DALIL-DALIL SYARA' YANG DISEPAKATI
I.
AL-QUR’AN
A.
Pengantar
1.
Pengertian
Dalil
- Etimologi : yang menunjukkan kepada
sesuatu, baik sesuatu itu bersifat
konkrit atau abstrak.
- Terminologi : sesuatu yang dapat
menunjukkan kepada hukum syara’ tentang perbuatan manusia, baik secara
meyakinkan atau dugaan kuat.
2.
Klasifikasi
Dalil Syara’
- Dalil yang disepakati Jumhur Ulama
secara tertib, yaitu : al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’, qiyas.
Firman Allah :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟
أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن
تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍۢ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌۭ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلًا
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS. An-Nisa’/4:59)
Hadits Rasulullah saw :
عَنْ أُنَاسٍ
مِنْ أَهْلِ حِمْصَ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا
أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ كَيْفَ تَقْضِي إِذَا
عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ
فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا
آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ
وَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي
رَسُولَ اللَّهِ . (رواه أبو دود والترمذي وأحمد)
Dari
beberapa orang penduduk Himsh, sahabat Mu’adz bin Jabal bahwa Rasulullaah saw
ketika mau mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman beliau bersabda : “Bagaimana kamu
menghukumi jika kamu dihadapkan pada masalah hukum?”. Mu’adz menjawab : Saya
akan menghukumi dengan kitab Allah (al-Qur’an). Rasulullah bertanya : “Jika
kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah?”. Mu’adz menjawab : (saya akan
menghukumi) dengan sunnah Rasulullah saw. Rasulullah bertanya : “Jika kamu tdk
mendapatkannya dlm sunnah Rasulullah dan kitab Allah?” Mu’adz menjawab : Saya
akan berijtihad dengan pendapatku dan bersungguh-sungguh. Lalu Rasulullah
menepuk dada Mu’adz dan bersabda : “Segala puji bagi Allah yg telah memberikan
taufik kpd utusan Rasulullah pada yg diridhai Rasulullah”. (HR. Abu Daud,
Tirmidzi, dan Ahmad)
- Dalil yg tdk disepakati :
al-istihsan, al-mashlahah al-mursalah, al-istishhab, al-’urf, madzhab sahabat,
syar’u man qablana.
B. Definisi Al-Qur’an
Secara bahasa
(etimologi) al-Qur’an berasal dari kata Qara`a yang mempunyai arti
mengumpulkan dan menghimpun, dan qira`ah berarti menghimpun huruf-huruf
dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapih.
Qur`an pada mulanya seperti qira`ah , yaitu masdar (infinitif) dari kata
qara` qira`atan, qur`anan. Sebagaimana dalam firman Allah SWT :
إِنَّ عَلَيْنَا
جَمْعَهُ وَقُرْآَنَهُ فَإِذَا
قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآَنَهُ (القيامة 17-18)
Artinya
: "Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan membacanya.
Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu`. (QS. Al-Qiyamah/75
: 17-18)
Sedangkan menurut istilah
(terminology), al-Qur’an adalah :
كَلَامُ اللهِ
الْمُنَزَّلُ عَلَى قَلْبِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم ، بِاللَّفْظِ
الْعَرَبِيِّ ، الْمَنْقُوْلُ إِلَيْنَا بِالتَّوَاتُرِ ، الْمَكْتُوْبُ
بِالْمَصَاحِفِ ، الْمُتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ ، الْمَبْدُوْءُ بِالْفَاتِحَةِ
وَالْمَخْتُوْمُ بِسُوْرَةِ النَّاسِ .
Firman Allah
yang diturunkan ke dalam hati Nabi Muhammad saw. dalam bahasa Arab, yang
dinukilkan kepada generasi sesudahnya
secara mutawatir, tertulis dalam mushaf, membacanya merupakan ibadah, dimulai
dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.
C. Karakteristik Al-Qur’an
1.
Firman Allah yg
diturunkan kpd Nabi Muhammad saw.
2.
Lafadz dan
maknanya dari Allah.
3.
Semuanya
berbahasa Arab. Firman Allah :
حم (1) تَنْزِيلٌ مِنَ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (2)
كِتَابٌ فُصِّلَتْ آيَاتُهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (3)
Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, Yakni bacaan dalam bahasa Arab,
untuk kaum yang mengetahui. (QS. Fushshilat/41:3)
4.
Sampainya
kepada kita pasti karena diriwayatkan secara mutawatir. Firman Allah :
قُلْ أَيُّ شَيْءٍ أَكْبَرُ شَهَادَةً قُلِ اللَّهُ
شَهِيدٌ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ لِأُنْذِرَكُمْ
بِهِ وَمَنْ بَلَغَ أَئِنَّكُمْ لَتَشْهَدُونَ أَنَّ مَعَ اللَّهِ آلِهَةً أُخْرَى
قُلْ لَا أَشْهَدُ قُلْ إِنَّمَا هُوَ إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنَّنِي بَرِيءٌ مِمَّا
تُشْرِكُونَ
Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?"
Katakanlah: "Allah". Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. dan Al
Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan Dia aku memberi peringatan kepadamu
dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya). Apakah Sesungguhnya
kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?" Katakanlah:
"Aku tidak mengakui." Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan
yang Maha Esa dan Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan
(dengan Allah)". (QS. An-An’am/6:19)
5.
Terpelihara
dari penambahan dan pengurangan, terjaga dari perubahan dan penggantian. Firman
Allah :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya
Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr/15 : 9)
6.
Merupakan
mu’jizat. Firman Allah :
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ
الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لَا
يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
Katakanlah:
"Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al
Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia,
Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". (QS. Al-Isra’/17:88).
[Baca juga :
QS. Al-Baqarah/2 : 23; Hud/11 : 13]
D.
Kehujjahan Al-Qur’an
Bukti bahwa
al-Qur’an merupakan hujjah atau dalil bagi manusia dan bahwa hukum-hukumnya
merupakan undang-undang yang harus mereka ikuti adalah bahwa al-Qur’an bersumber
dari Allah dan dinukilkan kepada mereka dari Allah dengan cara yang qath’iy
(pasti) yang keshahihannya tidak
diragukan lagi.
Bukti bahwa al-Qur’an bersumber dari Allah adalah kemukjizatannya.
1.
Pengertian
Kemukjizatan al-Qur’an : , Rukunnya, dan Aspek-Aspek Kemukjizatannya
Dalam B. Arab mukjizat ( الإعجاز) dinisbatkan kepada (العجز ) artinya melemahkan dan menetapkan kelemahan
pihak lain. Seperti : ( أَعْجَزَ
الرَّجُلُ اَخَاه/seseorang melemahkan saudaranya ), jika orang itu melemahkannya
tentang sesuatu. Al-Qur’an melemahkan manusia, yakni al-Qur’an menetapkan
kelemahan mereka untuk membuat yang serupa al-Qur’an.
2.
Rukun
Kemukjizatan al-Qur’an :
Kemukjizatan atau menetapkan kelemahan pihak lain akan terwujud
dengan tiga hal :
a.
Adanya
tantangan, yakni permintaan melakukan perlawanan.
b.
Adanya kondisi
yang mendorong pihak yang ditantang untuk melakukan perlawanan.
c.
Tidak adanya
penghalang bagi pihak yang ditantang untuk melakukan perlawanan.
Adapun adanya tantangan adalah tantangan Rasulullah saw kepada
orang-orang kafir ketika beliau mengaku sebagai nabi yang dibuktikan dengan
al-Qur’an untuk membuat yang serupa dengan al-Qur’an. (baca : QS. Al-Isra’/17:88;
Hud/11:13; al-Baqarah/2:23)
Adanya kondisi yang mendorong pihak yang ditantang utk melakukan
perlawanan adalah sangat jelas bahwa Rasulullah mengaku sebagai utusan Allah
yang membawa satu agama yang membatalkan agama mereka, membatalkan tradisi yang
mereka dapatkan dari nenek moyang mereka, menganggap bodoh akal mereka, dan
memandang rendah berhala mereka. Atas pengakuannya, Rasulullah berargumentasi
dengan al-Qur’an yang bersumber dari Allah dan beliau menantang utk membuat yg
serupa dg al-Qur’an. Jadi mereka sangat berkepentingan dan bersungguh-sungguh
untuk membuat yg serupa dg al-Qur’an, seluruhnya atau sebagiannya, untuk
membantah dan membatalkan pengakuan Rasulullah
bahwa beliau diutus oleh Allah SWT.
Sedangkan tidak adanya penghalang bagi mereka utk melakukan
perlawanan adalah bahwa mereka mempunyai kemampuan utk melakukan perlawanan
ini. Hal ini, karena mereka adalah orang-orang yang ahli bahasa
dan sastra Arab yang mampu menyusun kalimat-kaliamat Arab dengan fasih dan gaya
bahasa yang tinggi baik dari sisi lafazh maupun makna. Dari sisi waktu pun,
tidak ada halangan bagi mereka karena al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus,
tetapi diturunkan secara bertahap dalam waktu
23 tahun.
3.
Aspek-aspek
kemukjizatan al-Qur’an :
a.
Keteraturan
ungkapan (redaksi), makna, hukum, dan teorinya.
b.
Kesesuaian
ayat-ayatnya dengan penemuan dan teori ilmiah.
c.
Pemberitaannya
tentang peristiwa-peristiwa yang tidak diketahui kecuali oleh Allah yang Maha
Tahu tentang yang ghaib.
d.
Kefasihan
lafazh, kebalaghahan ungkapannya, dan kekuatan pengaruhnya.
E. Jenis-Jenis Hukum Al-Qur’an
Hukum al-Qur’an secara garis besar terbagi kepada 3 jenis :
1.
Hukum-hukum
I’tiqadiyah, yaitu yang berhubungan dengan aqidah (keyakinan).
2.
Hukum-hukum
khuluqiyah, yaitu yang berhubungan dengan akhlaq yang utama dan akhlaq yang
buruk.
3.
Hukum-hukum
‘amaliyah, hukum yang berhubungan perbuatan seorang mukallaf. Hukum inilah yang
dimaksud dalam ushul fiqh.
Hukum-hukum
‘amaliyah secara garis bersar terbagi kepada 2:
a.
Hukum-hukum
‘ibadah, yaitu yang mengatur hubungan manusia dengan Allah swt. Seperti :
shalat, zakat, shaum, haji.
b.
Hukum-hukum
mu’amalah dalam arti luas, yaitu yang mengatur hubungan antar manusia, baik
secara individual maupun secara kelompok, atau antara individu dengan
kelompoknya.
Mu’amalah dalam arti luas, bisa
dibagi kepada beberapa bidang hukum :
1)
Hukum keluarga
( أحكام الأحوال الشخصية), yaitu yang
berhubungan dengan pengaturan dlm keluarga antara suami isteri, anak-anak dan
kaum kerabatnya. (sekitar 70 ayat)
2)
Hukum
perdata/hukum mu’amalah secara sempit ( الأحكام
المدنية), yaitu yang berhubungan dengan mu’amalah perorangan untuk memelihara hak-hak perseorangan, seperti
: jual beli, sewa menyewa. (sekitar 70 ayat)
3)
Hukum pidana (الأحكام الجنائية ), yaitu yang berhubungan dengan kejahatan
dan sanksi-sanksinya demi untuk memelihara kehidupan manusia dalam agamanya,
dirinya, akalnya, hartanya, kehormatannya, serta hubungan antara pelaku
kejahatan, si korban dan umat. (sekitar 30 ayat)
4)
Hukum acara ( أحكام المرافعات), yaitu yang berhubungan dengan proses
peradilan seperti. gugat, saksi, hakim
dsb. Maksudnya : untuk menerapkan keadilan di antara manusia. (sekitar 13 ayat)
5)
Hukum
kenegaraan (الأحكام الدستورية ), yaitu aturan yang
berhubungan dengan pemerintah yang mengatur hubungan antara pemerintah dan
rakyatnya, menetapkan kewajiban dan hak masyarakat dan rakyat. (sekitar 10
ayat)
6)
Hubungan
internasional dan antar agama (الأحكام الدولية
), yaitu aturan yang mengatur hubungan antar bangsa dan antar agama baik dalam
keadaan damai maupun dalam keadaan perang. (sekitar 25 ayat)
7)
Hukum ekonomi
dan harta kekayaan (الأحكام الإقتصادية والمالية
), yaitu yang mengatur tentang pemasukan dan pengeluaran harta kekayaan,
hubungan antara si kaya dan si miskin
serta antara negara dan rakyatnya di dalam bidang harta. (sekitar 10
ayat)
F. Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum
Penjelasan al-Qur’an terhadap
hukum dari sisi cakupannya ada 2 bentuk :
1.
Penjelasan dengan
menetapkan kaidah umum yang di bawahnya mencakup bagian-bagian hukum, atau dengan
menetapkan prinsip umum yang rinciannya disebutkan dalam as-Sunnah.
Contoh kaidah umum
:
- Perintah berbuat
adil dan kebaikan. Firman Allah :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ
وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
90. Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl/16:90)
- Sanksi sesuai dengan
kejahatan yang dilakukan. Firman Allah :
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ
بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ
Dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan Balasan yang
sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu akan tetapi jika kamu bersabar,
Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. (QS. An-Nahl/16:126)
- Memenuhi
kewajiban. Firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ
مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian
itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (QS. Al-Maidah/5:1)
- Kesulitan
membawa kepada kemudahan. Firman Allah :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah/2:286)
Contoh prinsip umum :
- Kewajiban
menegakkan shalat
- Kewajiban
melaksanakan qishash. Firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي
الْقَتْلَى
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; (QS.al-Baqarah/2:178)
- Dibolehkannya
jual beli dan diharamkannya riba.
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
…Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah/2:275)
2.
Penjelasan
secara terperinci dengan menyebutkan bagian-bagiannya. Ini dalam al-Qur’an
hanya sedikit seperti ketentuan warisan, sanksi dan hukuman, dsb.
G. Penunjukan (Dilalah) Ayat Al-Qur’an Terhadap Hukum
Tidak diragukan lagi bahwa nash-nash al-Qur’an seluruhnya qath’iy
(pasti) dari sisi wurud (datang), tsubut (tetap) dan
penyampaiannya dari Rasulullah saw. Namun dari sisi penunjukan (dilalah)
ayat-ayatnya terhadap hukum terbagi kepada dua :
a.
Dilalah
qath’iyyah (penunjukan yg qath’y/pasti), yaitu ketika teks al-Qur’an hanya
mengandung satu arti.
Contoh :
الزَّانِيَةُ
وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا
تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ
Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman. (QS. An-Nur/24:2)
b.
Dilalah
zhanniyyah (penunjukan yg bersifat dugaan kuat), yaitu ketika teks al-Qur’an
itu mengandung makna yg utuh atau sebagiannya, atau satu makna dari makna yg
banyak sehingga memungkinkan utk ditaqyid (diikat), ditakhshish
(dikhususkan), atau ditakwil.
Contoh :
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ
اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
38. laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Maidah/5:38)
II.
AS-SUNNAH
A. Definisi As-Sunnah
As-Sunnah menurut bahasa
adalah : الطريقة و السيرة , yaitu jalan atau cara dan perjalanan, baik atau buruk. Seperti
firman Allah : [سُنَّةَ مَنْ قَدْ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنْ رُسُلِنَا وَلَا
تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحْوِيلًا / (Kami menetapkan yang
demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus
sebelum kamu[ dan tidak akan kamu dapati perobahan bagi
ketetapan Kami itu. (QS. Al-Isra’:77)].
Sunnah menurut terminologi ulama Ushul Fiqh :
ما صدر عن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - من قول، أو فعل، أو تقرير.
segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW berupa
perkataan, perbuatan dan ketetapan.
Penjelasan :
– Sunnah qauliyah : hadits-haditsnya yang beliau sabdakan dalam
berbagai kesempatan, seperti : ( لاَضَرَرَ وَ لاَ ضِرَارَ
/tidak boleh membahayakan dan tidak boleh dibahayakan).
– Sunnah fi’liyah : perbuatan-perbuatan Rasulullah saw. seperti
pelaksanaan beliau terhadap shalat lima waktu dengan cara-caranya.
– Sunnah taqririyah : pengakuan beliau tentang yg dilakukan sebagian
perkataan dan perbuatan sahabat dengan cara diam atau tidak mengingkari, atau dengan cara
persetujuan atau memandang baik perkataan dan perbuatan itu. Pengakuan dan
persetujuan ini sama dengan yang lahir dari Rasulullah sendiri. Contoh :
persetujuan beliau tentang jawaban
Mu’adz bin Jabal ketika diutus ke Yaman dan ketika beliau bertanya dengan apa
kamu menghukumi : jawaban Mu’adz adalah dg al-Qu’an, kalau tidak ada dengan
as-sunnah, dan kalau tidak ada juga dengan berijtihad.
B. Kehujjahan As-Sunnah
Para ulama sepakat bahwa segala yang diriwayatkan dari Rasulullah
saw. berupa perkataan, perbuatan atau
ketetapan, dimaksudkan sebagai penetapan
hukum atau memberikan contoh, diriwayatkan dengan sanad yang shahih, dilalahnya
qath’i atau zhan (dugaan) kuat, merupakan hujjah bagi kaum muslimin dan sebagai
sumber pengambilan hukum Islam bagi para
ahli ijtihad.
Dalil kehujjahan as-sunnah adalah :
- Al-Qur’an :
– QS. An-Nisa’: 59 :
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu)
– QS. An-Nisa’:65 :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ
بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya)
– QS. Al-Hasyr : 7:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوا
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.)
b.
Ijma’
sahabat ra. pada masa hidup Rasulullah dan setelah wafatnya. Mereka pada masa
hidup beliau melaksanakan hukum-hukumnya baik yang berbentuk perintah atau
larangan maupun yang berbentuk halal atau haram. Dalam mengikuti beliau, mereka
tidak membeda-bedakan antara hukum yang diwahyukan melalui al-Qur’an atau yang
lahir dari diri beliau sendiri.
c. Dalam al-Qur’an, Allah menetapkan beberapa kewajiban kepada
manusia secara global tanpa penjelasan dan rincian hukum-hukum dan tatacara
pelaksanaannya. Rasulullah menjelaskan kewajiban-kewajiban yang global ini
dengan sunnah qauliyah dan perbuatannya. Seandainya as-Sunnah yang merupakan
penjelasan ini tidak bisa dijadikan hujjah yang wajib diikuti kaum muslimin,
niscaya mereka tidak bisa melaksanakan kewajiban-kewajiban dan tidak bisa
mengikuti hukum-hukum al-Qur’an.
C. Kedudukan As-Sunnah Terhadap Al-Qur’an
1.
as-Sunnah
sebagai penguat hukum yang ditetapkan al-Qur’an. Dengan demikian hukum
mempunyai 2 sumber dan 2 dalil, dalil yang menetapkan dari ayat al-Qur’an dan
dalil penguat dari as-Sunnah. Contoh : perintah menegakkan shalat dan membayar
zakat.
2.
As-Sunnah
sebagai penjelas al-Qur’an, yaitu :
a.
Menjelaskan
secara rinci apa yang disebutkan dalam al-Qur’an secara global seperti penjelasan
tentang tatacara shalat.
b.
Menyebutkan
batasan apa yang disebutkan dalam al-Qur’an secara mutlak.
c.
Menyebutkan
secara khusus apa yang disebutkan dalam al-Qur’an secara umum.
3. As-Sunnah sebagai penetap hukum yang tidak disebutkan dalam
al-Qur’an, seperti menetapkan haramnya menikahi wanita dengan
bibinya atau uwanya.
D. Pembgian As-Sunnah Berdasarkan
Sanadnya
1.
Sunnah
Mutawatir : yaitu hadits yang diriwayatkan
dari Rasulullah saw oleh orang banyak, yang menurut adat kebiasaan
masing-masing mereka tidak mungkin berbuat dusta karena banyak dan amanah
mereka, juga karena perbedaan pandangan dan lingkungan mereka. Dari orang
banyak ini diriwayatkan juga oleh orang banyak seperti itu. Sehingga hadits itu
sampai kepada kita melalui sanad setiap thabaqah (lapisan ) yang perawinya
berjumlah banyak yang mereka mustahil sepakat untuk berdusta, mulai dari
penerimaan dari Rasulullah hingga sampainya kepada kita. Seperti hadits-hadits
tentang praktek shalat, shaum, haji dan lain sebagainya.
2.
Sunnah
Masyhur : yaitu hadits yang diriwayatkan
dari Rasulullah saw oleh seorang sahabat, atau dua orang sahabat atau banyak sahabat yang tidak sampai pada jumlah mutawatir,
kemudian dari seorang atau jumlah yang banyak ini diriwayatkan oleh perawi yang
banyak sampai pada jumlah mutawatir, dan dari jumlah yang banyak ini
diriwayatkan lagi oleh orang banyak seperti itu hingga sampai kepada kita
melalui sanad. Lapisan pertama mendengar
perkataan atau menyaksikan perbuatan Rasulullah seorang atau dua orang
atau orang banyak tapi tidak sampai jumlah mutawatir, kemudian diriwayatkan
oleh lapisan berikutnya dengan jumlah mutawatir. Termasuk hadits masyhur adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, Abdullah bin Mas’ud, atau Abu
Bakar, kemudian dari salah seorang mereka
diriwayatkan oleh banyak orang yang tidak sepakat berdusta. Seperti
hadits : (إنما الأعمال بالنيات )
Perbedaan antara sunnah mutawatir dengan sunnah masyhur : yaitu
pada sunnah mutawatir perawinya pada semua lapisannya sampai pada derajat mutawatir. Sedangkan pada sunnah
masyhur, pada lapisan pertama (sahabat) tidak sampai jumlah mutawatir, baru
pada lapisan berikutnya sampai pada jumlah mutawatir.
3.
Sunnah
Ahad : yaitu hadits yang diriwayatkan
dari Rasulullah saw oleh beberapa orang yang tidak sampai jumlah mutawatir,
seperti diriwayatkan oleh satu orang , dua orang, atau banyak orang yang tidak
sampai jumlah mutawatir. Dari perawi ini diriwayatkan lagi oleh perawi seperti
itu. Demikianlah hingga sampai kepada kita dengan sanad setiap lapisan beberapa
orang yang tidak sampai pada jumlah mutawatir. Termasuk sunnah ahad ini,
kebanyakan hadits yang dihimpun oleh kitab-kitab hadits. Sunnah ahad ini
dinamakan juga “khabar al-Wahid”.
E. Dilalah (Penunjukan) As-Sunnah Terhadap Hukum
Nash-nash as-Sunnah seperti nash al-Qur’an dari sisi dilalahnya
terhadap hukum, yaitu :
- Qath’iy dilalah, seperti hadits :
في الرِّكازِ الخُمُسُ [حديثٌ صحيحٌ رواه ابن ماجه وغيرُهُ]
Artinya :
(Zakat) harta rikaz (harta terpendam)
adalah seperlima. (Hadits shahih riwayat Ibnu Majah dan lainnya). Lafazh (الخُمُسُ /seperlima) merupakan bilangan yang
qath’iy (pasti), tidak mengandung arti lebih atau kurang.
b. Zhanniy dilalah, seperti hadits yg diriwayatkan Imam Bukhori dan
Muslim :
لا صلاَةَ لمن لم يقرأْ بِفاتحَةِ الكتابِ .
Artinya : Tidak
ada shalat bagi yang tidak membaca surat al-Fatihah) . Para ulama berbeda
pendapat apakah maksudnya tidak sah atau tidak sempurna, karena lafaz (لا/tidak)
mengandung arti keduanya.
F. PERKATAAN
DAN PERBUATAN RASUL YANG BUKAN MERUPAKAN KETETAPAN HUKUM
1.
Yang
lahir dari Rasul karena tabiat kemanusiaannya seperti berdiri, duduk, berjalan
dan sebagainya. Tetapi apabila ada dalil yang menunjukan bahwa perbuatan
kemanusiaan itu tujuannya memberikan contoh, maka dengan dalil tersebut
perbuatan itu merupakan ketetapan hukum.
2.
Yang
lahir dari Rasul karena keahlian dan pengalaman manusia dalam masalah keduniaan
seperti perdagangan, pertanian, strategi peperangan dan sebagainya. Oleh karena
itu ketika Rasulullah melihat penduduk Madinah melakukan perkawinan kurma, beliau
mengisyaratkan agar mereka tidak melakukannya. Lalu mereka tidak melakukannya,
sehingga kurma itupun tidak berbuah. Kemudian beliau berkata : lakukanlah
perkawinan itu, kalian lebih tahu tentang urusan dunia.
3.
Yang
lahir dari Rasulullah dan ada dalil syara’
yang menunjukkan bahwa hal itu khusus bagi Rasulullah, seperti beliau
menikah lebih dari empat.
III.
IJMA'
A. Definisi Ijma’
Menurut
bahasa ijma’ mempunyai du arti :
-
Pertama, tekad
yang bulat untuk melakukan sesuatu. Dalam hal ini Allah berfirman : فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ
“Karena itu bulatkanlah keputusanmu
dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu. (QS.Yunus/10:71)
-
Kedua, kesepakatan.
Perbedaan
arti yang pertama dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu
orang dan arti kedua lebih dari satu orang.
Menurut
istilah ulama ushul : Ijma’ adalah kesepekatan seluruh mujtahid dari kaum
muslimin pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah saw. atas sesuatu hukum syara’ dalam suatu kasus.
Penjelasan
:
Apabila
suatu kasus terjadi dan dikemukakan kepada seluruh mujtahid umat Islam pada waktu terjadinya, kemudian
mereka sepakat atas hukumnya, maka kesepakatan itu dinamakan ijma’. Ijma’
mereka atas satu hukum tentang kasus itu dipandang sebagai dalil syara’.
Dikatakannya setelah wafatnya Rasul dalam definisi di atas, karena pada masa
Rasul beliaulah satu-satunya rujukan hukum, sehingga tidak terbayangkan adanya
perbedaan atau kesepakatan tentang hukum syara’, sebab kesepakatan tidak akan
terjadi kecuali dari orang banyak.
B.
Rukun Ijma’
Dari
definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ijma’ tidak akan terjadi
kecuali adanya 4 rukun :
1.
Harus ada
beberapa orang mujtahid, karena kesepakatan akan bisa terjadi apabila ada
beberapa mujtahid; kita tidak bisa membayangkan adanya kesepakatan apabila
hanya terdapat seorang mujtahid.
2.
Harus ada
kesepakatan di antara para mujtahid. Oleh karena itu tidak bisa disebut ijma’
apabila hanya disepakati oleh mujtahid Irak saja, atau mujtahid Hijaz saja,
atau mujtahid Mesir saja.
3.
Kesepakatan
mereka harus tampak nyata, baik dengan perkataan masing-masing mereka dengan mengemukakan pendapatnya, misalnya
dengan memberikan fatwa, atau dengan mengemukakan pendapat secara terpisah atau
di satu tempat secara bnersamaan, atau dengan perbuatan misalnya dengan
memutuskan suatu perkara.
4.
Kesepakatan
semua mujtahid itu hendaknya terwujud pada suatu hukum. Oleh karena itu tidak
dikatakan ijma’ jika kesepakatan itu hanya sebagian besar saja, sedangkan yang
lainnya tidak sepakat; karena bisa jadi kebenaran itu ada di pihak yang berbeda
pendapat.
C.
Kehujjahan Ijma’
Apabila
terjadi ijma’ pada suatu masalah, maka hukum terhadap masalah ini wajib diikuti
dan bukan lapangan ijtihad lagi, karena hukum yang ditetapkan dengan ijma’
mempunyai nilai qath’iy, tidak bisa dihapus atau ditentang. Dalil kehujjahan
ijma’ :
1.
QS. An-Nisa’ :
59 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Artinya
: (Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. ). Termasuk taat kepada ulil amri adalah taat pada
kesepakatan para mujtahid.
Oleh
karena itu Allah berfirman dalam surat an-Nisa’ : 83:
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ
لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ
artinya : (dan kalau mereka menyerahkannya
kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin
mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil
Amri)). Dan Allah telah mengancam orang-orang yang menyalahi dan mengikuti
orang-orang yang bukan orang mukmin.
2.
Hukum yang
disepakati oleh seluruh mujtahid pada hakekatnya adalah hukum umat yang tercermin
pada para mujtahidnya, sedangkan banyak hadits dan atsar sahabat yang
menunjukkan terjaganya umat dari kesalahan. Di antaranya :
لا
تجتمع أمتي على خطإ
umatku tidak mungkin bersepakat
dalam kesalahan.
لم
يكن الله ليجمع أمتي على الضلالة
Allah tidak mungkin menghimpun
umatku dalam kesesatan.
مارآه
المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Apa yang dianggap baik oleh kaum
muslimin baik pula di sisi Allah.
3. Kesepakatan seluruh mujtahid atas suatu hukum syara’ dalam satu
kasus merupakan dalil adanya landasan syar’i
yang menunjukkan pada hukum itu secara qath’iy; karena bila yang mereka
jadikan landasan itu bersifat zhanniy,
biasanya mustahil akan terjadi kesepakatan, sebab yang zhanniy itu merupakan
lapangan perbedaan pendapat.
D.
Kemungkinan Terjadinya Ijma’
Menurut
Nazhzham dan sebagian Syi’ah : ijma’ itu tidak mungkin terjadi. Alasannya :
1.
Tidak adanya
standar dan patokan untuk mengetahui apakah seseorang termasuk mujtahid atau
tidak.
2.
Sulit untuk
mengetahui pendapat masing-masing mujtahid dalam suatu kasus secara pasti;
karena bisa jadi pendapat seorang mujtahid berubah sebelum mujtahid lain
mengemukakan pendapatnya.
3.
Ijma’ itu harus
bersandarkan dalil, baik yang qath’i ataupun yang zhanni. Bila berlandaskan
dalil yang qath’I, maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu tidak membutuhkan
ijma’. Sebaliknya bila didasarkan pada dalil yang zhanni, dapat dipastikan para
ulama akan berbeda pendapat sesuai dengan kemampuan berpikir dan daya nalar
mereka serta berbagai dalil yang menguatkan pendapat mereka.
Sedangkan
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ mungkin terjadi; karena ijma’ secara nyata
telah terjadi pada masa sahabat, sepertii tentang kekhalifahan Abu Bakar, nenek
mendapat 1/6 dari harta warisan, cucu laki-laki terhalang oleh anak laki-laki dalam
warisan, dsb.
Bantahan
terhadap golongan pertama :
1.
Pendapat yang mengingkari kemungkinan terjadinya ijma’
merupakan keraguan terhadap sesuatu yang telah terjadi.
2.
Berkenaan
dengan argumen yang ketiga, bisa dikatakan bahwa adanya dalil itu tidak bisa
menghilangkan adanya ijma’, karena bisa jadi ada dalil yang qath’i tidak
diketahui oleh masyarakat banyak. Dan seandainya dalil yang qath’I itu
diketahui masyarakat banyak, tidak berarti ijma’ itu tidak bermanfaat, ijma’
tetap bermanfaat sbg penguat dalil dan mencegah perbedaan pendapat ttg hukum
yang berkaitan dengan dalil tsb.
Dan
kalau dalil itu dalil zhanni seperti hadits ahad, tidaklah mustahil untuk
mengadakan ijma’, karena beberapa dalil yang zhanni menjadi lebih jelas
ketetapan hukumnya serta dapat menghilangkan pertentangan dan perbedaan
pendapat.
3. Sedangkan argumen pertama dan kedua, itu memang benar jika hal itu diserahkan kepada individu dan
masyarakat, tetapi akan bisa terlaksana kalau hal itu diserahkan kepada
pemerintah. Pemerintah bisa menseleksi siapa saja yang memenuhi syarat sebagai
mujtahid, dan pemerintah juga bisa minta pendapat mujtahid itu tentang suatu
kasus.
E.
Betulkah Ijma’ Telah Terjadi?
Apakah
ijma’ sesuai dengan definisi di atas telah terjadi pada suatu masa setelah wafatnya
Rasulullah saw? jawabnya : tidak.
Yang
terjadi pada masa sahabat seperti pada masa Abu Bakar dan Umar sebetulnya
bukanlah termasuk ijma’ melainkan kesepakatan yang hadir yang memiliki ilmu dan
pendapat tentang suatu permasalahan yang disodorkan. Jadi sebetulnya hukum yang
lahir dari musyawarah jama’ah bukan dari pendapat pribadi. Sebab
pentolan-pentolan sahabat yang lain berada di Mekah, Syam, Yaman dan di medan
jihad. Inilah yang dikatakan ijma’ oleh ulama fiqh.
Selain
pada masa sahabat, yang dikatakan ijma’ oleh Ulama fiqh juga terjadi pada masa
Daulat Bani Umayah di Andalusia, dimana pada abad ke 2 H, mereka membentuk
jama’ah ulama untuk bermusyawarah dalam menetapkan hukum.
Setelah
masa sahabat dan masa Bani Umayah di Andalusia tidak ada lagi ijma’, dan tidak
lahir lagi ketetapan hukum dari jama’ah ulama, yang ada adalah ijtihad
masing-masing ulama dalam satu negara dan dalam satu lingkungan. Ijtihad itu
bisa sepakat dan bisa tidak. Paling banter seseorang ulama fiqh bisa mengatakan
: tidak diketahui perbedaan ulama dalam masalah ini
Selain
pengertian ijma’ di atas, ijma’ yang menjadi dalil hukum adalah nash-nash
al-Qur’an dan as-sunnah yang disepakati kaum muslimin. Ijma’ semacam ini tidak
terjadi kecuali pada ajaran Islam yang diketahui secara pasti, sepertii shalat
lima waktu, shaum Ramadhan, haji, haramnya zina dan minum khamr, dan sebagainya.
Inilah yang dikatakan dalam hal seperti ini : hukumnya telah tetap dengan
al-Qur’an, as-Sunnah dan al-Ijma’.
Bahayanya
dengan menyalahi ijma’ ini bahwa pelakunya keluar dari Islam, keluar dari
jama’ah Muslimin.
F.
Pembagian Ijma’
Dari
sisi prosesnya, ijma’ terbagi kepada dua : al-ijma’ ash-Sharih (ijma’ yang
jelas) dan al-Ijma’ as-Sukutiy (ijma’ diam).
Ijma’
sharih adalah para mujtahid pada suatu masa sepakat atas hukum suatu kasus
dengan cara masing-masing mengemukakan pendapatnya secara jelas melalui fatwa
atau qadha. Yakni dari setiap mujtahid lahir perkataan atau perbuatan yang
mencerminkan pendapatnya secara jelas.
Ijma’
sukutiy : sebagian mujtahid pada suatu masa mengemukakan pendapatnya secara
jelas melalui fatwa atau qadha’, sedangkan yang lainnya diam tidak mengemukakan
pendapatnya, baik dengan menyetujui ataupun tidak.
Ijma’
sharih : hujjah menurut Jumhur ulama .
Ijma’
sukutiy : tidak bisa dijadikan hujjah menurut jumhur, karena pendapat itu
pendapat sebagian mujtahidin, bukan seluruhnya.
Sedangkan menurut ulama madzhab Hanafi, Ijma’
sukuty bisa dijadikan hujjah. Hal itu
jika mujtahid yang diam itu kepadanya disodorkan suatu masalah dan disodorkan
pula pendapat yang telah dikemukakan mujtahid lain, dan telah berlalu waktu yang
cukup untuk membahas dan mengemukakan pendapat, tetapi dia tetap diam, dan
diamnya itu bukan karena takut, lemah, sakit, memperolok-olok; sebab diamnya
mujtahid dalam hal sepertii itu tanda setuju.
Dari
dilalahnya terhadap hukum, ijma’ terbagi kepada 2 juga : ijma’ qath’iy dilalah
dan ijma’ zhanniy dilalah.
Ijma’
qath’iy dilalah adalah ijma’ sharih, dalam arti hukumnya sudah pasti, tidak ada
ruang lagi untuk berbeda pendapat dan ijtihad terhadap masalah yang telah
ditetapkan hukumnya melalui ijma sharih tersebut.
Ijma
zhanniy dilalah adalah ijma’ sukutiy, dalam arti ketetapan hukumnya masih
zhanni (dugaan kuat), masih ada ruang untuk berbeda pendapat dan ijtihad.
IV.
AL-QIYAS
A.
Definisi Al-Qiyas
Al-Qiyas menurut bahasa : mengukur sesuatu dengan sesuatu yang
menyerupainya. Contoh : قَاسَ الثَوْبَ
بِالمِتْرِ : اَيْ قَدَّرَ أَجْزاءَهُ بِهِ /”Ia
mengukur baju dengan meteran”, maksudnya ia menentukan bagian-bagiannya dengan
meteran.
Qiyas juga berarti menyamakan, karena sesungguhnya mengukur dengan
sesuatu yang lain yang menyamainya berarti juga mempersamakan keduanya.
Qiyas menurut istilah Ulama Ushul Fiqh adalah :
إلحاق واقعة لا
نص على حكمها بواقعة ورد نص بحكمها، في الحكم الذي ورد به النص، لتساوي الواقعتين
في علة هذا الحكم.
Mempersamakan
suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash
hukumnya dalam hukum yang ada nashnya karena adanya persamaan kedua kasus
tersebut dalam illat hukumnya.
Jadi, apabila suatu nash telah menunjukan hukum mengenai suatu
kasus, dan illat hukum itu telah diketahui melalui salah satu metode untuk
mengetahui illat hukum, kemudian ada kasus lainnya yang sama dengan kasus yang
ada nashnya itu dalam suatu illat yang illat hukum itu juga terdapat pada kasus
itu, maka hukum kasus itu disamakan dengan hukum kasus yang ada nashnya,
berdasarkan atas persamaan illatnya, karena sesungguhnya hukum itu ada di mana
illat hukum ada.
Contoh : meminum khamer adalah kasus yang ditetapkan hukumnya oleh
nash yaitu haram yang ditunjuki QS. Al-Maidah/5:90. Karena suatu illat, yaitu memabukkan, maka setiap
minuman keras yang terdapat padanya illat memabukkan disamakan dengan khamer
mengenai hukum minumnya, yaitu haram.
Contoh lain : pembunuhan yang dilakukan penerima wasiat terhadap pemberi wasiat, hukumnya disamakan dengan
hukum pembunuhan ahli waris terhadap yang mewariskan, yaitu tidak diberikan
harta warisan sesuai dengan hadits “Orang yang membunuh tidak memperoleh harta
warisan”. Hal itu karena adanya suatu illat yaitu menyegerakan sesuatu sebelum
waktunya.
B.
Kehujjahan Al-Qiyas
Jumhur ulama Islam sepakat
bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari
sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu kasus baik
dengan nash ataupun ijma’ dan diperoleh ketetapan bahwa kasus itu menyamai
suatu kejadian yang ada nash hukumnya dari segi illat hukum ini, maka kasus itu
diqiyaskan dengan kasus tsb dan ia diberi hukum dengan hukumnya, dan hukum ini
merupakan hukumnya menurut syara’. Seorang mukallaf harus mengikuti dan
mengamalkannya.
Madzhab Nazhzhamiyah, Zhahiriyah, dan sebagian kelompok Syi’ah berpendapat
bahwasanya qiyas bukan hujjah syar’iyyah atas hukum.
Dalil golongan pertama (Pendukung qiyas) :
1.
Dalil al-Qur’an
:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
فَاعْتَبِرُوا
يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai
orang-orang yang mempunyai wawasan. (QS. Al-Hasyr/59:2)
وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَنَسِيَ خَلْقَهُ
قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ (78) قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا
أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ (79)
Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada
kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang
belulang, yang telah hancur luluh?" Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya
kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk. (QS.
Yasin/36 : 78-79)
2.
Dalil As-Sunnah :
Hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh
Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, di antaranya ijtihad yang mencakup di
dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu bentuk ijtihad
Jawaban Rasulullah saw kepada wanita yang bertanya tentang ayahnya
yang sudah wajib haji tapi tidak mampu melaksanakannya apakah berguna kalau ia
menghajikannya, bahwa itu merupakan hutang kepada Allah yang harus dibayar
sebagaimana kalau ia punya hutang kepada manusia yang harus dibayar.
3.
Perbuatan dan
perkataan sahabat .
Mereka benar-benar telah melakukan ijtihad terhadap berbagai
kejadian yang tidak ada nashnya. Mereka mengqiyaskan kejadian yang tidak ada
nashnya dengan kejadian yang ada nashnya. Mereka mengqiyaskan kekhalifahan
dengan keimaman shalat, dan membai’at Abu Bakar sebagai khalifah dan
menjelaskan asas qiyas melalui perkataan mereka : “Rasulullah saw telah
meredhai Abu Bakar untuk agama kita, maka apakah kita tidak meridhainya untuk
dunia kita?”.
4.
Dalil penalaran
akal. Di antaranya bahwa nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah terbatas jumlahnya
dan ada habisnya. Sedangkan kejadian dan persoalan manusia tidak terbatas
jumlahnya dan tidak ada habisnya. Oleh karena itu, tidaklah mungkin nash-nash
yang ada habisnya saja menjadi sumber pembentukan hukum untuk sesuatu yang
tiada habis-habisnya. Maka qiyas merupakan sumber pembentukan hukum yang
sejalan dengan kejadian yang terus menerus datang dan menyingkap hukum syari’at
terhadap berbagai peristiwa baru yang terjadi dan menyelaraskan antara
pembentukan hukum dan kemaslahatan.
Kekaburan para penolak qiyas. Di antaranya adalah perkataan mereka
bahwa qiyas didasarkan atas zhan
(dugaan), seperti bahwa illat hukum nash ini adalah begini. Sedangkan sesuatu yang
didasarkan atas zhan adalah zhanni juga. Allah mencela orang-orang yang
mengikuti dugaan sebagaimna disebuntukan dlm al-Qur’an surat al-Isra’:36. oleh
karena itu menetapkan hukum berdasarkan qiyas adalah tidak sah, karena hal itu
mengikuti dugaan.
Bantahan :
Ini adalah kekaburan yang lemah, karena sebenarnya yang dilarang
adalah mengikuti dugaan di dalam persoalan aqidah. Adapun dalam persoalan
hukum-hukum amaliyah, maka sebagian besar dalilnya adalah zhanni. Kalau
sekiranya kekaburan ini dibenarkan, niscaya nash-nash yang dalalahnya zhanni tidak
diamalkan, karena hal itu juga mengikuti dugaan. Ini jelas keliru menurut
kesepakatan ulama. Karena kebanyakan nash-nash itu adalah zhanni dalalahnya.
C.
Rukun Al-Qiyas
- Al-Ashlu (pokok), yaitu : Sesuatu yang ada nash hukumnya. Ia disebut juga al-maqis ‘alaih (yang diqiyaskan kepadanya), mahmul ‘alaih (yang dijadikan pertanggungan), musyabbah bihi (yang diserupakan padanya).
- Al-Far’u (cabang), yaitu : Sesuatu yang tidak ada nash hukumnya. Ia disebut juga al-maqis (yang diqiyaskan ), al-mahmul (yang dipertanggungkan), musyabbah (yang diserupakan ).
- Hukum al-ashlu, yaitu : Hukum syara’ yang ada nashnya pada al-ashlu, dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada al-Far’u.
- Al-’Illat (illat), yaitu : suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk hukum al-ashlu, dan berdasarkan adanya sifat itu pada al-far’u, maka ia disamakan dengan al-ashlu dari segi hukumnya.
Penjelasan Rukun Qiyas
Rukun Pertama dan Kedua : al-Ashlu dan al-Far’u
Rukun pertama dan kedua (al-ashlu dan al-far’u) adalah dua
kejadian atau dua hal. Yang pertama, sudah ada ketetapan hukumnya berdasarkan
nash. Sedangkan yang kedua, tidak ada ketetapan hukumnya oleh nash, dan hendak
diketahui hukumnya.
Pada keduanya tidak ada persyaratan selain bahwa al-ashlu hukumnya
sudah ditetapkan berdasarkan nash, dan al-far’u belum ada ketetapan hukumnya
melalui nash dan ijma’, juga tidak ada pembeda yang menghalangi persamaan
keduanya dalam hukum.
Rukun
Ketiga : Hukum Al-Ashlu
Untuk menjangkaukan hukum al-ashl kepada al-far’u, maka ada
beberapa syarat :
Syarat 1 : Ia merupakan hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan
manusia yang ditetapkan dengan nash. Adapun hukum syara’ yang ditetapkan
berdasarkan ijma’, maka untuk menjangkaukannya pada al-far’u ada dua pendapat.
Pendapat pertama, tidak sah menjangkaukannya. Inilah pendapat yang kuat menurut
Khallaf, sebab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ (jika ada) tidak
diharuskan menyebuntukan sandarannya. Jika tidak disebuntukan sandarannya, maka
sulit untuk menemukan illat hukumnya. Jadi, tidak mungkin menqiyaskan terhadap
hukum yang telah diijma’kan. Pendapat kedua, sah menjangkaukan hukumnya pada
al-far’u. menurut asy-Syaukani : “Ini adalah pendapat yang paling shahih di
antara dua pendapat”.
Sedangkan hukum syara’ yang ditetapkan berdasarkan qiyas, maka sama
sekali tidak sah menjangkaukannya, karena al-far’u jika illatnya menyamai hukum
syara’ yang ditetapkan berdasarkan qiyas, maka ia menyamai nash itu dalam
illatnya, dan hukum yang ditetapkan berdasarkan qiyas adalah hukum nash itu
sendiri. Dan jika al-far’u illatnya tidak menyamai hukum syara’ berdasarkan
qiyas, maka tidak sah mempersamakannya dalam hukum. Oleh karena itu tidak bisa
dikatakan bahwa tidak sah diharmkannya arak buah apel diqiyaskan pada arak
kurma.
Syarat 2 : Hukum al-ashlu termasuk sesuatu yang mungkin akal dapat
mengetahui illatnya. Karena jika tidak
mungkin diketahui illatnya, maka hukum itu tidak mungkin diberikan kepada yang
lain melalui qiyas, sebab dasar qiyas adalah mengetahui illat hukum al-ashlu
dan mengetahui terwujudnya illat itu pada al-far’u.
Syarat 3 : Hukum al-Ashlu bukan hukum yang dikhususkan. Jika hukum itu
hukum yang dikhususkan, maka tidak boleh diberikan pada yang lain melalui
qiyas. Hukum al-ashlu tidaklah dikhusukan kecuali dlm dua hal :
Illat hukum itu tidak tergambarkan
ada pada selain al-ashlu, seperti boleh mengqashar shalat bagi musafir.
Ada dalil yang menyatakan kekhususan hukum itu, seperti hukum boleh
menikahi wanita lebih dari 4 yang
dikhususkan bagi Rasulullah saw.
Syarat 4 : Hukum al-ashlu itu tidak dinasakh (dihapuskan). Ini sudah jelas.
Rukun
Keempat : ’Illat
Definisi ‘illat
Illat adalah suatu sifat yang terdapat pada al-ashlu, yang menjadi
dasar ditetapkan hukumnya, dan dengan sifat itu dapat diketahui adanya hukum
pada al-far’u.
Perbedaan antara illat dengan hikmah
adalah bahwa hikmah hukum merupakan pendorong dan sasaran yang hendak dicapai
dari ditetapkaanya hukum, yaitu kemaslahatan yang menjadi tujuan syari’
(penentu hukum/Allah) dalam menetapkan hukum, yaitu dengan mewujudkan atau
menyempurnakan kemaslahatan, menolak atau meminimalisir kerusakan. Sedangkan
illat hukum adalah hal yang jelas dan pasti
yang dijadikan dasar hukum, dan hukum itu dikaitkan dengannya baik
keberadaannya atau ketiadaannya. Karena membangun dan mengaitkan hukum
dengannya dapat mewujudkan hikmah ditetapkannya hukum itu. Contoh mengqashar
shalat. Hikmahnya adalah meringankan dan menghindari kesulitan. Illatnya adalah
bepergian.
Syarat-syarat illat :
1.
Illat itu
haruslah berupa suatu sifat yang jelas. Makna
kejelasan sifat ini ialah bahwa sifat tsb harus berupa sesuatu yang dapat
dijangkau oleh panca indera yang lahir. Karena illat merupakan sesuatu yang memberitahukan
adanya hukum pada al-far’u. Oleh karena itu, ia harus merupakan suatu hal yang
jelas, bisa dijangkau oleh indera keberadaannya pada al-ashlu dan dapat
dijangkau keberadaannya pada al-far’u. Contoh : memabukkan.
2.
Sifat itu
haruslah pasti. Makna kepastiannya adalah bahwa ia mempunyai suatu hakekat yang
tertentu dan terbatas, yang memungkinkan terwujudnya pada al-far’u dengan tepat
atau perbedaan sedikit. Karena asas qiyas adalah persamaan al-far’u dan
al-ashlu pada illat hukum al-ashlu.
3.
Sifat itu
merupakan hal yang sesuai. Makna kesesuainnya adalah bahwa
sifat itu menjadi tempat dugaan terwujudnya hikmah hukum. Artinya, bahwa
mengaitkan hukum dengan sifat itu baik keberadaannya maupun ketidak beradaannya
merupakan upaya untuk merealisir apa yang dimaksudkan oleh syari’ dlm
menetapkan hukum, berupa mendapatkan manfaat atau menolak madharat.
4.
Sifat yang
tidak terbatas pada al-ashlu (pokok). Maknanya, suatu
sifat hendaknya bisa diwujudkan pada sejumlah individu selain al-ashlu. Karena
sasaran yang hendak dicapai dlm pemberian illat hukum pokok al-ashlu adalah
memberikannya pada al-far’u. jadi jika pemberian illat itu yang tidak terdapat
pada al-far’u, maka illat tidak menjadi dasar bagi qiyas. Contoh illat yang
terbatas pada al-ashlu adalah bepergian yang
merupakan illat dibolehkannya mengqashar shalat bagi musafir.
Pembagian Illat
Dari sisi adanya dan tidak adanya anggapan Syari’ terhadap sifat yang
sesuai, maka illat terbagi pada 4 :
1.
Munasib
Muatstsir (sifat yang sesuai yang memberikan pengaruh). Yaitu suatu sifat
yang sesuai di mana Syari’ telah menyusun hukum yang sesuai dengan sifat itu;
dan berdasarkan nash atau ijma’, sifat itu telah ditetapakn sebagai illat hukum
yang disusun berdasarkan kesesuaian dengannya. Contoh :
•
QS.
Al-Baqarah/2 :222. Hukum yang pasti berdasarkan nash ialah kewajiban menjauhkan
diri dari wanita di waktu haidh. Nash telah menyebuntukan sebabnya, yaitu bahwa
haidh adalah kotoran. Shighat nash telah jelas bahwa illat hukum adalah kotoran
tersebut. Jadi, kotoran itu merupakan sifat yang munasib muatstsir.
•
Contoh lain :
QS. An-Nisa’/4:6. Hukum yang tetap berdasarkan nash tsb ialah bahwa anak yatim yang
belum mencapai baligh, maka kewalian atas harta bendanya masih tetap pada walinya.
Ijma’ menetapkan bahwa illat bagi tetapnya kewalian keharta bendaan atas anak
kecil adalah keadaan kecilnya. Jadi, keadaan masih kecil bagi tetapnya kewalian
keharta bendaan adalah sifat munasib muatstsir.
2.
Munasib Mulaim
(sifat yang sesuai lagi cocok). Yaitu suatu sifat yang sesuai di mana Syari’
telah menyusun hukum yang sesuai dengan sifat itu, namun tidak ada nash maupun
ijma’ yang menetapkannya sebagai illat hukum menurut pandangan Syari’ itu
sendiri yang sesuai dengan sifat itu. Namun berdasarkan nash atau ijma’
diperoleh ketetapan bahwa sifat itu dianggap sebagai illat hukum dari hukum
sejenis yang oleh Syari’ telah disusun hukumnya sesuai dengan sifat itu,
ataupun sifat yang sejenis dianggap sebagai illat hukum dari hukum yang sejenis
dengan hukum ini.
•
Contoh sifat yang
sesuai yang dianggap Syari’ sebagai illat hukum dari jenis hukum yang Dia telah
menyusun hukum sesuai dengannya ialah : keadaan masih kecil bagi tetapnya
kewalian seorang ayah dlm mengawinkan anak perempuanyang masih kecil. Hal ini
karena berdasarkan ijma’ diperoleh ketetapan penganggapan keadaan masih kecil sebagai
illat bagi kewalian terhadap harta kekayaan anak perempuan yang masih kecil.
•
Contoh sifat yang
munasib yang sifat sejenisnya dianggap oleh Syari’ sebagai illat hukum yang
disusun dengan sifat itu ialah : hujan untuk kebolehan menjama’ shalat.
•
Contoh sifat yang
munasib yang Syari’ menganggap sifat sejenisnya menjadi illat bagi hukum dari
jenis hukum di mana Syari’ telah menyusun hukum sesuai dengan sifat itu ialah :
Berulangkalinya waktu shalat bagi gugurnya mengqadha shalat dari orang yang
haidh.
3.
Munasib Mursal
(sifat yang sesuai lagi bebas). Yaitu suatu sifat yang mana Syari’ tidak
menyusun hukum sesuai dengan sifat itu. Dan tidak ada dalil syara’ yang menunjukkan
adanya anggapan maupun tidak adanya anggapan terhadap sifat itu dengan bentuk
anggapan apapun. Sifat itu adalah munasib, artinya dapat mewujudkan
kemaslahatan, tetapi juga mursal, yakni terlepas dari dalil yang menganggapnya
dan dari dalil yang tidak menganggapnya. Inilah yang dinamakan oleh Ulama ushul
sebagai al-Mashlahah al-Mursalah.
·
Contohnya ialah
: kemaslahatan yang menjadi dasar para sahabat
menetapkan hukum pembayaran pajak atas tanah pertanian, pembuatan mata
uang, pentadwinan al-Qur’an dan penyebarannya, dsb.
·
Para Ulama
berbeda pendapat dalam menetapkan hukum
berdasarkaan munasib mursal ini. Sebagian
mereka berpendapat bahwa munasib mursal tidak bisa dijadikan dasar dlm
penetapan hukum. Sebagian ulama lagi berpendapat sebaliknya.
4.
Munasib Mulgha (sifat
yang sesuai yang sia-sia). Yaitu suatu sifat yang nampak bahwa mendasarkan
hukum atas sifat itu dapat mewujudkan kemaslahatan, namun Syari’ tidak menyusun
hukum sesuai dengannya, dan syari’ tidak menunjukkan berbagai dalil yang
menunjukkan pembatalan anggapannya. Contoh : persamaan anak perempuan dan anak
laki-laki dlm kekerabatan untuk mempersamakan mereka dlm bagian harta warisan.
Contoh lain : menetapkan hukuman khusus bagi orang yang berbuka puasa dengan
sengaja pada bulan Ramadhan untuk maksud pencegahan. Ini tidak sah
menjadikannya sebagai dasar pembentukan hukum atasnya.
Masalik al-’illat (Cara-cara Untuk Mengetahui ‘Illat) :
1. Nash .
Apabila nash dlm al-Qur’an atau as-Sunnah menunjukkn bhw illat
suatu hukum adalah sifat ini, maka sifat tsb menjadi illat berdasarkan nash. Ia
disebut illat al-manshush ‘alaiha (illat yang disebuntukan dlm nash).
Penunjukkan nash bahwa sifat itu adalah illat kadangkala jelas, dan kadangkala
berupa isyarat. Dan yang jelas terbagi pada jelas yang bersifat pasti (qath’i)
dan jelas yang bersifat dugaan kuat (zhanniyah). Contoh yang jelas dan bersifat pasti : QS. 4:165,
59:7. contoh yang jelas bersifat dugaan kuat : QS. 17:78, 4:160, 2:222. Contoh yang isyarat : hadist : “Janganlah
seorang hakim menjatuhkan putusan ketika ia sedang dalam keadaan marah”.
2. Ijma’.
Apabila para mujtahid pada suatu masa sepakat atas keillatan suatu sifat bagi suatu hukum syara’,
maka keillatan sifat ini bagi hukum tersebut ditetapkan berdasarkan ijma’.
Contohnya : ijma’ para mujtahid tentang illat kewalian harta atas anak kecil
adalah keadaannya yang masih kecil. Namun dlm memasukkan ijma’ sebagai salah
satu cara mengetahui illat perlu ditinjau. Sebab para penolak qiyas tidak
melakukan qiyas dan tidak pula menetapkan illatnya. Bagaimana mungkin terjadi
ijma’ tanpa mereka?.
3. As-Sibr wa at-Taqsim (percobaan dan
pembatasan)
as-Sibr : adalah pengujian. Sedangkan at-taqsim : adalah pembatasan
sifat-sifat yang layak untuk menjadi illat pada al-ashlu (pokok).
As-Sibr wa at-taqsim adalah proses yang
dilakukan oleh seorang mujtahid untuk mengetahui sifat-sifat yang ada pada
al-ashlu, kemudian mengujinya dengan menggunakan syarat-syarat yang harus
dipenuhi dlm illat. Berdasarkan pengujian ini, si mujtahid menjauhkan
sifat-sifat yang tidak layak untuk menjadi illat dan menyisakan sifat yang
layak untuk menjadi illat.
Contoh : Ada yang nash yang mengharamkan riba al-fadhl (kelebihan)
dan riba an-nasi’ah (tempo waktu) mengenai pertukaran gandum dengan
gandum. Sedangkan tidak ada nash dan ijma’ yang menunjukkan illat hukum ini.
Lalu seorang mujtahid menempuh jalur as-sibr dan at-taqsim untuk dapat
mengetahui illat hukum ini, dengan cara mengatakan illat ukum ini mungkin
karena keberadaannya bisa ditakar atau ditimbang, mungkin karena sebagai bahan
makanan, atau mungkin karena sebagai makanan pokok dan bisa disimpan. Akan
tetapi sebagai bahan makanan tidak layak menjadi illat, sebab pengharaman juga
terjadi pada emas, padahal emas bukan jenis makanan.
Begitu juga sebagai bahan makanan pokok tidak layak dijadikan
illat, sebab pengharaman juga terjadi pada pertukaran garam dengan garam,
padahal garam bukan bahan makanan pokok. Kalau begitu, jelaslah bahwa illatnya
adalah keberadaannya sebagai yang bisa ditakar atau ditimbang. Maka
berdasarakan hal ini, segala sesuatu yang bisa diukur dengan takaran atau
timbangan diqiyaskan dengan sesuatu yang terdapat dlm nash dalam pemberlakuan
riba al-fadhl dan riba an-nasi’ah.
(والله أعلم الصواب)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar