Selasa, 05 Maret 2013

Hukum Syara'


HUKUM SYARA’
(Oleh : H. Asnin Syafiuddin, Lc. MA)


I. DEFINISI HUKUM SYARA’    
Menurut bahasa (etimologi) :  Hukum (الحكم/al-hukm) berarti :  الْمَنعُ والفَصْلُ والقَضَاءُ = mencegah, memutuskan.
Menurut istilah ushul fiqh (terminologi) :  hukum syara’ adalah :
خِطَابً الشَّارِعِ الْمُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلِّفِيْنَ، طَلَباً، أَوْ تَخْيِيْراً، أَوْ وَضْعًاً
Khitab (kalam) asy-syari’ (Pembuat hukum/Allah SWT)  yang berkaitan dengan semua perbuatan mukallaf , baik berupa iqtidha` (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau meninggalkan), takhyir (memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau wadh’i (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang/māni’).
Penjelasan Definisi al-Hukm
Yang dimaksud Khithab asy-syari adalah semua bentuk dalil-dalil hukum, baik al-Quran, as-Sunnah, maupun Ijma’ dan Qiyas. Namun Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dalil hanya al-Quran dan as-Sunnah. Adapun ijma’ dan qiyas sebagai metode penyingkapan hukum dari al-Quran dan sunnah. Al-Quran dianggap sebagai kalam Allah secara langsung, dan sunnah sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena Rasulullah saw tidak mengucapkan sesuatu di bidang hukum kecuali berdasarkan wahyu, sesuai firman Allah:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى . إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. An-Najm : 3-4)
Demikian pula dengan ijma’ harus mempunyai sandaran kepada al-Quran dan sunnah.
Yang dimaksud perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa, berakal sehat, termasuk perbuatan hati (seperti niat), dan perbuatan ucapan (seperti ghibah).

II.
JENIS-JENIS  HUKUM SYARA’
Secara garis  besar hokum syara' terbagi kepada dua bagian :
  1. Hukum Taklifi
  2. Hukum Wadh’i

A. Hukum taklifi
Definisi Hukum Taklifi
ما اقتضى طلب فعل من المكلف، أو كفّه عن فعله أو تخييره بين فعل والكف عنه
Hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap seorang mukallaf untuk melakukan  sesuatu atau tidak berbuat.
Contoh perintah melakukan sesuatu :
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ  (Dan dirikanlah sholat). (QS. Al-Baqoroh : 43)
Contoh perintah meninggalkan sesuatu :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا  (Janganlah kalian mendekati perzinaan). (QS. Al-Isra’ : 32)
Contoh pilihan melakukan atau meninggalkan sesuatu :
 وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُواْ (dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu.) (QS. Al-Maidah : 2)
Pembagian Hukum Taklifi
Hukum taklifi dibagi kepada lima bagian :
  1. Wajib
  2. Mandub
  3. Haram
  4. Makruh
  5. Mubah
1. Wajib
Pengertiannya :
ما طلبَ الشَّارعُ فعله على وجهِ اللُّزومِ، ورتَّب على امتثالهِ المدحَ والثَّوابَ، وعلى تركهِ مع القُدْرةِ الذَّم والعقابِ
Yaitu yang dituntut  syari’  untuk melakukan suatu perbuatan dengan tegas dan kuat, jika dilaksanakan akan menyebabkan pujian dan pahala, dan jika ditinggalkan dalam keadaan mampu  akan menyebabkan celaan dan siksa.
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan wajib, di antaranya : 
  1. Fi’il amar, seperti : وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ  = Dan dirikanlah sholat. (QS. Al-Baqoroh : 43)
  2. Kata (أمر) , seperti :  إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى = Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat...(QS. An-Nahl : 90)
  3. Kata (كتب) , seperti : كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ = diwajibkan bagia kalian berpuasa. (QS. Al-Baqoroh : 183)
  4. Kata (فَرَض) , seperti : سُورَةٌ أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا = (Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam) nya.(QS. An-Nur : 1)
e. Fi’il yang besambung dengan lamul amri, seperti : وَلْيُوفُوا نُذُورَهُم  = dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka. (QS. Al-Hajj : 29)
f. Bentuk kata : (لهُ عليك فِعلُ كذا/baginya untukmu melakukan itu), seperti : وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً = mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. (QS. Ali Imran : 97)
g. Bentuk berita yang menempatkan sesuatu yang dituntut dalam posisi dilaksanakan secara sempurna sebagai penguat perintah, seperti : وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا = Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. (QS. Al-Baqarah:234)
h. Adanya ancaman jika ditinggalkan, seperti : فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ= Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. (QS. Al-Baqarah:279)
i. Tidak dihitung amal perbuatan jika ada sesuatu yang ditinggalkan. Seperti : لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ = Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah. (Muttafaq ‘alaih)
 Pembagian Wajib :
a. Ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya terbagi kepada  :     
1)      Wajib muwassa’, yaitu jika waktu yang ditentukan itu dapat digunakan untuk melaksanakannya dan melaksanakan kewajiban sejenisnya yang lain. Contohnya adalah sholat.
2)      Wajib mudlayyaq, yaitu yang hanya cukup untuk melaksanakan satu kewajiban saja, seperti puasa. Sesungguhnya setelah terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari hanya cukup untuk melaksanakan satu puasa saja.
 b. Ditinjau dari segi ukuran dan batasannya dibagi kepada :
            1) Wajib muqaddar/muhaddad (kewajiban yang ditentukan atau dibatasi ukurannya), seperti : nishab zakat dan kadar yang dikeluarkannya.
            2) wajib ghairu muqaddar/muhaddad (kewajiban yang tidak ditentukan atau dibatasi ukurannya), seperti : ukuran nafkah wajib bagi suami terhadap isterinya, berbuat baik bagi manusia.
 c. Ditinjau dari segi ditentukan atau tidak ditentukannya, wajib terbagi kepada :
1)     Wajib mu’ayyan (tertentu), yaitu kewajiban yang harus dilakukan tanpa ada pilihan, Ini  merupakan kebanyakan kewajiban, seperti shalat lima waktu.
2)      Wajib gahiru mu’ayyan (tidak ditentukan), seperti kafarat sumpah pada firman Allah : فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ  (tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak). (Al Maidah : 89)
d. Ditinjau dari segi pelakunya, wajib dibagi kepada :
1)      Wajib ‘ain, yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap orang Islam yang mukallaf secara pribadi-pribadi, seperti shalat lima waktu dan puasa.
b)      Wajib kifayah, yaitu bahwa yang diperintahkan adalah melaksanakan perbuatan dan tidak disyaratkan harus dilakukan oleh seseorang tertentu, seperti memandikan mayyit dan menshalatkannya. Dan kadang-kadang wajib kifayah itu berubah menjadi wajib ‘ain, seperti jika suatu negeri itu membutuhkan kepada para hakim dan di sana hanya ada dua orang saja, maka jadilah menjadi hakim itu merupakan kewajiban atas keduanya.

2. Mandub
Pengertiannya :
ما طلبَ الشَّارعُ فعلُهُ من غير إلزامٍ، ورتَّب على امتثالهِ المدحَ والثَّوابَ، وليسَ على تركِهِ الذَّمُّ والعقابُ
Yaitu yang dituntut syari’  untuk melakukan suatu perbuatan tidak dengan tegas dan kuat, jika dilaksanakan akan menyebabkan pujian dan pahala, dan jika ditinggalkan tidak menyebabkan celaan dan siksa.
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan mandub, di antaranya :
  1. Fi’il amr yang ada dalil yang menunjukkan tidak kuatnya perintah. Seperti : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ = Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. (QS. Al-Baqaqrah : 282).
  2. Bentuk berita yang menunjukkan anjuran, bukan perintah, seperti : bentuk-bentuk anjuran untuk melakukan dzikir atau shalat tertentu.
  3. Setiap perbuatan Nabi saw yang bersifat pembentukan hukum. Seperti shalat sunnah rawatib, shaum sunnah, dsb.
Nama-nama Mandub :
  1. Sunnah,
  2. Nafilah,
  3. Mustahab,
  4. Tathawwu’,
  5. Fadhilah
 Sebagian ulama ada yang menamakan mandub jika berkaitan dengan kemaslahatan akhirat, dan irsyad jika berkaitan dengan kemaslahatan duniawi.
Derajat Mandub :
  1. Sunnah muakkad, yaitu amalan sunnah yang dilakukan Nabi saw secara terus menerus. Dan kadang-kadang dibarengi dengan anjuran dalam bentukperkataan. Seperti : shalat sunnah dua rakaat sebelum shalat shubuh. Sabda Rasulullah saw : “ركْعتَا الفجرِ خيرٌ من الدُّنيا وما فيها “ “Dua rakaat sebelum shubuh lebih baik dari pada dunia dan isinya”. (HR. Muslim)
  2. Sunnah ghairu muakkad, yaitu amalan sunnah yang tidak dilakukan secara terus menerus. Seperti shalat sunnah 4 rakaat sebelum shalat ashar.
Termasuk dalam kategori ini adalah amalan-amalan sunah yang diperintahkan Rasulullah saw melalui perkataan tapi dalam prakteknya beliau tidak melakukannya secara terus menerus. Seperti beliau menganjurkan untuk umrah, tapi dalam hidupnya hanya melakukan 4 kali, dan satu kali haji.
  1. Fadhilah wa adab (keutamaan dan adab), dinamakan juga sunnah az-zawaid (sunnah tambahan) dan sunnah al-‘adah (sunnah kebiasaan). Yaitu perbuatan Nabi saw yang bukan termasuk ‘ubudiyah. Seperti sifat makan, minum, berpakaian, berjalannya, dsb. Karena meneladani beliau saw merupakan sebuah keutamaan dan terpuji.
3. Haram
Pengertian Haram
ما طلَبَ الشَّارِعُ الكفَّ عنه على وجهِ الحَتْمِ والإلزامِ، ويثابُ تاركُهُ امتثالاً، ويُعاقبُ فاعلُهُ اختيارًا
Yang dituntut Syari’ untuk ditinggalkan dengan tegas dan kuat, jika ditinggalkan karena ketaatan mendapat pahala, dan jika dilakukan secara sadar mendapat siksa.
 Haram dinamakan juga mahzhur (larangan).
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan haram :
  1.  Kata : حرم   , seperti : حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ  = Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi. (QS. Al Maidah : 3)
  2. Menafikan/meniadakan kehalalan, seperti : فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ = Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.(QS. Al-Baqarah : 230)
  3. Kata (النَّهي) /nahy/larangan, seperti : وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ = dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. (QS. An-Nahl : 90)
  1. Kata (زَجرَ) /melarang, seperti : حديثِ أبي الزُّبيرِ قال: سألتُ جابرًا (يعني ابنَ عبدالله) عن ثَمَنِ الكلبِ والسِّنَّورِ؟ قالَ: زَجرَ النَّبيُّ - صلى الله عليه وسلم - عن ذلكَ = Hadits Abu Zubair, ia berkata : Saya bertanya kepada Jabir tentang anjing dan kucing. Jabir berkata : Nabi saw melarangnya”. (HR. Muslim)
  2. Bentuk perintah mengakhiri atau berhenti , seperti : وَلَا تَقُولُوا ثَلَاثَةٌ انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ = janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. (QS. An-Nisa’:171)
  3. Bentuk fi’il mudhari’ yang disertai la nahiyah , seperti : وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا  = Janganlah kalian mendekati perzinaan. (QS. Al-Isra’ : 32)
  1. Kata (لا ينبغي/tidak pantas,wajar), seperti sabda Rasulullah saw tenang sutra : “لا ينبغي هذا للمتَّقينَ” = “Ini tidak pantas bagi orang-orang yang bertakwa”. (Hadits Muttafaq ‘alaih)
  2. Bentuk perintah meninggalkan dengan kata selain kata (nahy), seperti : فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ  = maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. (QS. Al- Hajj : 30); وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ = Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid. (QS.al-Baqarah :222)
  1. Ancaman atau laknat jika melakukannya, baik ancaman dunia, ataupun akhirat, seperti : وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا = Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya. (QS. Al-Maidah : 38)
  2. Mensifati perbuatan dengan dosa, seperti hadits : عن أنسٍ رضي الله عنهُ قال: سُئل النَّبيُّ - صلى الله عليه وسلم - عن الكبائرِ؟ قال: ((الإشراكُ بالله، وعقوقُ الوالدينِ، وقتلُ النَّفسِ، وشهادَةُ الزُّورِ)) = Dari Anas ra, ia berkata : Nabi saw ditanya tentang dosa besar, beliau menjawab : “ Menyekutukan Allah, membunuh jiwa, dan kesaksian palsu”. (Hadits Muttafaq ‘alaih)
  3. Mensifati perbuatan dengan pelanggaran, kezaliman, kejahatan, kefasikan, dan semacamnya, seperti : وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ = Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. (QS. Al-Baqarah : 282)
  1. Pelaku suatu perbuatan disamakan dengan binatang, setan, orang-orang kafir, orang-orang yang merugi, atau semacamnya, seperti : إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ = Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan. (QS. Al-Isra’ : 27)
  2. Menamakan perbuatan dengan nama lain yang diharamkan yang keharamannya sudah dimaklumi, seperti mensifati perbuatan dengan perzinahan, pencurian, kemusyrikan, atau yang lain. Di antaranya sabda Rasulullah saw : “منْ حلفَ بغيرِالله فقَدْ أشركَ “ “barangsiapa yang bersumpah dengan nama selain Allah, sungguh ia telah berbuat syirik”. (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan lainnya).
Pembagian Haram :
Dalam syari’at Islam pengharaman tidak diberikan kecuali pada sesuatu yang kerusakannya bersifat murni atau bersifat secara umum. Kerusakan pada yang diharamkan terjadi pada dzat yang diharamkan itu sendiri, atau pada sebabnya. Oleh karena itu haram terbagi kepada 2 bagian.
  1. Muharram lidzatih atau haram karena dzatnya, seperti syirik, zina, mencuri, memakan daging babi, dsb.
  2. Muharram lighairih atau haram karena yang lain. Ini pada dasarnya mubah atau legal karena tidak mengandung kerusakan atau karena aspek kemaslahatannya kuat, akan tetapi karena kondisi tertentu,ia menjadi haram karena sebagai sebab timbulnya kerusakan. Maka dalam keadaan itu, ia menjadi haram. Seperti berjual beli pada dasarnya boleh dan disyari’atkan, tetapi kalau dilakukan saat azan shalat jum’at sudah dikumandangkan, ia menjadi haram.

4. Makruh
Pengertian Makruh :
ما طلبَ الشَّارعُ من المكلَّفِ تركَهُ لا على وجهِ الحتْمِ والإلزامِ، ويثابُ تاركُه امتثالاً، ولا يعاقبُ فاعلُهُ
Yang dituntut Syari’ dari seorang mukallaf untuk ditinggalkan tidak dengan tegas dan kuat, jika ditinggalkan karena ketaatan mendapat pahala, dan tidak disiksa jika dilakukan.
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan makruh :
  1. Kata (karaha =tidak suka/ benci). Seperti sabda Rasulullah saw : ((إنَّ الله حرَّم عليكُم عقوقَ الأمَّهاتِ، وأودَ البناتِ، ومنعَ وهاتِ، وكرِه لكُم قيلَ وقالَ، وكثرةَ السُّؤالِ، وإضاعَةَ المالِ)) = Sesungguhnya Allah telah mengharmkan mendurhakai ibu, mengubur anak wanita hidup-hidup, tidak mau memberi, dan Allah membenci desas desus, banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta”. (Hadits Muttafaq ‘alaih). Dalam hadits inidibedakan antara haram dan makruh.
b.    Bentuk larangan yang disertai dalil yang memalingkannya dari haram, seperti hadits Abdullah bin Umar, ia berkata  : نهى يومَ خيبرَ عن أكلِ الثُّومِ =Rasulullah saw melarang makan bawang putih pada hari Perang Khaibar.  Larangan ini dalam arti makruh dengan dalil hadits Abu Ayyub al-Anshari, ia berkata :  Rasulullah saw apabila diberikan makanan, beliau memakannya dan memberikan sisanya kepada saya. Pada suatu hari beliau memberikan makanan sisa yang belum beliau makan, karena ada bawang putih pada makanan itu. Lalu saya bertanya kepadanya : Apakah itu haram?. Beliau bersabda : “Tidak, akan tetapi saya tidak menyukainya karena baunya”. Abu Ayyub berkata : Kalau begitu saya tidak menyukai apa yang engkau tidak sukai. (HR. Muslim)
  1. Sesuatu yang ditinggalkan Nabi saw dengan maksud penentuan hokum, bukan karena tabiat kemanusiaan.
5. Mubah
Pengertiannya :
ما خيَّر الشَّارعُ المكلَّف بين فعلهِ وتركهِ، ولا يلحقُهُ مدحٌ شرعيٌّ ولا ذمٌّ بفعلهِ أو تركِهِ .
Pemberian kebebasan memilih dari Syari’kepada mukallaf untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, tidak ada pujian dan  celaan syar’I dalam melakukan atau meninggalkannya.
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan mubah
  1. Adanya kata halal secara jelas, seperti : الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ = Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (QS. Al-Maidah : 5)
  2. Meniadakan dosa dalam melakukannya, seperti : فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ = Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. (QS. Al-Maidah : 173)
  1. Bentuk perintah setelah larangan, seperti : فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ =  Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah. (QS. Al-Jumu’ah : 10). Ini perintah setelah adanya larangan pada ayat sebelumnya.
  2. Mubah sebagai hokum asal sebagaimana dikatakan bahwa dasar pada sesuatu itu adalah boleh. Segala sesuatu itu mubah selama tidak ada dalil yang memindahkan kemubahan itu pada hukum lain.

B. Hukum wadh’i
Definisi Hukum Wadh’i
ما اقتضى وضع شيء سببا لشيء، أو شرطا له ، أو مانعا منه
Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat, dan māni’ (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi).
Contoh sesuatu  menjadi sebab adanya hukum taklifi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. (QS. Al-Maidah : 6)
Contoh sesuatu menjadi syarat adanya hukum taklifi :
وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. (QS. Ali Imran : 97)
Contoh  sesuatu yang menjadi mani’ (penghalang) hukum taklifi :
لَا يَرِثُ الْقَاتِلُ
Yang membunuh tidak mendapat warisan “. (HR. Ahmad)
Dinamakan hukum wadh’i, karena yang menentukan atau menetapkan hukum itu adalah Syari’ (Pembuat hukum/Allah). Umpamanya, Allah-lah yang menentukan bahwa hendak melakukan shalat sebagai sebab wajibnya berwudhu, istitha’ah (kemampuan)sebagai syarat bagi wajib melaksanakan ibadah haji, pembunuhan pewaris terhadapahli warisnya sebagai penghalang mendapatkan warisan, tanpa berhubungan dengan permintaan dari mukallaf.
Dari penjelasan ini dapat dibedakan antara hukum taklifi dengan hukum wadh’i, yaitu bahwa hukum taklifi didasarkan pada kemampuan mukallaf, sedangkan hukum wadh’i tidak didasarkan pada kemampuan atau tidak mampunya mukallaf. Ada atau tidak adanya sesuatu didasarkan pada ketentuan syari’at.
Pembagian Hukum Wadh’i
  1. Sebab
  2. Syarat
  3. Mani’
  4. Sah dan Batal
  5. ‘Azimah dan Rukhshah
1. Sebab
Pengertian Sebab
Secara bahasa berarti :
كُلُّ شيءٍ يُتوصلُ بهِ إلى غيرِهِ
Sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yg lain.
Secara istilah, sebab yaitu :
 الأمرُ الَّذي جعلَ الشَّرعُ وجودَهُ علامةً على وجودِ الحُكمِ، وعدَمَهُ علامةً على عدَمِ الحُكمِ
Sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum.
Pembagian Sebab
  1.  Sebab yang bukan merupakan perbuatan mukallaf, dan berada di luar kemampuannya. Namun, sebab itu mempunyai hubungan dengan hukum taklifi, karena syariat telah menjadikannya sebagai alasan bagi adanya suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh mukallaf. Misal, tergelincir matahari menjadi sebab (alasan) bagi datangnya waktu shalat dhuhur, masuknya awal bulan ramadhan menjadi sebab bagi kewajiban puasa ramadhan.
  2. Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan dalam batasan kemampuannya. Misal: perjalanan (safar) menjadi sebab bagi bolehnya berbuka puasa di siang ramadhan, akad jual beli menjadi sebab bagi perpindahan hak milik dari penjual kepada pembeli.
2. Syarat
Pengertian Syarat
 Secara bahasa berarti : العلامَةُ / tanda.
Secara istilah, syarat yaitu :
 ماتوقَّفَ وجودُ الشَّيءِ على وجودِهِ، وليسَ هوَ جزْءًا من ذاتِ ذلكَ الشَّيءِ، بلْ هوَ خارجٌ عنهُ، كما لا يلزمُ من جودِهِ وُجودُ ما كانَ شرْطًا فيهِ
Sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu yang lain, ia bukan bagian dari sesuatu yang lain itu, tetapi berada di luar hakikat sesuatu itu, sebagaimana adanya sesuatu itu tidak menuntut adanya sesuatu yang lain yang mengsyaratkannya.
Contoh : wudhu merupakan syarat bagi sahnya shalat, sahnya shalat tergantung adanya wudhu, tetapi wudhu itu bukan merupakan bagian dari shalat, dan juga adanya wudhu tidak mesti adanya shalat.
Pembagian Syarat
  1.  Syarat Syar’i, yaitu syarat yang datang langsung dari syari’at itu sendiri. contoh , adanya haul (cukup satu tahun) bagi harta yang sudah mencapai nishab merupakan syarat bagi wajibnya zakat.
  2. Syarat Ja’ly, yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukallaf itu sendiri dalam tindakan dan mu’amalah, bukan dalam masalah ibadah. Contoh : syarat-syarat yang ditentukan orang-orang yang melakukan berbagai transaksi.
3. Mani’
Pengertian Mani’
Secara bahasa berarti penghalang dari sesuatu.
Secara istilah, mani’  adalah :
ما رتَّب الشَّرعُ على وجودِهِ العدَمَ
Sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum, atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.
Pembagian Mani’
  1.  Māni’ lil-Hukm, yaitu : sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum. Misal: haid wanita sebagai penghalang shalat.
  2. Māni’ lis-Sabab, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi berfungsinya suatu sebab, sehingga sebab itu tidak lagi mempunyai akibat hukum. Contoh : adanya hutang merupakan penghalang bagi wajibnya zakat harta sekalipun sudah mencapai nishab dan haul. 
4. Sah dan Batal
Pengertian Sah dan Batal  : 
Sah/Shihhah/Shah :  maksudnya perbuatan hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’, yaitu terpenuhinya sebab, syarat, dan tidak ada m ā ni’. Sah dapat diartikan lepas tanggung jawab atau gugur kewajiban di dunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat. Misal: mengerjakan shalat dhuhur setelah tergelincir matahari (sebab), didahului dengan wudhu’ (syarat), dan tidak ada halangan haid bagi pelakunya (m ā ni’). Shalat yang dilakukan itu hukumnya sah. Tapi jika sebab tidak ada, syarat tidak terpenuhi, maka shalatnya dikatakan tidak sah, walaupun m ā ni’-nya tidak ada.
Batal/Buthlan/Bathil : yaitu terlepasnya hukum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Batal juga dapat diartikan tidak melepaskan tanggung jawab, tidak menggugurkan kewajiban di dunia, dan di akhirat tidak memperoleh pahala.
Perbedaan para ulama tentang penggunaan istilah sah dan batal dalam masalah muamalah  :
Menurut Jumhur ulama, tidak ada perbedaan dalam ibadah dan muamalah, dalam keduanya berlaku “sah atau batal”.
Sebagian ulama mazhab Hanafi :
Dalam maslah ibadah sependapat dengan jumhur ulama, yaitu hanya ada “sah atau batal”.
Dalam masalah muamalah, yaitu dalam masalah ‘uqud, perjanjian yang tidak sah terbagi dua: batal dan fasid (rusak). Bila cacat terdapat dalam rukun & syarat, maka akad menjadi batal, ia tidak mengakibatkan timbulnya hukum karena tidak ada sebab. Sedang jika cacat itu ada dalam suatu syarat dari beberapa syarat yang berhubungan dengan hukum maka akad itu menjadi fasid, tapi tidak batal, dan berakibat timbulnya sebagian pengaruh hukum. Misal: akad nikah dengan wanita muhrimat adalah batal. Tapi pernikahan yang tidak dihadiri dua orang saksi disebut fasid, pengaruhnya suami wajib bayar mahar, isteri tetap menjalankan masa ‘iddah, anak masih dapat dihubungkan dengan suaminya.
5. ‘Azimah dan Rukhshah
Pengertian ‘Azimah :
Secara bahasa : ‘azaimah berarti kemauan yang kuat.
Menurut istilah adalah :
اسمٌ لما هوَ الأصلُ في المشروعاتِ غيرُ متعلِّقٍ بالعوارضِ
Suatu ungkapan tentang hukum-hukum yang disyari’atkan Allah  sejak semula, tidak berkaitan dengan suatu peristiwa baru. Contoh : Hukum shalat Dhuhur 4 raka’at adalah hukum asal, itu disebut ‘azimah. Hukum makan bangkai adalah haram adalah hukum asal, itu adalah ‘azimah.
Pengertian  Rukhshah :
Menurut bahasa:  rukhshah berarti mudah dan gampang.
Menurut istilah rukhshah berarti :
اسمٌ لِما شُرعَ متعلِّقًا بالعوارضِ خارجًا في وصفِهِ عن أصلهِ بالعُذْرِ
Suatu nama bagi hukum yang disyari’atkan karena adanya peristiwa baru yang keluar dari hukum asal karena ada udzur. Contoh : menjama’ dua shalat karena ada udzur safar (perjalanan) dan hujan; menqashar shalat bagi musafir; boleh makan bangkai bagi orang yang dalam keadaan darurat. Hukum-hukum ini keluar dari hukum asal, dan yang mempengaruhinya adalah karena ada udzur.
Faktor Penyebab adanya Rukhshah
  1. Lemah fisik. Seperti : tidak adanya kewajiban atas anak kecil dan orang gila, gugurnya kewajiban shalat jum’at bagi wanita.
  2. Sakit. Seperti boleh berbuka puasa bagi orang yang sakit.
  3. Perjalanan. Seperti boleh menqashar shalat yang empat rakaat.
  4. Lupa. Seperti sah puasa orang yang makan dan minum karena lupa.
  5. Jahl/bodoh/tidak tahu. Seperti gugurnya siksaan orang yang tidak bisa dalam belajar jika terjadi karena tidak melalaikan.
  6. Keadaan terpaksa. Seperti boleh makan bangkai bagi orang yang kelaparan dan takut mati kalau tidak makan.
  7. Bencana yang bersifat umum, yaitu dalam keadaan yang sulit melepaskan darinya.
Macam-macam Rukhshah
  1.  Boleh melakukan  yang haram karena keadaan darurat. Seperti boleh makan daging babi karena darurat.
  2. Boleh meninggalkan yang wajib. Seperti tidak berdiri dalam shalat bagi orang yang tidak mampu.
  3. Membenarkan sebagian akad yang kurang persyaratan umumnya untuk menghilangkan kesulitan dan memudahkan manusia. Seperti akad salam dan jasa kerja.
Derajat Mengambil Rukhshah
  1. Boleh memilih antarmengambil rukhshah atau meninggalkannya. Seperti boleh berbuka puasa bagi musafir atau tetap berpuasa.
  2. Lebih utama mengambil rukhshah. Seperti menqashar shalat bagi musafir, karena Rasulullah saw selalu mengqashar shalat dalam safar.
  3. Lebih utama meninggalkan rukhshah. Seperti sabar menanggung penderitaan ketika dipaksa mengatakan kata kekufuran.
  4. Wajib mengambil rukhshah. Seperti wajib makan bangkai bagi orang yang dalam keadaan darurat agar tidak mati.
Ada’, I’adah, Qadha’
Tiga istilah syari’at  yang berhubungan dengan hukum wadh’i dilihat dari sisi waktu pelaksanaan ibadah :
  1. Ada’, yaitu melakukan suatu ibadah pada waktu yang ditentukan menurut syari’at.
  2. I’adah (pengulangan), yaitu melakukan suatu ibadah pada waktu yang telah ditentukan oleh syari’at untuk kedua kalinya karena ada semacam kerusakan atau kekurangan dalam menunaikannya.
  3. Qadha’, yaitu melakukan suatu ibadah setelah keluar dari waktu yang telah ditentukan oleh syari’at, baik karena kerusakan dalam menunaikan atau karena meninggalkannya secara keseluruhan, karena adanya suatu udzur atau tanpa udzur.
Catatan :
Bahwa qadha tidak ada dalil yang memerintahkan qadha kecuali dalam melakukan ibadah setelah keluar waktunya disebabkan adanya udzur seperti tidak shalat disebabkan ketiduran, atau puasa bagi wanita haidh dan nifas. Adapun keluarnya waktu tanpa udzur, tidak ada dalil yang memerintahkan qadha. Ini berbeda dengan pendapat kebanyakan ulama fiqh.
Ini diperkuat oleh masalah yang dilontarkan oleh para ulama ushul fiqh, apakah qadha itu berdasarkan perintah pertama, atau membutuhkan perintah baru?
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa qadha membutuhkan perintah baru. Inilah pendapat yang benar, karena ibadah yang berkaitan dengan waktu, dimaksudkan oleh Syari’ dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan. Jika seorang mukallaf mengabaikannya lalu melaksanakannya di luar waktunya tanpa udzur, berarti ia tidak melakukannya sesuai perintah. Padahal nabi saw telah bersabda : “Barangsiapa yang melakukan suatu amal tidak berdasarkan perintah kami, maka amal itu ditolak”. (HR. Muslim).
Ini berbeda dengan orang yang punya udzur. Bisa jadi syari’at menggugurkan kewajibannya dan tidak memerintahkannya seperti menqadha shalat bagi wanita haidh. Atau karena ada perintah baru, seperti perintah mengqadha shalat bagi orang yang tidur dan lupa, perintah mengqadha puasa bagi wanita haidh dan nifas dan bagi musafir, menggantikan haji bagi orang yang tidak mampu melaksanakan haji di masa hidupnya.
Dari permasalahan ini timbul masalah baru, yaitu mengqadha shalat, puasa dan semacamnya bagi orang yang meninggalkannnya pada waktunya dengan sengaja. Ini baginya tidak ada rukhshah untuk mengqadhanya, tetapi caranya dengan taubat dan banyak melakukan ibadah sunnah.
(والله أعلم الصواب)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar