Selasa, 12 Maret 2013

AL-HAKIM, AL-MAHKUM FIH DAN AL-MAHKUM ‘ALAIH


AL-HAKIM,  AL-MAHKUM FIH DAN AL-MAHKUM ‘ALAIH

I. AL-HAKIM
A. Pengertian Al-Hakim
Kata hakim secara etimologi berarti orang yang memutuskan hukum. Dalam fiqih, istilah hakim semakna dengan qadhi. Namun, dalam ushul fiqh, kata hakim berarti pihak penentu dan pembuat hukum syara’ secara hakiki.
B. Siapa Penentu Hakiki Hukum Syara’?
Ulama Ushul sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat hakiki dari hukum syari’at adalah Allah Swt. Firman-Nya :
إنِ الحكمُ إلا لِلّه يقصّ الحق وهو خير الفاصلين
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik. (QS. Al-An’am: 57)

C. Dengan Apa Hukum Allah Itu Dapat Diketahui? 
Ada tiga pendapat :
Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa perbuatan dapat dibagi kepada dua kategori: (1) Perbuatan yang sifat baik atau buruknya berdasarkan sifat sifat esensial (hasan lidzātih dan qabīh lidzātih). Kekuatan akal yang sehat secara independen mampu mengetahuinya. Fungsi wahyu untuk memberitahukan suatu perbuatan adalah baik atau buruk, dikemas dalam bentuk perintah dan larangan. (2) Perbuatan yang tidak dapat diketahui oleh akal terhadap nilai baik dan buruknya, seperti ibadah dan cara-caranya. Secara mutlak, diperlukan wahyu untuk mengetahui baik buruknya.
Golongan Maturidiyah membagi sesuatu perbuatan itu kepada: Hasan lidzātih, qabīh lidzātih, dan sesuatu yang ada diantara keduanya dan ini tergantung pada perintah dan larangan Allah Swt. Menurut mereka, akal semata tidak dapat dijadikan landasan hukum, setiap hukum haruslah bereferensi kepada wahyu.
Golongan Asy’ariyah berpendapat tidak ada yang bersifat baik dan buruk menurut esensinya. Baik dan buruk bagi sesuatu adalah sifat yang datang kemudian, bukan bersifat esensial. Yang membuat sesuatu baik atau buruk adalah perintah atau larangan Allah Swt, akal tidak mempunyai kewenangan menetapkannya.

II. AL-MAHKUM FIH
A. Pengertian Mahkum Fih
Mahkūm Fīh adalah  :
فعل المكلف الذي تعلق به حكم الشارع
Perbuatan orang mukallaf yang berkaitan dengan  hukum syara’.
Contoh 1 : Perintah Allah dalam Firman-Nya : [ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ/ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. (QS. Al-Maidah:1)] berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu perbuatan memenuhi akad-akad yang diwajibkan.
Contoh 2 : Perintah Allah dalam firman-Nya : [يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ/ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. QS. Al-Baqarah:282)] berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu menulis hutang  yang disunnahkan.
Contoh 3 : Larangan  Allah dalam firman-Nya : [وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ / dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS. Al-An’am:151)], berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu membunuh jiwa yang diharamkan.
Contoh 4 : Larangan Allah dalam firman-Nya : [وَلاَ تَيَمَّمُواْ الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ/ Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya,(QS. Al-Baqarah:267)], berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu menginfakkan harta yang buruk yang dimakruhkan.
Contoh 5 : Perintah Allah dalam firman-Nya : [وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا/ apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. (QS.al-Maidah:2)], berkaitan dengan perbuatan mukallaf, yaitu berburu setelah selesai melaksanakan ibadah haji yang dibolehkan.
Jadi setiap hukum syara’ mesti berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan atau perintah (perintah melakukan atau perintah meninggalkan),  menyuruh memilih antara melakukan dan meninggalkan, ataupun dalam bentuk ketentuan.

B. Syarat-Syarat Mahkūm Fīh 
Suatu perbuatan bisa menjadi tugas bagi seorang mukallaf,  jika memenuhi tiga  syarat :
  1. Perbuatan itu diketahui secara sempurna dan rinci oleh orang mukallaf sehingga suatu perintah dapat dilaksanakan secara lengkap seperti yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Ayat-ayat al-Quran yang bersifat global, baru wajib dilaksanakan setelah ada penjelasan secara rinci tatacaranya dari Rasulullah Saw. seperti shalat, puasa, zakat, haji, dsb.
  2. Diketahui secara pasti oleh mukallaf bahwa perintah itu datang dari Allah Swt dan Rasul-Nya. Itulah sebabnya setiap upaya mencari pemecahan hukum, yang paling utama dilakukan adalah pembahasan tentang otoritas  suatu dalil sebagai sumber hukum.
3.    Perbuatan yang diperintahkan atau dilarang haruslah berupa perbuatan yang dalam batas kemampuan manusia untuk melakukan atau meninggalkannya.
Pembagian Masyaqqah
Dari syarat ketiga, yakni perbuatan taklif itu dapat dikerjakan, muncul persoalan masyaqqah (kesulitan). Apakah boleh diterapkan taklif/pembebanan terhadap amalan yang mengandung masyaqqah? Dalam hal ini ulama membagi masyaqqah kepada dua macam :
  1. Masyaqqah Mu’tadah (kesulitan yang biasa). Yaitu berada pada kapasitas manusia untuk melaksanakannya, artinya perbuatan tersebut dianggap mampu untuk dilaksanakan, misal shalat, zakat, puasa, haji, dst bagi manusia tidak sulit untuk dilakukan. Melaksanakan syari’ah punya hikmah tersendiri, ibarat dokter mengobati pasien dengan pil pahit untuk kesembuhan/kebaikan pasien.
  1. Masyaqqah Ghair Mu’tadah (kesulitan yang tidak biasa). Yaitu kesulitan di luar kapasitas manusia, yakni jika ada perintah untuk melaksanakan perintah di luar kapasitas manusia maka hal itu otomatis tidak mengandung kewajiban melaksanakan bagi mukallaf. Misal, puasa sepanjang tahun, shalat sepanjang malam, haji dengan jalan kaki, beribadah namun membahayakan keselamatn jiwa, dst.
Masyaqqah jenis ini apabila zat perbuatan itu memberatkan mukallaf, maka Allah mensyari’atkan rukhshah. Firman Allah :
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS. Al-Hajj : 78).
Firman Allah juga :
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. Al-Baqarah : 185)
Jika si mukallaf memaksakan diri untuk melakukannya, maka Allah melarang dan mengharamkannya. Oleh karena itu Rasulullah saw melarang puasa wishal (terus menerus), melarang qiyamulai di sepanjang malam dan dari kehidupan kependetaan. Beliau bersabda :
"أما والله إني لأخشاكم لله وأتقاكم؛ ولكني أصوم وأفطر، وأصلي وأرقد، وأتزوج النساء، فمن رغب عن سنتي فليس مني"
“Sesungguhnya saya orang yang paling takut dan paling taqwa kepada Allah, tetapi saya puasa dan berbuka, shalat dan tidur,  dan kawin. Siapa yang benci terhadap sunnahku, maka ia bukanlah dari golonganku”. (HR. Bukhari, Muslim, dan  An-Nasai)

C. Macam-macam mahkum Fih
Dilihat dari segi keberadaanya secara material dan syara, mahkum fih terdiri dari 4 macam :
  1. Perbuatan yang ada secara material, tetapi tidak terkait dengan syara (tidak menimbulkan akibat hukum syara), seperti makan dan minum
  2. Perbuatan yang ada secara material, tetapi menjadi sebab adanya hukuman, seperti pembunuhan menjadi sebab adanya hukuman qishash.
  3.  Perbuatan yang ada secara material, dan baru bernilai syara apabila memenuhi rukun dan syarat, seperti shalat dan haji.
  4.  Perbuatan yang ada secara material dan diakui syara’, serta mengabitkan munculnya hukum syara yang lain, seperti nikah mengakibatkan halalnya hubungan seks, kewajiban nafkah.

III. MAHKUM 'ALAIH
A. Pengertian Mahkum ‘Alaih
Para ulama ilmu ushul mengatakan bahwa mahkum alaihi adalah :
هُوَ الْمُكَلَّفُ الِّذِي تَعَلَّقَ حُكْمُ الشَّارِعِ بِفِعْلِهِ
Yaitu mukallaf yang perbuatannya berkaitan dengan hukum syari’.
Jadi mukallaf itu merupakan definisi lain dari mahkum ‘alaih.
Secara etimologi mukallaf merupakan derivasi dari kata kallafa yang maknanya adalah membebankan. Karena itu secara etimologi pengertian mukallaf berarti yang dibebani hukum.
Secara terminologi  : mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun larangan-Nya. Semua yang berkaitan dengan seluruh aktivitas mukallaf memiliki implikasi hukum, dan karenanya harus dipertanggung jawabkan, baik di dunia maupun di akhirat.
B. Syarat-Syarat Mahkūm ‘Alaih 
Seorang mukallaf dianggap shah menanggung beban hukum menurut syara’, bila mereka memenuhi dua syarat :
  1. Seorang Mukallaf harus dapat memahami dalil taklif (pembebanan),
    Yaitu ia harus mampu memahami nash-nash hukum yang dibebankan al-Qur’an dan al-Sunnah baik yang langsung maupun melalui perantara.
    Sebab orang yang tidak mampu memahammi dalil taklif tentu tidak akan dapat melaksanakan tuntutan itu dan tujuan taklif tidak akan tercapai.
Kemampuan untuk memahami dalil itu hanya diperoleh melalui akal, yang diasumsikan dengan kedewasaan. indiksi kedewasaan laki-laki  adalah mimpi basah. Sedang bagi pereampuan keluar darah haidh. Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt dalam surat an-Nur : 59
وَإِذَا بَلَغَ الأطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
“Apabila anakmu samapi umur baigh,maka hendaklah mereka minta izin, seperti oarang-orang yang sebelum mereka minta izin...”
Atas dasar itulah anak-anak, orang gila, orang yang lupa, tidur, mabuk dan orang dalam keadaan terpaksa  tidak dikenai baban hukum karena tidak adanya akal yang digunakan untuk memahami apa yang dibebankan. Sebagaimana Hadits Rasulullah:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
”Diangkatlah pena itu (tidak dicatat amal perbuatan manusia) dari tiga orang: orang yang tidur hingga terbangun, anak-anak hingga ia dewasa, dan orang gila hingga ia berakal”. (H.R. Abu Daud, Nasai,  Ibnu Majah, dan Ahmad)
Beliau juga bersabda :
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
Sesungguhnya Allah memaafkan umatku karena tersalah, lupa dan dalam keadaan terpaksa. (HR.  Ibnu Majah dan Thabrani)
Beliau juga bersabda:
إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنْ الصَّلَاةِ أَوْ غَفَلَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَقِمْ الصَّلَاةَ لِذِكْرَى
“Barang siapa yang tidur sampai tidak melakukan shalat (habis waktunya) atau lupa mengerjakannya, maka hendaklah dia shalat ketika dia ingat, karena sesungguhnya Allah SWT berfirman : Tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku”. (HR. Muslim dan lainnya
Kemampuann akal  untuk memahami maksud khitab syar’I ini tidak hanya  secara global, tetapi  juga harus secara terperinci. Sementara khitab syar’i itu tersusun dalam bahasa Arab, maka bagaimana status hukum bangsa di luar Arab?
Syekh Abdul Wahhab Khallaf menegaskan
: Adapun orang-orang yang tidak mengerti bahasa Arab dan tidak dapat memahami dalil-dalil dan tuntutan syara’ dari al-Qur’an dan as-Sunnah, sperti orang-orang Jepang, India, Indonesia, dan lainnya, maka menurut aturan syara’ tidak sah memberi beban kecuali jika mereka itu belajar bahasa Arab dan dapat memahami nash-nash bahasa Arab, atau melalui dalil-dalil tuntutan syara’ yang diterjemahkan ke dalam bahasa mereka...
2.      Mukallaf haruslah ahli (harus cakap dalam bertindak hukum) dengan sesuatau yang dibebankan kepadanya. Berdasarkan konsep ini, maka seluruh perbuatan orang yang belum atau tidak mampu dan cakap bertindak hukum, maka semua amal mereka tidak diketegorikan sebagi delik hukum. Misalnya anak kecil atau orang gila. Untuk lebih jelasnya, persyaratan ini akan dibahas pada topik di bawah ini.

Pengertian Ahliyah :
Secara etimologi, ahliyyah berarti الصلاحية / kecakapan menangani suatu urusan.
Secara terminologi, ahliyyah adalah :
صفة يُقدّرها الشارعُ في الشخص تَجعلُه محلاّ صالحا لخطاب تشريعي
Suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.
Ahliyyah ada 2 macam :
  1. Ahliyyah al-Wujub (keahlian wajib), yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban. Misal: ia telah berhak menerima hibah, jika hartanya dirusak orang lain, ia diangap mampu menerima ganti rugi. Selain itu, ia juga dianggap mampu untuk menerima harta waris. Namun, ia dianggap belum mampu untuk dibebani kewajiban syara’ seperti shalat, puasa, haji dan sebagainya. Maka walaupun ia mengerjakan amalan tersebut statusnya sekedar pendidikan bukan kewajiban. Ukuran yang digunakan adalah sifat kemanusiaannya yang tidak dibatasi umur, baligh, kecerdasan. Bayi dan anak kecil termasuk kategori ini.
2.      Ahliyyah al-Ada`(keahlian melaksanakan),  yaitu sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya, baik positif maupun negatif. Ukurannya adalah ‘aqil, baligh dan rusyd (cerdas). Allah berfirman : “وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ/ Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya (QS. An-Nisa`: 6).

Keadaan Manusia Berkenaan dengan Ahliyah al-Wujub (keahlian wajib)
Jika kehalian wajib ini dihubungkan dengan keadaan manusia, maka ia terbagi pada dua bagian, yaitu:
1. Keahlian Wajib yang tidak sempurna. Yaitu mukallaf layak mendapatkan hak tetapi tidak harus menunaikan kewajiban atau sebaliknya. Contohnya; janin dalam kandungan. Janin sudah dianggap memiliki Ahliyyatul al-wujub, tetapi belum sempurna. Para ahli ushul fiqh sepakat dia telah layak mendapatkan hak keturunan dari ayahnya, memperoleh bagian waris.
Keahlian wajib yang sempurna. Yaitu jika mukallaf layak menerima hak dan melaksanakan kewajiban. Keahlian ini berlaku bagi seorang anak ayang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya masih kurang. Ia telah memperoleh hak-haknya sebagai manusia secara umum, baik ia cakap atau tidak cakap.
Keadaan Manusia Berkenaan dengan Ahliyah al-Ada’ (keahlian melaksanakan)
Manusia sebagai subyek hukum, bila dikaitkan dengan keahlian ini, maka ia terbagi pada tiga bagian, yaitu :
Terkadang tidak memiliki keahlian sama sekali .  Keadaa ini dimiliki oleh anak kecil dan orang gila, karema keduanya belum memiliki, sehingga mereka belum memiliki keahlian melaksanakan. Seluruh aktivitas mereka tidak melahirkan implikasi-implikasi hukum. Jika mereka melakuakan akad jual beli, akad mereka dianggap batal. Maka jika mereka melakukan perbuatan yang melanggar hukum perdata maupun hukum pidana seperti membunuh, maka hukumannya hanya bersifat harta, bukan pada fisiknya.
Terkadang manusia memiliki keahlian melaksanakan yang tidak sempurna. Keadaan ini terjadi pada bayi di usia tamyiz sampai dewasa termasuk orang yang kurang akal, yang dimulai sekitar umur tujuh tahun. untuk kondisi yang akalnya lemah dan kurang, maka ia dihukumi seperti anak kecil yang mumayyiz. Mereka pada dasarnya telah cakap karena telah memiliki syarat ahliyyatul wujub, tetapi masih kurang pada sisi ahliyyatul ada’nya sehingga mereka dianggap sah melakukan pengeloloaan yang bermamfaat (possitif) untuk dirinya sendiri, seperti menerima hibah dan sedekah, melakukan transaksi tanpa seizin walinya.
Terkadang manusia memiliki keahlian melaksanakan yanng sempurna, yaitu orang baligh dan berakal sehat. Pada fase ini, saluruh aktivitas mukallaf telah memiliki dampak hukum, baik dalam perkara ibadah maupun muamalah. Hanya saja dalam masalah akad, transaksi dan penggunanaan harta, walaupuan dia telah dewasa (baligh), akan tetapi jika mereka dipandang tidak cakap, maka para ulama sepakat tidak memperbolehkannya.  Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam surah an-Nisa’; 5 :
وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلا مَعْرُوفًا
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
Penghalang Keahlian (awaridh al-ahliyyah)
  1. ‘Aridh Samawiy, yaitu halangan yang datangnya dari Allah. Halangan yang tidak diupayakan dan diusahakan oleh manusia, seperti gila.
  2. ‘Aridh Kasbiy, yaitu halangan yang disebabkan oleh manusia. Halangan ini sumbernya ada dua :
    1. Mm dari diri sendiri, yaitu pingsan, gila, lupa, tidur.
    2. dari orang lain seperti dipaksa, mabuk.

(والله أعلم الصواب)

2 komentar: