MENGIMANI ASMA’ DAN SIFAT ALLAH.
A. Pengertian
Mengimani Asma' dan Sifat Allah
Iman
kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT adalah menetapkan nama-nama dan
sifat-sifat yang sudah ditetapkan Allah untuk diri-Nya dalam kitab suci-Nya
atau sunnah rasul-Nya dengan cara yang sesuai dengan kebesaran-Nya tanpa tahrif
(penyelewengan), ta'thil (penghapusan), takyif (menanyakan
bagaimana?) dan tamtsil (menyerupakan).
Allah
berfirman :
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ
الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ
سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
" Hanya milik Allah asma-ul
husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu dan
tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut)
nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan " (QS. Al-A'raf/7 : 180 )
ليْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
" … Tidak ada sesuatupun
yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat
" (QS. Asy-Syura'/42 : 11)
B. Golongan
Manusia dalam Mengimani Asma' dan Sifat
Dalam
perkara ini ada dua golongan yang tersesat, yaitu :
1. Golongan
Mu'aththilah, yaitu mereka yang mengingkari nama-nama dan dan sifat-sifat Allah
atau mengingkari sebagiannya saja. Menurut anggapan mereka, menetapkan
nama-nama dan sifat itu kepada Allah dapat menyebabkan tasybih (penyerupaan),
yakni menyerupakan Allah SWT dengan makhluk-Nya .
Pendapat
ini jelas keliru karena :
a. Anggapan
itu akan mengakibatkan hal-hal yang bathil atau salah, karena Allah SWT telah
menetapkan untuk diri-Nya nama-nama dan sifat-sifat, serta telah menafikan
sesuatu yang serupa dengan-Nya. Andaikata menetapkan nama-nama dan sifat-sifat
itu menimbulkan adanya penyerupaan, berarti ada pertentangan dalam kalam Allah
serta sebagian firman-Nya akan menyelahi sebagian yang lain.
b. Kecocokan antara
dua hal dalam nama atau sifatnya tidak mengharuskan adanya persamaan. Anda
melihat ada dua orangKecocokan antara dua hal dalam nama atau sifatnya tidak
mengharuskan adanya persamaan. Anda melihat ada dua orang yang keduanya
manusia, mendengar, melihat dan berbicara, tetapi tidak harus sama dalam makna
kemanuasiaannya, pendengarannya, penglihatannya dan pembicaraannya. Anda juga
melihat beberapa binatang yang punya tangan, kaki dan mata, tetapi kecocokannya
itu tidak mengharuskan tangan, kaki dan mata mereka sama. Apabila antara
makhluk-makhluk yang cocok dalam nama atau sifatnya saja jelas memiliki perbedaan, maka tentu perbedaan antara
Khaliq (Pencipta) dan makhluk (yang diciptakan) akan lebih jelas lagi.
2. Golongan
Musyabbihah, yaitu golongan yang menetapkan nama-nama dan sifat-sifat, tetapi
menyerupakan Allah SWT dengan makhluk-Nya. Mereka mengira hal ini sesuai dengan
nash-nash Al-Qur'an, karena Allah berbicara dengan hamba-Nya dengan sesuatu
yang dapat dipahaminya.
Anggapan ini jelas keliru ditinjau
dari beberapa hal, antara lain :
a. Menyerupakan
Allah SWT dengan makhluk-Nya jelas merupakan sesuatu yang bathil, menurut akal
maupun syara'. Padahal tidak mungkin nash-nash kitab suci Al-Qur'an dan Sunnah
Rasul menunjukkan pengertian yang bathil.
b. Allah SWT
berbicara dengan hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahami dari segi
asal maknanya. Hakikat makna sesuatu yang berhubungan dengan zat dan sifat
Allah adalah hal yang hanya diketahui oleh Allah saja. Apabila Allah menetapkan untuk diri-nya
bahwa Dia Maha Mendengar, maka pendengaran itu sudah maklum darisegi maknanya,
yaitu menemukan suara-suara. Tetapi hakikat hal itu dinisbatkan kepada
pendengaran Allah tidak maklum karena hakikat pendengaran jelas berbeda, walau
pada makhluk sekalipun. Jadi perbedaan hakikat itu antara Pencipta yang
diciptakan jelas lebih jauh berbeda.
Apabila Allah SWT memberitakan tentang diri-Nya bahwa Dia bersemayam di
atas 'Arasynya, maka bersemayam dari segi asal maknanya sudah maklum, tetapi
hakikat bersemayamnya Allah itu tidak dapat diketahui.
Selain dua golongan di atas, ada juga golongan yang
tidak mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah, dan juga tidak menyerupakan
nama-nama dan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya, namun ia menetapkan
sebagian sifat Allah sesuai dengan keagungan-Nya dan menakwilkan sebagian sifat
yang lain dengan anggapan bahwa menetapkan sebagian sifat itu secara lahir
dapat menimbulkan tasybih (penyerupaan dengan sifat makhluk). Inilah
pendapat kebanyakan ulama Madzhab Asy’ariyah. Apa hukum golongan ini?
Dalam
hal ini Prof. Dr. Abdullah al-Qadiriy daalam kitabnya al-Iman Huwa al-Asas
menjelaskan bahwa anggapan ini jelas keliru karena tiga hal :
a. Bertentangan
dengan nash-nash Al-Qur'an dan Sunnah dan bertentangan dengan sikap yang
diambil kaum Salaf (Sahabat dan pengikutnya). Tidak ada riwayat yang menyatakan
bahwa mereka mentakwilkan satupun nama-nama dan sifat-sifat Allah.
b. Anggapan
mereka bahwa menetapkan sifat-sifat Allah yang mereka takwilkan dapat
menimbulkan tasybih adalah juga keliru; karena menetapkan sifat-sifat Allah
sesuai dengan zhahirnya yang sesuai dengan keagungan-Nya serta menafikan penyerupaannya dengan sifat-sifat
makhluk, tidak akan menimbulkan tasybih seperti yang mereka perkirakan,
sebagaimana Allah berfirman yang artinya :
" … Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah
Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat " (QS. Asy-Syura'/42 : 11) .
Allah menafikan tasybih dari diri-Nya dan dengan dasar ini menetapkan
dua sifat sama' (mendengar) dan bashar (melihat).
c. Mereka
melakukan tindakan kontradiktif dalam menetapakan sebagian sifat atas dasar tanzih
(mensucikan sifat Allah dari penyerupaan dengan sifat makhluk-Nya), dan
mentakwilkan sebagian sifat karena takut jatuh pada tasybih. Mestinya
mereka menetapkan semua nama-nama dan sifat-sifat Allah atas dasar tanzih.
Apa yang mereka katakan tentang sifat yang mereka tetapkan hendaknya juga
mereka katakan tentang sifat yang mereka takwilkan. Kalau tidak, mereka harus
menakwilkan seluruh sifat Allah; karena pada sifat yang mereka tetapkan tanpa
takwil seperti sifat sama' dan bashar,
bisa jadi timbul anggapan tasybih
seperti anggapan mereka dalam sifat rahmah. Kemudian berbicara tentang
sifat Allah harus sama dengan pembicaraan tentang zat Allah. Sebagaimana tidak
ada yang menyerupai zat Allah, begitu juga tidak ada yang menyerupai sifat
Allah.
Kemudian
apa hukumnya orang yang menakwilkan sifat tersebut?
Lebih lanjut Abdullah
al-Qadiriy menjelaskan bahwa orang-orang
yang menakwilan sifat, yaitu golongan Asy’ariyah, mereka tidak menkwailkan
sifat atas dasar pengingkaran. Akan tetapi mereka menakwilkannya disebabkan
kesalah pahaman mereka bahwa menetapkan sifat-sifat yang ditakwilkan itu secara
zhahir dapat membawa kepada tasybih. Jadi pendapat mereka itu berdasarkan
ijtihad, sedangkan orang yang berijtihad dimaafkan dari kesalahannya, diberi
pahala atas ijtihadnya. Oleh karena itu tidak boleh mencela orang yang telah
dimaafkan Allah dan telah dijanjikan pahala walaupun hal itu tidak menghalangi
kita untuk menjelaskan kebenaran yang ia tidak mendapat petunjuk padanya.
Oleh karena itu kata
beliau, Ibnu Taimiah –rahimahullah-
berkata : “Barang siapa
yang diketahui ia melakukan
ijtihad yang diperkenankan, maka tidak boleh menyebutnya dengan mencela dan
menganggapnya berdosa, sebab Allah telah mengampuni kesalahannya. Akan tetapi
wajib memberikan loyalitas dan mencintainya karena keimanan dan ketakwaan yang
ada pada dirinya, melaksanakan hak-hak yang diwajibkan Allah seperti memuji,
mendoakan daan semacamnya”. (Majmu’ al-Fatawa, juz 8 hal 234)
Dalam mensikapi madzhab
golongan al-Asy’ariyah atau madzhab al-Khalaf tentang nama dan sifat Allah
juga, Hasan al-Banna dalam “Risalah al-‘Aqaid”nya menjelaskan : “Kami berkeyakinan bahwa pendapat Salaf itu dengan diam dan menyerahkan makna
sifat-sifat itu sepenuhnya kepada Allah swt adalah lebih selamat dan lebih utama untuk diikuti, untuk memotong habis takwil dan ta’thil (penafian). Jika anda
termasuk orang yang memiliki ketenangan iman dan kesejukan keyakinan yang
dikaruniakan Allah, maka sekali-kali janganlah menyimpang dari pendapat Salaf. Kami juga meyakini bahwa takwil-takwil
kaum Khalaf tidak mengharuskan jatuhnya vonis kekafiran dan kefasikan atas
mereka, serta tidak pula menjadikan munculnya pertikaian berlarut-larut di
antara mereka dan selainnya, baik dulu maupun sekarang. Lapangan Islam
lebih luas dari ini semua”.
C. Macam-macam
Sifat Allah
Sifat-sifat Allah yang
disebutkan dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah ada dua macam :
Pertama, Shifaat Tsubutiyyah/Sifat-sifat
Eksistensial, yaitu sifat-sifat yang mengandung makna kesempurnaan yang selalu
ada dalam diri Allah swt.
Kedua, Shifaat Salbiyyah/Sifat-sifat
Negatif, yaitu sifat-sifat yang mengandung penafian atas semua yang
bertentangan dengan kesempurnaan Allah Yang Suci guna menetapkan sifat yang
menjadi kebalikannya, yakni sifat kesempurnaan eksistensial.
Maka sifat-sifat Allah swt
mengandung dua jenis ini. Yaitu kesempurnaan eksistensial atau penafian yang
membuktikan kesempurnaan eksistensial. Allah swt tidak boleh disifatkan dengan
penafian an sich yang tidak mengandung pembuktian atas kesempurnaan
eksistensial. Karena itu adalah kekurangan yang menafikan kesempurnaan-Nya.
Shifaat Tsubutiyyah/Sifat-sifat Eksistensial
selanjutnya terbagi menjadi dua :
1.
Shifaat dzaatiyyah (sifat dzat). Yaitu
sifat yang tidak tekait dengan kehendak,
dan tidak dapat dibayangkan bahwa suatu waktu Allah swt tidak memiliki
sifat-sifat ini. Misalnya : hayat (hidup), qudrah (kuasa), sama'
(mendengar), bashar (melihat), kalam (berbicara) dan semacamnya.
Patokannya adalah seluruh sifat yang tidak mungkin terpisah dari Allah SWT.
2.
Shifaat Fi'liyyah (sifat fi'il/sifat perbuatan).
Yakni sifat yang terkait dengan kehendak dan kekuasaan Allah, seperti istiwa'
(bersemayam), nuzul (turun), ridha , mahabbah (cinta), ghadhab
(benci) dan semacamnya.
Yang kedua ini merupakan sifat qadim.
Maksudnya, Allah swt telah memiliki sifat tersebut sejak azali dan selalu akan
memilikinya di masa yang akan datang. Tetapi di antara sifat perbuatan itu ada
yang hanya berlaku pada kondisi tertentu dan tidak berlaku umum dan dalam
segala kondisi. Misalnya sifat perbuatan yang termaktub dalam ayat : وَيَمْكُرُ
اللَّهُ/dan Allah menggagalkan tipu daya itu (QS. Al-Anfal:30), dan
ayat : اللَّهُ
يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ/ Allah akan
(membalas) olok-olokan mereka. (QS. Al-Baqarah:15.
Kedua ayat ini diturunkan dalam
konteks kontra aksi atas apa yang ingin mereka lakukan. Tetapi perbuatan ini
hanya dilakukan Allah swt terhadap orang-orang kafir dan semacamnya. Hanya
dalam ikatan konteks ini Allah swt bersifat dengan sifat ini. Sebab makna
kesempurnaan memang hanya terdapat dalam ikatan kontekstual.
Sifat perbuatan ini juga
bersifat satuan-satuan. Maksudnya Allah swt melakukannya satu persatu berdasarkan
kehendak-Nya.
Shifaat Salbiyyah/Sifat-sifat Negatif seperti
penafian sifat ngantuk dan tidur, bertujuan menetapkan kontra
sifat-sifat itu yang membuktikan kesempurnaan Allah swt. Yaitu kesempurnaan
hidup dan kesinambungan-Nya dalam mengurus urusan makhluk-Nya, seperti tertera
dalam ayat : لا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلا نَوْمٌ/ tidak mengantuk dan tidak tidur. (QS. Al-Baqarah:255).
Begitu pula penafian adanya sekutu yang setara dengan Allah
swt tujuanya sama. Yaitu menetapkan kontranya yang membuktikan kesempurnaan
Allah. Yaitu kesaan Allah swt, seperti yang tertera dalam firman-nya : وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ/ dan tidak ada seorang pun
yang setara dengan Dia". (QS. Al-Ikhlash:4)
Kewajiban kita terhadap kedua
jenis sifat itu adalah mengakui eksistensi sifat-sifat tersebut pada Allah SWT
dengan makna yang sesuai dengan kesempurnaan Allah, yaitu makna hakiki yang
tidak disertai dengan tasybih, ta'thil, ta'wil dan takyif. Hendaknya kita
mengatakan seperti yang dikatakan oleh Imam Syafe'i –Semoga Allah merahmatinya-
: "Aku beriman kepada Allah dan kepada apa yang datang dari Allah sesuai
dengan maksud Allah. Dan aku beriman kepada Rasulullah SAW dan kepada apa yang
dibawanya sesuai dengan maksud
Rasulullah SAW.
D. Nama-nama
Allah 'Azza wa Jalla
Asma-ullah
adalah nama-nama Allah yang diinformasikan oleh-Nya dalam kitab-Nya atau
oleh Rasululah saw dalam Sunnahnya. Setiap nama-nama itu menunjukkan satu atau
lebih sifat Allah. Setiap nama itu juga merupakan musytaqq (derivasi/turunan)
dari mashdarnya, misalnya al-'alim adalah derivasi dari al-'ilm.
Ia menunjukkan pada sifat ilmu Allah. Hal yang sama juga berlaku pada nama-nama lainnya.
Tidak ada kontradiksi antara
nama-nama itu sebagai sifat dan sebagai nama. Misalnya, Ar-Rahman adalah
nama sekaligus sifat Allah swt. Yang perlu dicatat, setiap nama Allah
menunjukkan maknanya dan semuanya merupakan sifat-sifat terpuji. Dan disebut al-husna
karena nama-nama itu menunjukkan nama yang paling baik dan makna yang paling
mulia.
Mentauhidkan (mengesakan) Allah
dalam hal nama-nama-Nya menuntut kita mengimani semua nama yang
disandang-Nya pada diri-Nya dengan
segala makna dan pengaruh yang berkaitan dengan nama itu. Misalnya, dalam
Al-Qur'an disebutkan nama Allah 'Ar-Rahim', maka kita mengimani bahwa itu
adalah nama Allah, mengimani bahwa Allah mempunyai kasih sayang dan Dia
mengasihi orang yang dikehendaki-Nya. Demikian pula dengan semua nama lainnya
yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasul-Nya.
Apakah nama-nama Allah hanya
berjumlah sembialan puluh sembilan?. Memang dalam sebuah hadits yang
diriwayatkam Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda :
إِنَّ لِلَّهِ
تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا ، مِائَةً
إِلَّا وَاحِدًا ، مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ ، إِنَّهُ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ
" Sesungguhnya Allah mempunyai
sembilan puluh sembilan nama , yakni seratus kurang satu. Barangsiapa
menghitungnya maka dia masuk surga. Sesungguhnya Allah itu witir dan mencintai
yang witir " (HR.Bukhari dan Muslim).
Namun para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan
sabda Rasulullah saw 'sembialn puluh sembilan nama' tidaklah terbatas pada
jumlah tersebut, melainkan sekedar menjelaskan
bahwa Allah mempunyai sembilan puluh sembilan nama, dan barangsiapa menghitungnya, maka dia akan masuk
surga. Hadits itu tidak menafikan adanya
nama-nama lain bagi Allah. Sedangkan
pengertian 'barangsiapa menghitungnya, dia akan masuk surga' adalah barangsiapa
menghafalnya sembari merenungkan dan mengambil 'ibrah dari maknanya,
melaksanakan segala tuntutannya, dan mensucikan Pemiliknya, maka ia akan masuk
surga.
(والله أعلم بالصواب)
Apa hukum mengimani sebagian sifat allah swt
BalasHapusApa hukum mengimani sebagian sifat allah swt
BalasHapus