Senin, 18 Maret 2013

Dalil-Dalil Syara' yang Disepakati


DALIL-DALIL SYARA' YANG DISEPAKATI


I.                   AL-QUR’AN


A.    Pengantar  

1.         Pengertian Dalil
            - Etimologi : yang menunjukkan kepada  sesuatu, baik sesuatu itu bersifat konkrit atau abstrak.
            - Terminologi : sesuatu yang dapat menunjukkan kepada hukum syara’ tentang perbuatan manusia, baik secara meyakinkan atau dugaan kuat.
2.       Klasifikasi Dalil Syara’
            - Dalil yang disepakati Jumhur Ulama secara tertib, yaitu  :  al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’, qiyas.
Firman Allah :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍۢ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌۭ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS. An-Nisa’/4:59)
Hadits Rasulullah saw :
عَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصَ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ وَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ . (رواه أبو دود والترمذي وأحمد)
Dari beberapa orang penduduk Himsh, sahabat Mu’adz bin Jabal bahwa Rasulullaah saw ketika mau mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman beliau bersabda : “Bagaimana kamu menghukumi jika kamu dihadapkan pada masalah hukum?”. Mu’adz menjawab : Saya akan menghukumi dengan kitab Allah (al-Qur’an). Rasulullah bertanya : “Jika kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah?”. Mu’adz menjawab : (saya akan menghukumi) dengan sunnah Rasulullah saw. Rasulullah bertanya : “Jika kamu tdk mendapatkannya dlm sunnah Rasulullah dan kitab Allah?” Mu’adz menjawab : Saya akan berijtihad dengan pendapatku dan bersungguh-sungguh. Lalu Rasulullah menepuk dada Mu’adz dan bersabda : “Segala puji bagi Allah yg telah memberikan taufik kpd utusan Rasulullah pada yg diridhai Rasulullah”. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ahmad)
            - Dalil yg tdk disepakati : al-istihsan, al-mashlahah al-mursalah, al-istishhab, al-’urf, madzhab sahabat, syar’u man qablana.
B. Definisi Al-Qur’an
          Secara bahasa (etimologi) al-Qur’an berasal dari kata Qara`a yang mempunyai arti mengumpulkan dan menghimpun, dan qira`ah berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapih. Qur`an pada mulanya seperti qira`ah , yaitu masdar (infinitif) dari kata qara` qira`atan, qur`anan. Sebagaimana dalam firman Allah SWT :
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآَنَهُ  فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآَنَهُ (القيامة 17-18)
Artinya : "Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu`. (QS. Al-Qiyamah/75 : 17-18)
            Sedangkan menurut istilah (terminology), al-Qur’an adalah :
كَلَامُ اللهِ الْمُنَزَّلُ عَلَى قَلْبِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم ، بِاللَّفْظِ الْعَرَبِيِّ ، الْمَنْقُوْلُ إِلَيْنَا بِالتَّوَاتُرِ ، الْمَكْتُوْبُ بِالْمَصَاحِفِ ، الْمُتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ ، الْمَبْدُوْءُ بِالْفَاتِحَةِ وَالْمَخْتُوْمُ بِسُوْرَةِ النَّاسِ .
 Firman Allah yang diturunkan ke dalam hati Nabi Muhammad saw. dalam bahasa Arab, yang dinukilkan   kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, tertulis dalam mushaf, membacanya merupakan ibadah, dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.    
C. Karakteristik Al-Qur’an
1.      Firman Allah yg diturunkan kpd Nabi Muhammad saw.
2.      Lafadz dan maknanya dari Allah.
3.      Semuanya berbahasa Arab. Firman Allah :
حم (1) تَنْزِيلٌ مِنَ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (2) كِتَابٌ فُصِّلَتْ آيَاتُهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (3)
Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, Yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. (QS. Fushshilat/41:3)
4.      Sampainya kepada kita pasti karena diriwayatkan secara mutawatir.         Firman Allah :
قُلْ أَيُّ شَيْءٍ أَكْبَرُ شَهَادَةً قُلِ اللَّهُ شَهِيدٌ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ أَئِنَّكُمْ لَتَشْهَدُونَ أَنَّ مَعَ اللَّهِ آلِهَةً أُخْرَى قُلْ لَا أَشْهَدُ قُلْ إِنَّمَا هُوَ إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنَّنِي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ
Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah: "Allah". Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan Dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya). Apakah Sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui." Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)". (QS. An-An’am/6:19)
5.      Terpelihara dari penambahan dan pengurangan, terjaga dari perubahan dan penggantian. Firman Allah :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr/15 : 9)
6.      Merupakan mu’jizat. Firman Allah :
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". (QS. Al-Isra’/17:88).
[Baca juga : QS. Al-Baqarah/2 : 23; Hud/11 : 13]

D. Kehujjahan Al-Qur’an

Bukti bahwa al-Qur’an merupakan hujjah atau dalil bagi manusia dan bahwa hukum-hukumnya merupakan undang-undang yang harus mereka ikuti adalah bahwa al-Qur’an bersumber dari Allah dan dinukilkan kepada mereka dari Allah dengan cara yang qath’iy (pasti) yang keshahihannya  tidak diragukan lagi.
Bukti bahwa al-Qur’an bersumber dari Allah adalah kemukjizatannya.
1.      Pengertian Kemukjizatan al-Qur’an : , Rukunnya, dan Aspek-Aspek Kemukjizatannya
Dalam B. Arab mukjizat ( الإعجاز)  dinisbatkan kepada (العجز )  artinya melemahkan dan menetapkan kelemahan pihak lain. Seperti : ( أَعْجَزَ الرَّجُلُ اَخَاه/seseorang melemahkan saudaranya ), jika orang itu melemahkannya tentang sesuatu. Al-Qur’an melemahkan manusia, yakni al-Qur’an menetapkan kelemahan mereka untuk membuat yang serupa al-Qur’an.
2.      Rukun Kemukjizatan al-Qur’an :
Kemukjizatan atau menetapkan kelemahan pihak lain akan terwujud dengan tiga hal :
a.    Adanya tantangan, yakni permintaan melakukan perlawanan.
b.    Adanya kondisi yang mendorong pihak yang ditantang untuk melakukan perlawanan.
c.       Tidak adanya penghalang bagi pihak yang ditantang untuk melakukan perlawanan.
Adapun adanya tantangan adalah tantangan Rasulullah saw kepada orang-orang kafir ketika beliau mengaku sebagai nabi yang dibuktikan dengan al-Qur’an untuk membuat yang serupa dengan al-Qur’an. (baca : QS. Al-Isra’/17:88; Hud/11:13; al-Baqarah/2:23) 
Adanya kondisi yang mendorong pihak yang ditantang utk melakukan perlawanan adalah sangat jelas bahwa Rasulullah mengaku sebagai utusan Allah yang membawa satu agama yang membatalkan agama mereka, membatalkan tradisi yang mereka dapatkan dari nenek moyang mereka, menganggap bodoh akal mereka, dan memandang rendah berhala mereka. Atas pengakuannya, Rasulullah berargumentasi dengan al-Qur’an yang bersumber dari Allah dan beliau menantang utk membuat yg serupa dg al-Qur’an. Jadi mereka sangat berkepentingan dan bersungguh-sungguh untuk membuat yg serupa dg al-Qur’an, seluruhnya atau sebagiannya, untuk membantah dan membatalkan pengakuan Rasulullah  bahwa beliau diutus oleh Allah SWT.
Sedangkan tidak adanya penghalang bagi mereka utk melakukan perlawanan adalah bahwa mereka mempunyai kemampuan utk melakukan perlawanan ini. Hal ini,  karena  mereka adalah orang-orang yang ahli bahasa dan sastra Arab yang mampu menyusun kalimat-kaliamat Arab dengan fasih dan gaya bahasa yang tinggi baik dari sisi lafazh maupun makna. Dari sisi waktu pun, tidak ada halangan bagi mereka karena al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, tetapi diturunkan secara bertahap dalam waktu  23 tahun.
3.      Aspek-aspek kemukjizatan al-Qur’an :
a.       Keteraturan ungkapan (redaksi), makna, hukum, dan teorinya.
b.      Kesesuaian ayat-ayatnya dengan penemuan dan teori ilmiah.
c.       Pemberitaannya tentang peristiwa-peristiwa yang tidak diketahui kecuali oleh Allah yang Maha Tahu tentang yang ghaib.
d.      Kefasihan lafazh, kebalaghahan ungkapannya, dan kekuatan pengaruhnya. 

E. Jenis-Jenis Hukum Al-Qur’an
Hukum al-Qur’an secara garis besar terbagi kepada 3 jenis :
1.         Hukum-hukum I’tiqadiyah, yaitu yang berhubungan dengan aqidah (keyakinan).
2.                   Hukum-hukum khuluqiyah, yaitu yang berhubungan dengan akhlaq yang utama dan akhlaq yang buruk.
3.                   Hukum-hukum ‘amaliyah, hukum yang berhubungan perbuatan seorang mukallaf. Hukum inilah yang dimaksud dalam ushul fiqh.

Hukum-hukum ‘amaliyah secara garis bersar terbagi kepada 2:
a.                   Hukum-hukum ‘ibadah, yaitu yang mengatur hubungan manusia dengan Allah swt. Seperti : shalat, zakat, shaum, haji.
b.                   Hukum-hukum mu’amalah dalam arti luas, yaitu yang mengatur hubungan antar manusia, baik secara individual maupun secara kelompok, atau antara individu dengan kelompoknya.
            Mu’amalah dalam arti luas, bisa dibagi kepada beberapa bidang hukum :
1)      Hukum keluarga ( أحكام الأحوال الشخصية), yaitu yang berhubungan dengan pengaturan dlm keluarga antara suami isteri, anak-anak dan kaum kerabatnya. (sekitar 70 ayat)
2)      Hukum perdata/hukum mu’amalah secara sempit ( الأحكام المدنية), yaitu yang berhubungan dengan mu’amalah perorangan  untuk memelihara hak-hak perseorangan, seperti : jual beli, sewa menyewa. (sekitar 70 ayat)
3)      Hukum pidana (الأحكام الجنائية ), yaitu yang berhubungan dengan kejahatan dan sanksi-sanksinya demi untuk memelihara kehidupan manusia dalam agamanya, dirinya, akalnya, hartanya, kehormatannya, serta hubungan antara pelaku kejahatan, si korban dan umat. (sekitar 30 ayat)
4)      Hukum acara ( أحكام المرافعات), yaitu yang berhubungan dengan proses peradilan seperti.  gugat, saksi, hakim dsb. Maksudnya : untuk menerapkan keadilan di antara manusia. (sekitar 13 ayat)
5)      Hukum kenegaraan (الأحكام الدستورية ), yaitu aturan yang berhubungan dengan pemerintah yang mengatur hubungan antara pemerintah dan rakyatnya, menetapkan kewajiban dan hak masyarakat dan rakyat. (sekitar 10 ayat)
6)      Hubungan internasional dan antar agama (الأحكام الدولية ), yaitu aturan yang mengatur hubungan antar bangsa dan antar agama baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan perang. (sekitar 25 ayat)
7)      Hukum ekonomi dan harta kekayaan (الأحكام الإقتصادية والمالية ), yaitu yang mengatur tentang pemasukan dan pengeluaran harta kekayaan, hubungan antara si kaya dan si miskin  serta antara negara dan rakyatnya di dalam bidang harta. (sekitar 10 ayat)
F. Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum
 Penjelasan al-Qur’an terhadap hukum dari sisi cakupannya ada 2 bentuk :
1.                  Penjelasan dengan menetapkan kaidah umum yang di bawahnya mencakup bagian-bagian hukum, atau dengan menetapkan prinsip umum yang rinciannya disebutkan dalam as-Sunnah.
            Contoh kaidah umum :
            - Perintah berbuat adil dan kebaikan. Firman Allah :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
90. Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl/16:90)
            - Sanksi sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Firman Allah :
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ
Dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan Balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu akan tetapi jika kamu bersabar, Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. (QS. An-Nahl/16:126)
            - Memenuhi kewajiban. Firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (QS. Al-Maidah/5:1)
            - Kesulitan membawa kepada kemudahan. Firman Allah :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah/2:286)
           
Contoh prinsip umum :
            - Kewajiban menegakkan shalat
            - Kewajiban melaksanakan qishash. Firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; (QS.al-Baqarah/2:178)
            - Dibolehkannya jual beli dan diharamkannya riba.
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
…Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.  (QS. Al-Baqarah/2:275)

2.                  Penjelasan secara terperinci dengan menyebutkan bagian-bagiannya. Ini dalam al-Qur’an hanya sedikit seperti ketentuan warisan, sanksi dan hukuman, dsb.

G. Penunjukan (Dilalah) Ayat Al-Qur’an Terhadap Hukum
Tidak diragukan lagi bahwa nash-nash al-Qur’an seluruhnya qath’iy (pasti) dari sisi wurud (datang), tsubut (tetap) dan penyampaiannya dari Rasulullah saw. Namun dari sisi penunjukan (dilalah) ayat-ayatnya terhadap hukum terbagi kepada dua :
a.    Dilalah qath’iyyah (penunjukan yg qath’y/pasti), yaitu ketika teks al-Qur’an hanya mengandung satu arti.
Contoh :
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (QS. An-Nur/24:2)
b.    Dilalah zhanniyyah (penunjukan yg bersifat dugaan kuat), yaitu ketika teks al-Qur’an itu mengandung makna yg utuh atau sebagiannya, atau satu makna dari makna yg banyak sehingga memungkinkan utk ditaqyid (diikat), ditakhshish (dikhususkan), atau ditakwil.
            Contoh :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
38. laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Maidah/5:38)

II.                AS-SUNNAH

A. Definisi As-Sunnah
As-Sunnah menurut bahasa  adalah : الطريقة و السيرة , yaitu jalan atau cara  dan perjalanan, baik atau buruk. Seperti firman Allah : [سُنَّةَ مَنْ قَدْ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنْ رُسُلِنَا وَلَا تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحْوِيلًا / (Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu[ dan tidak akan kamu dapati perobahan bagi ketetapan Kami itu. (QS. Al-Isra’:77)].
Sunnah menurut terminologi ulama Ushul Fiqh :
ما صدر عن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - من قول، أو فعل، أو تقرير.
 segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW berupa perkataan, perbuatan dan ketetapan.
Penjelasan :
     Sunnah qauliyah : hadits-haditsnya yang beliau sabdakan dalam berbagai kesempatan, seperti : ( لاَضَرَرَ وَ لاَ ضِرَارَ /tidak boleh membahayakan dan tidak boleh dibahayakan).
     Sunnah fi’liyah : perbuatan-perbuatan Rasulullah saw. seperti pelaksanaan beliau terhadap shalat lima waktu dengan cara-caranya.
     Sunnah taqririyah : pengakuan beliau tentang yg dilakukan sebagian perkataan dan perbuatan sahabat dengan cara diam  atau tidak mengingkari, atau dengan cara persetujuan atau memandang baik perkataan dan perbuatan itu. Pengakuan dan persetujuan ini sama dengan yang lahir dari Rasulullah sendiri. Contoh : persetujuan beliau  tentang jawaban Mu’adz bin Jabal ketika diutus ke Yaman dan ketika beliau bertanya dengan apa kamu menghukumi : jawaban Mu’adz adalah dg al-Qu’an, kalau tidak ada dengan as-sunnah, dan kalau tidak ada juga dengan berijtihad.
B. Kehujjahan As-Sunnah
Para ulama sepakat bahwa segala yang diriwayatkan dari Rasulullah saw.  berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan,  dimaksudkan sebagai penetapan hukum atau memberikan contoh, diriwayatkan dengan sanad yang shahih, dilalahnya qath’i atau zhan (dugaan) kuat, merupakan hujjah bagi kaum muslimin dan sebagai sumber pengambilan hukum Islam  bagi para ahli ijtihad.
Dalil kehujjahan as-sunnah adalah :
  1.  Al-Qur’an :
      QS. An-Nisa’: 59 :
 (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu)
     QS. An-Nisa’:65 :
 فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya)
     QS. Al-Hasyr : 7:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.)
b.      Ijma’ sahabat ra. pada masa hidup Rasulullah dan setelah wafatnya. Mereka pada masa hidup beliau melaksanakan hukum-hukumnya baik yang berbentuk perintah atau larangan maupun yang berbentuk halal atau haram. Dalam mengikuti beliau, mereka tidak membeda-bedakan antara hukum yang diwahyukan melalui al-Qur’an atau yang lahir dari diri beliau sendiri.
c. Dalam al-Qur’an, Allah menetapkan beberapa kewajiban kepada manusia secara global tanpa penjelasan dan rincian hukum-hukum dan tatacara pelaksanaannya. Rasulullah menjelaskan kewajiban-kewajiban yang global ini dengan sunnah qauliyah dan perbuatannya. Seandainya as-Sunnah yang merupakan penjelasan ini tidak bisa dijadikan hujjah yang wajib diikuti kaum muslimin, niscaya mereka tidak bisa melaksanakan kewajiban-kewajiban dan tidak bisa mengikuti hukum-hukum al-Qur’an.
C. Kedudukan As-Sunnah Terhadap Al-Qur’an
1.    as-Sunnah sebagai penguat hukum yang ditetapkan al-Qur’an. Dengan demikian hukum mempunyai 2 sumber dan 2 dalil, dalil yang menetapkan dari ayat al-Qur’an dan dalil penguat dari as-Sunnah. Contoh : perintah menegakkan shalat dan membayar zakat.
2.    As-Sunnah sebagai penjelas al-Qur’an, yaitu :
a.    Menjelaskan secara rinci apa yang disebutkan dalam al-Qur’an secara global seperti penjelasan tentang tatacara shalat.
b.    Menyebutkan batasan apa yang disebutkan dalam al-Qur’an secara mutlak.
c.    Menyebutkan secara khusus apa yang disebutkan dalam al-Qur’an secara umum.
3. As-Sunnah sebagai penetap hukum yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an, seperti menetapkan haramnya menikahi wanita  dengan  bibinya atau uwanya.
            D. Pembgian As-Sunnah Berdasarkan Sanadnya
1.      Sunnah Mutawatir : yaitu hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah saw oleh orang banyak, yang menurut adat kebiasaan masing-masing mereka tidak mungkin berbuat dusta karena banyak dan amanah mereka, juga karena perbedaan pandangan dan lingkungan mereka. Dari orang banyak ini diriwayatkan juga oleh orang banyak seperti itu. Sehingga hadits itu sampai kepada kita melalui sanad setiap thabaqah (lapisan ) yang perawinya berjumlah banyak yang mereka mustahil sepakat untuk berdusta, mulai dari penerimaan dari Rasulullah hingga sampainya kepada kita. Seperti hadits-hadits tentang praktek shalat, shaum, haji dan lain sebagainya.
2.      Sunnah Masyhur : yaitu hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah saw oleh seorang sahabat, atau dua orang sahabat atau  banyak sahabat yang tidak sampai pada jumlah mutawatir, kemudian dari seorang atau jumlah yang banyak ini diriwayatkan oleh perawi yang banyak sampai pada jumlah mutawatir, dan dari jumlah yang banyak ini diriwayatkan lagi oleh orang banyak seperti itu hingga sampai kepada kita melalui sanad. Lapisan pertama mendengar  perkataan atau menyaksikan perbuatan Rasulullah seorang atau dua orang atau orang banyak tapi tidak sampai jumlah mutawatir, kemudian diriwayatkan oleh lapisan berikutnya dengan jumlah mutawatir. Termasuk hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, Abdullah bin Mas’ud, atau Abu Bakar, kemudian dari salah seorang mereka  diriwayatkan oleh banyak orang yang tidak sepakat berdusta. Seperti hadits : (إنما الأعمال بالنيات )
Perbedaan antara sunnah mutawatir dengan sunnah masyhur : yaitu pada sunnah mutawatir perawinya pada semua lapisannya sampai pada  derajat mutawatir. Sedangkan pada sunnah masyhur, pada lapisan pertama (sahabat) tidak sampai jumlah mutawatir, baru pada lapisan berikutnya sampai pada jumlah mutawatir.
3.      Sunnah Ahad : yaitu hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah saw oleh beberapa orang yang tidak sampai jumlah mutawatir, seperti diriwayatkan oleh satu orang , dua orang, atau banyak orang yang tidak sampai jumlah mutawatir. Dari perawi ini diriwayatkan lagi oleh perawi seperti itu. Demikianlah hingga sampai kepada kita dengan sanad setiap lapisan beberapa orang yang tidak sampai pada jumlah mutawatir. Termasuk sunnah ahad ini, kebanyakan hadits yang dihimpun oleh kitab-kitab hadits. Sunnah ahad ini dinamakan juga “khabar al-Wahid”.
E. Dilalah (Penunjukan) As-Sunnah Terhadap  Hukum
Nash-nash as-Sunnah seperti nash al-Qur’an dari sisi dilalahnya terhadap hukum, yaitu :
  1. Qath’iy dilalah, seperti hadits :
في الرِّكازِ الخُمُسُ [حديثٌ صحيحٌ رواه ابن ماجه وغيرُهُ]
Artinya : (Zakat)  harta rikaz (harta terpendam) adalah seperlima. (Hadits shahih riwayat Ibnu Majah dan lainnya). Lafazh (الخُمُسُ /seperlima) merupakan bilangan yang qath’iy (pasti), tidak mengandung arti lebih atau kurang.
b.      Zhanniy dilalah, seperti hadits yg diriwayatkan Imam Bukhori dan Muslim :
لا صلاَةَ لمن لم يقرأْ بِفاتحَةِ الكتابِ .
Artinya : Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca surat al-Fatihah) . Para ulama berbeda pendapat apakah maksudnya tidak sah atau tidak sempurna, karena lafaz  (لا/tidak) mengandung arti keduanya.
F. PERKATAAN DAN PERBUATAN RASUL YANG BUKAN MERUPAKAN KETETAPAN HUKUM
1.    Yang lahir dari Rasul karena tabiat kemanusiaannya seperti berdiri, duduk, berjalan dan sebagainya. Tetapi apabila ada dalil yang menunjukan bahwa perbuatan kemanusiaan itu tujuannya memberikan contoh, maka dengan dalil tersebut perbuatan itu merupakan ketetapan hukum.
2.    Yang lahir dari Rasul karena keahlian dan pengalaman manusia dalam masalah keduniaan seperti perdagangan, pertanian, strategi peperangan dan sebagainya. Oleh karena itu ketika Rasulullah melihat penduduk Madinah melakukan perkawinan kurma, beliau mengisyaratkan agar mereka tidak melakukannya. Lalu mereka tidak melakukannya, sehingga kurma itupun tidak berbuah. Kemudian beliau berkata : lakukanlah perkawinan itu, kalian lebih tahu tentang urusan dunia.
3.    Yang lahir dari Rasulullah dan ada dalil syara’  yang menunjukkan bahwa hal itu khusus bagi Rasulullah, seperti beliau menikah lebih dari empat.

III.             IJMA'
A. Definisi Ijma’

Menurut bahasa ijma’ mempunyai du arti :
-          Pertama, tekad yang bulat untuk melakukan sesuatu. Dalam hal ini Allah berfirman :  فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ
“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu. (QS.Yunus/10:71)
 
-          Kedua,  kesepakatan.
Perbedaan arti yang pertama dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang.

Menurut istilah ulama ushul : Ijma’ adalah kesepekatan seluruh mujtahid dari kaum muslimin pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah saw.  atas sesuatu hukum syara’ dalam suatu kasus.
Penjelasan :
Apabila suatu kasus terjadi dan dikemukakan kepada seluruh mujtahid  umat Islam pada waktu terjadinya, kemudian mereka sepakat atas hukumnya, maka kesepakatan itu dinamakan ijma’. Ijma’ mereka atas satu hukum tentang kasus itu dipandang sebagai dalil syara’. Dikatakannya setelah wafatnya Rasul dalam definisi di atas, karena pada masa Rasul beliaulah satu-satunya rujukan hukum, sehingga tidak terbayangkan adanya perbedaan atau kesepakatan tentang hukum syara’, sebab kesepakatan tidak akan terjadi kecuali dari orang banyak.

B. Rukun Ijma’
Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ijma’ tidak akan terjadi kecuali adanya 4 rukun :
1.      Harus ada beberapa orang mujtahid, karena kesepakatan akan bisa terjadi apabila ada beberapa mujtahid; kita tidak bisa membayangkan adanya kesepakatan apabila hanya terdapat seorang mujtahid.
2.      Harus ada kesepakatan di antara para mujtahid. Oleh karena itu tidak bisa disebut ijma’ apabila hanya disepakati oleh mujtahid Irak saja, atau mujtahid Hijaz saja, atau mujtahid Mesir saja.
3.      Kesepakatan mereka harus tampak nyata, baik dengan perkataan masing-masing mereka  dengan mengemukakan pendapatnya, misalnya dengan memberikan fatwa, atau dengan mengemukakan pendapat secara terpisah atau di satu tempat secara bnersamaan, atau dengan perbuatan misalnya dengan memutuskan suatu perkara.
4.      Kesepakatan semua mujtahid itu hendaknya terwujud pada suatu hukum. Oleh karena itu tidak dikatakan ijma’ jika kesepakatan itu hanya sebagian besar saja, sedangkan yang lainnya tidak sepakat; karena bisa jadi kebenaran itu ada di pihak yang berbeda pendapat.
C. Kehujjahan Ijma’
Apabila terjadi ijma’ pada suatu masalah, maka hukum terhadap masalah ini wajib diikuti dan bukan lapangan ijtihad lagi, karena hukum yang ditetapkan dengan ijma’ mempunyai nilai qath’iy, tidak bisa dihapus atau ditentang. Dalil kehujjahan ijma’ :
1.      QS. An-Nisa’ : 59 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ  
Artinya : (Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. ). Termasuk taat kepada ulil amri adalah taat pada kesepakatan para mujtahid.
Oleh karena itu Allah berfirman dalam surat an-Nisa’ : 83:
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ
 artinya : (dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri)). Dan Allah telah mengancam orang-orang yang menyalahi dan mengikuti orang-orang yang bukan orang mukmin.
2.      Hukum yang disepakati oleh seluruh mujtahid pada hakekatnya adalah hukum umat yang tercermin pada para mujtahidnya, sedangkan banyak hadits dan atsar sahabat yang menunjukkan terjaganya umat dari kesalahan. Di antaranya :
لا تجتمع أمتي على خطإ
umatku tidak mungkin bersepakat dalam kesalahan.

لم يكن الله ليجمع أمتي على الضلالة
Allah tidak mungkin menghimpun umatku dalam kesesatan.

مارآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin baik pula di sisi Allah.

3. Kesepakatan seluruh mujtahid atas suatu hukum syara’ dalam satu kasus merupakan dalil adanya landasan syar’i  yang menunjukkan pada hukum itu secara qath’iy; karena bila yang mereka jadikan landasan itu bersifat  zhanniy, biasanya mustahil akan terjadi kesepakatan, sebab yang zhanniy itu merupakan lapangan perbedaan pendapat.
D. Kemungkinan Terjadinya Ijma’
Menurut Nazhzham dan sebagian Syi’ah : ijma’ itu tidak mungkin terjadi. Alasannya :
1.      Tidak adanya standar dan patokan untuk mengetahui apakah seseorang termasuk mujtahid atau tidak.
2.      Sulit untuk mengetahui pendapat masing-masing mujtahid dalam suatu kasus secara pasti; karena bisa jadi pendapat seorang mujtahid berubah sebelum mujtahid lain mengemukakan pendapatnya.
3.      Ijma’ itu harus bersandarkan dalil, baik yang qath’i ataupun yang zhanni. Bila berlandaskan dalil yang qath’I, maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu tidak membutuhkan ijma’. Sebaliknya bila didasarkan pada dalil yang zhanni, dapat dipastikan para ulama akan berbeda pendapat sesuai dengan kemampuan berpikir dan daya nalar mereka serta berbagai dalil yang menguatkan pendapat mereka.
Sedangkan Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ mungkin terjadi; karena ijma’ secara nyata telah terjadi pada masa sahabat, sepertii tentang kekhalifahan Abu Bakar, nenek mendapat 1/6 dari harta warisan, cucu laki-laki terhalang oleh anak laki-laki dalam warisan, dsb.
Bantahan terhadap golongan pertama :
1.      Pendapat  yang mengingkari kemungkinan terjadinya ijma’ merupakan keraguan terhadap sesuatu yang telah terjadi.
2.      Berkenaan dengan argumen yang ketiga, bisa dikatakan bahwa adanya dalil itu tidak bisa menghilangkan adanya ijma’, karena bisa jadi ada dalil yang qath’i tidak diketahui oleh masyarakat banyak. Dan seandainya dalil yang qath’I itu diketahui masyarakat banyak, tidak berarti ijma’ itu tidak bermanfaat, ijma’ tetap bermanfaat sbg penguat dalil dan mencegah perbedaan pendapat ttg hukum yang berkaitan dengan dalil tsb.
Dan kalau dalil itu dalil zhanni seperti hadits ahad, tidaklah mustahil untuk mengadakan ijma’, karena beberapa dalil yang zhanni menjadi lebih jelas ketetapan hukumnya serta dapat menghilangkan pertentangan dan perbedaan pendapat.
3. Sedangkan argumen pertama dan kedua, itu memang benar  jika hal itu diserahkan kepada individu dan masyarakat, tetapi akan bisa terlaksana kalau hal itu diserahkan kepada pemerintah. Pemerintah bisa menseleksi siapa saja yang memenuhi syarat sebagai mujtahid, dan pemerintah juga bisa minta pendapat mujtahid itu tentang suatu kasus.
E. Betulkah Ijma’ Telah Terjadi?
Apakah ijma’ sesuai dengan definisi di atas telah terjadi pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah saw? jawabnya : tidak.
Yang terjadi pada masa sahabat seperti pada masa Abu Bakar dan Umar sebetulnya bukanlah termasuk ijma’ melainkan kesepakatan yang hadir yang memiliki ilmu dan pendapat tentang suatu permasalahan yang disodorkan. Jadi sebetulnya hukum yang lahir dari musyawarah jama’ah bukan dari pendapat pribadi. Sebab pentolan-pentolan sahabat yang lain berada di Mekah, Syam, Yaman dan di medan jihad. Inilah yang dikatakan ijma’ oleh ulama fiqh.
Selain pada masa sahabat, yang dikatakan ijma’ oleh Ulama fiqh juga terjadi pada masa Daulat Bani Umayah di Andalusia, dimana pada abad ke 2 H, mereka membentuk jama’ah ulama untuk bermusyawarah dalam menetapkan hukum.
Setelah masa sahabat dan masa Bani Umayah di Andalusia tidak ada lagi ijma’, dan tidak lahir lagi ketetapan hukum dari jama’ah ulama, yang ada adalah ijtihad masing-masing ulama dalam satu negara dan dalam satu lingkungan. Ijtihad itu bisa sepakat dan bisa tidak. Paling banter seseorang ulama fiqh bisa mengatakan : tidak diketahui perbedaan ulama dalam masalah ini
Selain pengertian ijma’ di atas, ijma’ yang menjadi dalil hukum adalah nash-nash al-Qur’an dan as-sunnah yang disepakati kaum muslimin. Ijma’ semacam ini tidak terjadi kecuali pada ajaran Islam yang diketahui secara pasti, sepertii shalat lima waktu, shaum Ramadhan, haji, haramnya zina dan minum khamr, dan sebagainya. Inilah yang dikatakan dalam hal seperti ini : hukumnya telah tetap dengan al-Qur’an, as-Sunnah dan al-Ijma’.
Bahayanya dengan menyalahi ijma’ ini bahwa pelakunya keluar dari Islam, keluar dari jama’ah Muslimin.
F. Pembagian Ijma’
Dari sisi prosesnya, ijma’ terbagi kepada dua : al-ijma’ ash-Sharih (ijma’ yang jelas) dan al-Ijma’ as-Sukutiy (ijma’ diam).
Ijma’ sharih adalah para mujtahid pada suatu masa sepakat atas hukum suatu kasus dengan cara masing-masing mengemukakan pendapatnya secara jelas melalui fatwa atau qadha. Yakni dari setiap mujtahid lahir perkataan atau perbuatan yang mencerminkan pendapatnya secara jelas.
Ijma’ sukutiy : sebagian mujtahid pada suatu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas melalui fatwa atau qadha’, sedangkan yang lainnya diam tidak mengemukakan pendapatnya, baik dengan menyetujui ataupun tidak.
Ijma’ sharih :  hujjah menurut Jumhur ulama .
Ijma’ sukutiy : tidak bisa dijadikan hujjah menurut jumhur, karena pendapat itu pendapat sebagian mujtahidin, bukan seluruhnya.
Sedangkan  menurut ulama madzhab Hanafi, Ijma’ sukuty  bisa dijadikan hujjah. Hal itu jika mujtahid yang diam itu kepadanya disodorkan suatu masalah dan disodorkan pula pendapat yang telah dikemukakan mujtahid lain, dan telah berlalu waktu yang cukup untuk membahas dan mengemukakan pendapat, tetapi dia tetap diam, dan diamnya itu bukan karena takut, lemah, sakit, memperolok-olok; sebab diamnya mujtahid dalam hal sepertii itu tanda setuju.
Dari dilalahnya terhadap hukum, ijma’ terbagi kepada 2 juga : ijma’ qath’iy dilalah dan ijma’ zhanniy dilalah.
Ijma’ qath’iy dilalah adalah ijma’ sharih, dalam arti hukumnya sudah pasti, tidak ada ruang lagi untuk berbeda pendapat dan ijtihad terhadap masalah yang telah ditetapkan hukumnya melalui ijma sharih tersebut.
Ijma zhanniy dilalah adalah ijma’ sukutiy, dalam arti ketetapan hukumnya masih zhanni (dugaan kuat), masih ada ruang untuk berbeda pendapat dan ijtihad.

IV.             AL-QIYAS

A. Definisi Al-Qiyas
Al-Qiyas menurut bahasa : mengukur sesuatu dengan sesuatu yang menyerupainya. Contoh :  قَاسَ الثَوْبَ بِالمِتْرِ : اَيْ قَدَّرَ أَجْزاءَهُ بِهِ /”Ia mengukur baju dengan meteran”, maksudnya ia menentukan bagian-bagiannya dengan meteran.
Qiyas juga berarti menyamakan, karena sesungguhnya mengukur dengan sesuatu yang lain yang menyamainya berarti juga mempersamakan keduanya.
Qiyas menurut istilah Ulama Ushul Fiqh adalah :
إلحاق واقعة لا نص على حكمها بواقعة ورد نص بحكمها، في الحكم الذي ورد به النص، لتساوي الواقعتين في علة هذا الحكم.
Mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya dalam hukum yang ada nashnya karena adanya persamaan kedua kasus tersebut dalam illat hukumnya.
Jadi, apabila suatu nash telah menunjukan hukum mengenai suatu kasus, dan illat hukum itu telah diketahui melalui salah satu metode untuk mengetahui illat hukum, kemudian ada kasus lainnya yang sama dengan kasus yang ada nashnya itu dalam suatu illat yang illat hukum itu juga terdapat pada kasus itu, maka hukum kasus itu disamakan dengan hukum kasus yang ada nashnya, berdasarkan atas persamaan illatnya, karena sesungguhnya hukum itu ada di mana illat hukum ada.
Contoh : meminum khamer adalah kasus yang ditetapkan hukumnya oleh nash yaitu haram yang ditunjuki QS. Al-Maidah/5:90. Karena suatu  illat, yaitu memabukkan, maka setiap minuman keras yang terdapat padanya illat memabukkan disamakan dengan khamer mengenai hukum minumnya, yaitu haram.
Contoh lain : pembunuhan yang dilakukan penerima wasiat  terhadap pemberi wasiat, hukumnya disamakan dengan hukum pembunuhan ahli waris terhadap yang mewariskan, yaitu tidak diberikan harta warisan sesuai dengan hadits “Orang yang membunuh tidak memperoleh harta warisan”. Hal itu karena adanya suatu illat yaitu menyegerakan sesuatu sebelum waktunya. 
B. Kehujjahan Al-Qiyas
Jumhur ulama Islam  sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu kasus baik dengan nash ataupun ijma’ dan diperoleh ketetapan bahwa kasus itu menyamai suatu kejadian yang ada nash hukumnya dari segi illat hukum ini, maka kasus itu diqiyaskan dengan kasus tsb dan ia diberi hukum dengan hukumnya, dan hukum ini merupakan hukumnya menurut syara’. Seorang mukallaf harus mengikuti dan mengamalkannya.
Madzhab Nazhzhamiyah, Zhahiriyah, dan sebagian kelompok Syi’ah berpendapat bahwasanya qiyas bukan hujjah syar’iyyah atas hukum.
Dalil golongan pertama (Pendukung qiyas) :
1.      Dalil al-Qur’an :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (QS. Al-Hasyr/59:2)
وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ (78) قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ (79)
Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?" Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk. (QS. Yasin/36 : 78-79)
2.       Dalil As-Sunnah :
Hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, di antaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu bentuk ijtihad
Jawaban Rasulullah saw kepada wanita yang bertanya tentang ayahnya yang sudah wajib haji tapi tidak mampu melaksanakannya apakah berguna kalau ia menghajikannya, bahwa itu merupakan hutang kepada Allah yang harus dibayar sebagaimana kalau ia punya hutang kepada manusia yang harus dibayar.
3.      Perbuatan dan perkataan sahabat .
Mereka benar-benar telah melakukan ijtihad terhadap berbagai kejadian yang tidak ada nashnya. Mereka mengqiyaskan kejadian yang tidak ada nashnya dengan kejadian yang ada nashnya. Mereka mengqiyaskan kekhalifahan dengan keimaman shalat, dan membai’at Abu Bakar sebagai khalifah dan menjelaskan asas qiyas melalui perkataan mereka : “Rasulullah saw telah meredhai Abu Bakar untuk agama kita, maka apakah kita tidak meridhainya untuk dunia kita?”.
4.      Dalil penalaran akal. Di antaranya bahwa nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah terbatas jumlahnya dan ada habisnya. Sedangkan kejadian dan persoalan manusia tidak terbatas jumlahnya dan tidak ada habisnya. Oleh karena itu, tidaklah mungkin nash-nash yang ada habisnya saja menjadi sumber pembentukan hukum untuk sesuatu yang tiada habis-habisnya. Maka qiyas merupakan sumber pembentukan hukum yang sejalan dengan kejadian yang terus menerus datang dan menyingkap hukum syari’at terhadap berbagai peristiwa baru yang terjadi dan menyelaraskan antara pembentukan hukum dan kemaslahatan.
Kekaburan para penolak qiyas. Di antaranya adalah perkataan mereka bahwa  qiyas didasarkan atas zhan (dugaan), seperti bahwa illat hukum nash ini adalah begini. Sedangkan sesuatu yang didasarkan atas zhan adalah zhanni juga. Allah mencela orang-orang yang mengikuti dugaan sebagaimna disebuntukan dlm al-Qur’an surat al-Isra’:36. oleh karena itu menetapkan hukum berdasarkan qiyas adalah tidak sah, karena hal itu mengikuti dugaan.
Bantahan :
Ini adalah kekaburan yang lemah, karena sebenarnya yang dilarang adalah mengikuti dugaan di dalam persoalan aqidah. Adapun dalam persoalan hukum-hukum amaliyah, maka sebagian besar dalilnya adalah zhanni. Kalau sekiranya kekaburan ini dibenarkan, niscaya nash-nash yang dalalahnya zhanni tidak diamalkan, karena hal itu juga mengikuti dugaan. Ini jelas keliru menurut kesepakatan ulama. Karena kebanyakan nash-nash itu adalah zhanni dalalahnya.
C. Rukun Al-Qiyas
  1. Al-Ashlu (pokok), yaitu : Sesuatu yang ada nash hukumnya. Ia disebut juga al-maqis ‘alaih (yang diqiyaskan kepadanya), mahmul ‘alaih (yang dijadikan pertanggungan), musyabbah bihi (yang diserupakan padanya).
  2. Al-Far’u (cabang), yaitu : Sesuatu yang tidak ada nash hukumnya. Ia disebut juga al-maqis (yang diqiyaskan ), al-mahmul  (yang dipertanggungkan), musyabbah (yang diserupakan ).
  1. Hukum al-ashlu, yaitu : Hukum syara’ yang ada nashnya pada al-ashlu, dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada al-Far’u.
  2. Al-’Illat (illat), yaitu : suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk hukum al-ashlu, dan berdasarkan adanya sifat itu pada al-far’u, maka ia disamakan dengan al-ashlu dari segi hukumnya.
Penjelasan Rukun Qiyas
Rukun Pertama dan Kedua : al-Ashlu dan al-Far’u
Rukun pertama dan kedua (al-ashlu dan al-far’u) adalah dua kejadian atau dua hal. Yang pertama, sudah ada ketetapan hukumnya berdasarkan nash. Sedangkan yang kedua, tidak ada ketetapan hukumnya oleh nash, dan hendak diketahui hukumnya.
Pada keduanya tidak ada persyaratan selain bahwa al-ashlu hukumnya sudah ditetapkan berdasarkan nash, dan al-far’u belum ada ketetapan hukumnya melalui nash dan ijma’, juga tidak ada pembeda yang menghalangi persamaan keduanya dalam hukum.
Rukun Ketiga : Hukum Al-Ashlu
Untuk menjangkaukan hukum al-ashl kepada al-far’u, maka ada beberapa syarat :
Syarat 1 : Ia merupakan hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia yang ditetapkan dengan nash. Adapun hukum syara’ yang ditetapkan berdasarkan ijma’, maka untuk menjangkaukannya pada al-far’u ada dua pendapat. Pendapat pertama, tidak sah menjangkaukannya. Inilah pendapat yang kuat menurut Khallaf, sebab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ (jika ada) tidak diharuskan menyebuntukan sandarannya. Jika tidak disebuntukan sandarannya, maka sulit untuk menemukan illat hukumnya. Jadi, tidak mungkin menqiyaskan terhadap hukum yang telah diijma’kan. Pendapat kedua, sah menjangkaukan hukumnya pada al-far’u. menurut asy-Syaukani : “Ini adalah pendapat yang paling shahih di antara dua pendapat”.
Sedangkan hukum syara’ yang ditetapkan berdasarkan qiyas, maka sama sekali tidak sah menjangkaukannya, karena al-far’u jika illatnya menyamai hukum syara’ yang ditetapkan berdasarkan qiyas, maka ia menyamai nash itu dalam illatnya, dan hukum yang ditetapkan berdasarkan qiyas adalah hukum nash itu sendiri. Dan jika al-far’u illatnya tidak menyamai hukum syara’ berdasarkan qiyas, maka tidak sah mempersamakannya dalam hukum. Oleh karena itu tidak bisa dikatakan bahwa tidak sah diharmkannya arak buah apel diqiyaskan pada arak kurma.  
Syarat 2 : Hukum al-ashlu termasuk sesuatu yang mungkin akal dapat mengetahui illatnya. Karena  jika tidak mungkin diketahui illatnya, maka hukum itu tidak mungkin diberikan kepada yang lain melalui qiyas, sebab dasar qiyas adalah mengetahui illat hukum al-ashlu dan mengetahui terwujudnya illat itu pada al-far’u.
Syarat 3 : Hukum al-Ashlu bukan hukum yang dikhususkan. Jika hukum itu hukum yang dikhususkan, maka tidak boleh diberikan pada yang lain melalui qiyas. Hukum al-ashlu tidaklah dikhusukan kecuali dlm dua hal :
Illat hukum itu tidak tergambarkan  ada pada selain al-ashlu, seperti boleh mengqashar shalat bagi musafir.
Ada dalil yang menyatakan kekhususan hukum itu, seperti hukum boleh menikahi wanita  lebih dari 4 yang dikhususkan bagi Rasulullah saw.
Syarat 4 : Hukum al-ashlu itu tidak dinasakh (dihapuskan). Ini sudah jelas.
Rukun Keempat : ’Illat
Definisi ‘illat
Illat adalah suatu sifat yang terdapat pada al-ashlu, yang menjadi dasar ditetapkan hukumnya, dan dengan sifat itu dapat diketahui adanya hukum pada al-far’u. 
Perbedaan antara illat dengan hikmah adalah bahwa hikmah hukum merupakan pendorong dan sasaran yang hendak dicapai dari ditetapkaanya hukum, yaitu kemaslahatan yang menjadi tujuan syari’ (penentu hukum/Allah) dalam menetapkan hukum, yaitu dengan mewujudkan atau menyempurnakan kemaslahatan, menolak atau meminimalisir kerusakan. Sedangkan illat hukum adalah hal yang jelas dan pasti  yang dijadikan dasar hukum, dan hukum itu dikaitkan dengannya baik keberadaannya atau ketiadaannya. Karena membangun dan mengaitkan hukum dengannya dapat mewujudkan hikmah ditetapkannya hukum itu. Contoh mengqashar shalat. Hikmahnya adalah meringankan dan menghindari kesulitan. Illatnya adalah bepergian. 
Syarat-syarat illat :
1.      Illat itu haruslah berupa suatu sifat yang jelas. Makna kejelasan sifat ini ialah bahwa sifat tsb harus berupa sesuatu yang dapat dijangkau oleh panca indera yang lahir. Karena illat merupakan sesuatu yang memberitahukan adanya hukum pada al-far’u. Oleh karena itu, ia harus merupakan suatu hal yang jelas, bisa dijangkau oleh indera keberadaannya pada al-ashlu dan dapat dijangkau keberadaannya pada al-far’u. Contoh : memabukkan.
2.      Sifat itu haruslah pasti. Makna kepastiannya adalah bahwa ia mempunyai suatu hakekat yang tertentu dan terbatas, yang memungkinkan terwujudnya pada al-far’u dengan tepat atau perbedaan sedikit. Karena asas qiyas adalah persamaan al-far’u dan al-ashlu pada illat hukum al-ashlu.
3.      Sifat itu merupakan hal yang sesuai. Makna kesesuainnya adalah bahwa sifat itu menjadi tempat dugaan terwujudnya hikmah hukum. Artinya, bahwa mengaitkan hukum dengan sifat itu baik keberadaannya maupun ketidak beradaannya merupakan upaya untuk merealisir apa yang dimaksudkan oleh syari’ dlm menetapkan hukum, berupa mendapatkan manfaat atau menolak madharat.
4.      Sifat yang tidak terbatas pada al-ashlu (pokok). Maknanya, suatu sifat hendaknya bisa diwujudkan pada sejumlah individu selain al-ashlu. Karena sasaran yang hendak dicapai dlm pemberian illat hukum pokok al-ashlu adalah memberikannya pada al-far’u. jadi jika pemberian illat itu yang tidak terdapat pada al-far’u, maka illat tidak menjadi dasar bagi qiyas. Contoh illat yang terbatas pada al-ashlu adalah bepergian  yang merupakan illat dibolehkannya mengqashar shalat bagi musafir.
Pembagian Illat
Dari sisi adanya dan tidak adanya anggapan Syari’ terhadap sifat yang sesuai, maka illat terbagi pada 4 :
1.    Munasib Muatstsir (sifat yang sesuai yang memberikan pengaruh). Yaitu suatu sifat yang sesuai di mana Syari’ telah menyusun hukum yang sesuai dengan sifat itu; dan berdasarkan nash atau ijma’, sifat itu telah ditetapakn sebagai illat hukum yang disusun berdasarkan kesesuaian dengannya. Contoh :
        QS. Al-Baqarah/2 :222. Hukum yang pasti berdasarkan nash ialah kewajiban menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh. Nash telah menyebuntukan sebabnya, yaitu bahwa haidh adalah kotoran. Shighat nash telah jelas bahwa illat hukum adalah kotoran tersebut. Jadi, kotoran itu merupakan sifat yang munasib muatstsir.
        Contoh lain : QS. An-Nisa’/4:6. Hukum yang tetap berdasarkan nash tsb ialah bahwa anak yatim yang belum mencapai baligh, maka kewalian atas harta bendanya masih tetap pada walinya. Ijma’ menetapkan bahwa illat bagi tetapnya kewalian keharta bendaan atas anak kecil adalah keadaan kecilnya. Jadi, keadaan masih kecil bagi tetapnya kewalian keharta bendaan adalah sifat munasib muatstsir.
2.    Munasib Mulaim (sifat yang sesuai lagi cocok). Yaitu suatu sifat yang sesuai di mana Syari’ telah menyusun hukum yang sesuai dengan sifat itu, namun tidak ada nash maupun ijma’ yang menetapkannya sebagai illat hukum menurut pandangan Syari’ itu sendiri yang sesuai dengan sifat itu. Namun berdasarkan nash atau ijma’ diperoleh ketetapan bahwa sifat itu dianggap sebagai illat hukum dari hukum sejenis yang oleh Syari’ telah disusun hukumnya sesuai dengan sifat itu, ataupun sifat yang sejenis dianggap sebagai illat hukum dari hukum yang sejenis dengan hukum ini.
        Contoh sifat yang sesuai yang dianggap Syari’ sebagai illat hukum dari jenis hukum yang Dia telah menyusun hukum sesuai dengannya ialah : keadaan masih kecil bagi tetapnya kewalian seorang ayah dlm mengawinkan anak perempuanyang masih kecil. Hal ini karena berdasarkan ijma’ diperoleh ketetapan penganggapan keadaan masih kecil sebagai illat bagi kewalian terhadap harta kekayaan anak perempuan yang masih kecil. 
        Contoh sifat yang munasib yang sifat sejenisnya dianggap oleh Syari’ sebagai illat hukum yang disusun dengan sifat itu ialah : hujan untuk kebolehan menjama’ shalat.
        Contoh sifat yang munasib yang Syari’ menganggap sifat sejenisnya menjadi illat bagi hukum dari jenis hukum di mana Syari’ telah menyusun hukum sesuai dengan sifat itu ialah : Berulangkalinya waktu shalat bagi gugurnya mengqadha shalat dari orang yang haidh.                                                            
3.                   Munasib Mursal (sifat yang sesuai lagi bebas). Yaitu suatu sifat yang mana Syari’ tidak menyusun hukum sesuai dengan sifat itu. Dan tidak ada dalil syara’ yang menunjukkan adanya anggapan maupun tidak adanya anggapan terhadap sifat itu dengan bentuk anggapan apapun. Sifat itu adalah munasib, artinya dapat mewujudkan kemaslahatan, tetapi juga mursal, yakni terlepas dari dalil yang menganggapnya dan dari dalil yang tidak menganggapnya. Inilah yang dinamakan oleh Ulama ushul sebagai al-Mashlahah al-Mursalah.
·           Contohnya ialah : kemaslahatan yang menjadi dasar para sahabat  menetapkan hukum pembayaran pajak atas tanah pertanian, pembuatan mata uang, pentadwinan al-Qur’an dan penyebarannya, dsb.
·           Para Ulama berbeda pendapat  dalam menetapkan hukum berdasarkaan  munasib mursal ini. Sebagian mereka berpendapat bahwa munasib mursal tidak bisa dijadikan dasar dlm penetapan hukum. Sebagian ulama lagi berpendapat sebaliknya.

4.                   Munasib Mulgha (sifat yang sesuai yang sia-sia). Yaitu suatu sifat yang nampak bahwa mendasarkan hukum atas sifat itu dapat mewujudkan kemaslahatan, namun Syari’ tidak menyusun hukum sesuai dengannya, dan syari’ tidak menunjukkan berbagai dalil yang menunjukkan pembatalan anggapannya. Contoh : persamaan anak perempuan dan anak laki-laki dlm kekerabatan untuk mempersamakan mereka dlm bagian harta warisan. Contoh lain : menetapkan hukuman khusus bagi orang yang berbuka puasa dengan sengaja pada bulan Ramadhan untuk maksud pencegahan. Ini tidak sah menjadikannya sebagai dasar pembentukan hukum atasnya.
Masalik al-’illat (Cara-cara Untuk Mengetahui ‘Illat) :
1.    Nash .
Apabila nash dlm al-Qur’an atau as-Sunnah menunjukkn bhw illat suatu hukum adalah sifat ini, maka sifat tsb menjadi illat berdasarkan nash. Ia disebut illat al-manshush ‘alaiha (illat yang disebuntukan dlm nash). Penunjukkan nash bahwa sifat itu adalah illat kadangkala jelas, dan kadangkala berupa isyarat. Dan yang jelas terbagi pada jelas yang bersifat pasti (qath’i) dan jelas yang bersifat dugaan kuat (zhanniyah).  Contoh yang jelas dan bersifat pasti : QS. 4:165, 59:7. contoh yang jelas bersifat dugaan kuat : QS. 17:78, 4:160, 2:222.  Contoh yang isyarat : hadist : “Janganlah seorang hakim menjatuhkan putusan ketika ia sedang dalam keadaan marah”.  
2.      Ijma’.
Apabila para mujtahid pada suatu masa sepakat atas  keillatan suatu sifat bagi suatu hukum syara’, maka keillatan sifat ini bagi hukum tersebut ditetapkan berdasarkan ijma’. Contohnya : ijma’ para mujtahid tentang illat kewalian harta atas anak kecil adalah keadaannya yang masih kecil. Namun dlm memasukkan ijma’ sebagai salah satu cara mengetahui illat perlu ditinjau. Sebab para penolak qiyas tidak melakukan qiyas dan tidak pula menetapkan illatnya. Bagaimana mungkin terjadi ijma’ tanpa mereka?.
3.      As-Sibr wa at-Taqsim (percobaan dan pembatasan)
as-Sibr : adalah pengujian. Sedangkan at-taqsim : adalah pembatasan sifat-sifat yang layak untuk menjadi illat pada al-ashlu (pokok).
As-Sibr wa at-taqsim adalah proses yang dilakukan oleh seorang mujtahid untuk mengetahui sifat-sifat yang ada pada al-ashlu, kemudian mengujinya dengan menggunakan syarat-syarat yang harus dipenuhi dlm illat. Berdasarkan pengujian ini, si mujtahid menjauhkan sifat-sifat yang tidak layak untuk menjadi illat dan menyisakan sifat yang layak untuk menjadi illat.
Contoh : Ada yang nash yang mengharamkan riba al-fadhl (kelebihan) dan riba an-nasi’ah (tempo waktu) mengenai pertukaran gandum dengan gandum. Sedangkan tidak ada nash dan ijma’ yang menunjukkan illat hukum ini. Lalu seorang mujtahid menempuh jalur as-sibr dan at-taqsim untuk dapat mengetahui illat hukum ini, dengan cara mengatakan illat ukum ini mungkin karena keberadaannya bisa ditakar atau ditimbang, mungkin karena sebagai bahan makanan, atau mungkin karena sebagai makanan pokok dan bisa disimpan. Akan tetapi sebagai bahan makanan tidak layak menjadi illat, sebab pengharaman juga terjadi pada emas, padahal emas bukan jenis makanan.
Begitu juga sebagai bahan makanan pokok tidak layak dijadikan illat, sebab pengharaman juga terjadi pada pertukaran garam dengan garam, padahal garam bukan bahan makanan pokok. Kalau begitu, jelaslah bahwa illatnya adalah keberadaannya sebagai yang bisa ditakar atau ditimbang. Maka berdasarakan hal ini, segala sesuatu yang bisa diukur dengan takaran atau timbangan diqiyaskan dengan sesuatu yang terdapat dlm nash dalam pemberlakuan riba al-fadhl dan riba an-nasi’ah.

(والله أعلم الصواب)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar