiri, sekalipun ia telah memenuhi
syarat-syarat tersebut.
Ruqyah yang
paling baik adalah yang menggunakan ayat-ayat Al Qur’an berdasarkan firman
Allah SWT :
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآَنِ
مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Dan
Kami turunkan dari Al Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman dan Al Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang
yang zalim selain kerugian. ( QS. Al-Isra’/17 : 82 ).
Kemudian yang
menggunakan doa-doa Rasulullah saw. Selain itu, seseorang juga dibolehkan
mengambil kambing sebagai hadiah baginya atas ruqyah yang dibacanya sebagaimana
diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dalam sebuah hadits masyhur, dimana beliau
melakukan ruqyah terhadap pemimpin sebuah kabilah dengan membaca surat
Al-Fatihah dan mensyaratkan kambing untuk ruqyahnya. Dan Rasulullah saw.
membolehkannya.
9. Memakai Kalung atau Benang untuk Menolak Mudhorot
Manfaat dan
mudharat itu ada di tangan Allah., Dia-lah satu-satunya yang sanggup
mendatangkan atau menolaknya. Allah berfirman :
قُلْ
أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ
هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ
"Maka terangkanlah kepadaku
tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan
kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan
kemudharatan itu. ( QS. Az-Zumar/39 : 38 )
Memakai benda
apa saja, dengan keyakinan bahwa ia adalah subjek atau factor yang berpengaruh
dalam mendatangkan manfaat atau menolak mudharat adalah musyrik dengan tingkat
syirik besar. Jika ia percaya bahwa benda itu hanya menyertai datangnya manfaat
atau mudharat, maka ia dinyatakan musyrik dengan tingkat syirik kecil. Seorang
Muslim tidak boleh menggantungkan hatinya kepada selain Allah dalam
mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Hanya kepada Allah ia selalu
bertawakkal. Firman-Nya :
وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ
الْمُتَوَكِّلُونَ
Dan hanya kepada Allah saja
orang-orang yang bertawakkal itu berserah diri". ( QS. Ibrahim/ 14 : 12 )
Membuka pintu
kepercayaan kepada benda-benda tertentu akan menghilangkan rasa aman dari hati
kaum mukmin. Rasa tidak aman itu selanjutnya merusak hubungannya dengan alam,
karena ia senantiasa merasa takut dan waswas terhadap berbagai benda alam yang
telah diciptakan Allah dengan takdir-Nya. Padahal Allah SWT berfirman :
الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ
يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
Orang-orang yang beriman dan
tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah
orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk. ( QS. 6 : 82 )
Kegoncangan
(disharmoni) hubungan antara manusia dengan alam tentu saja merupakan sesuatu yang
tidak diinginkan Allah. Allah justru menghendaki adanya ketentraman dan rasa
aman manusia terhadap alam agar ia dapat melaksanakan tugas khilafah di muka
bumi dengan leluasa. Ketergantungan hati seorang hamba terhadap benda-benda
alam tertentu akan melemahkan pemahamannya, mengurangi ketajaman mata hatinya
dan menjadikan hatinya sebagai sarang khurafat yang akan melumpuhkannya dan
membuatnya menyerah terhadap berbagai kepercayaan yang merusak.
Karena itu Rasulullah saw. memperingatkan
kita akan hal ini :
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْنِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
رَأَى رَجُلًا فِي يَدِهِ حَلْقَةٌ مِنْ صُفْرٍ فَقَالَ : " مَا هَذِهِ الْحَلْقَةُ
؟ " قَالَ : هَذِهِ مِنْ الْوَاهِنَةِ ، قَالَ : " انْزِعْهَا فَإِنَّهَا
لَا تَزِيدُكَ إِلَّا وَهْنًا "
Dari Imran bin Hushaen bahwa Rasulullah saw. pernah melihat seorang laki-laki yang
ditangnnya ada sebuah gelang dari kuningan, lalu Rasulullah saw. bertanya :
“Apa gelang ini ? Orang itu menjawab : Ini berasal dari Al-Wahinah. Maka
Rasulullah saw. berkata : “Lepaslah gelang itu, karena ia hanya
membuatmu semakin lemah “. (HR. Ibnu Majah)
Kata Al-Wahinah berarti urat yang
biasa muncul di pundak atau tangan seseorang.
مَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلَا وَدَعَ الله ُلَهُ
“Barang siapa yang menggantung
wada’ah maka Allah tidak akan membuatnya tenang.” (HR. Ahmad).
Wada’ah adalah semacam jamur yang
diambil dari laut kemudian dikalungkan kepada anak-anak sebagai perlindungan,
maka Rasulullah saw. mendoakan agar pelakunya tidak memperoleh ketenangan dan
ketentraman.
Dengan
demikian, jelaslah bahwa perbuatn ini adalah sebentuk syirik kecil yang lebih
besar dari pada dosa besar yang paling besar.
( والله
أعلم بالصواب )