DALIL-DALIL SYARA’
YANG TIDAK DISEPAKATI
I. AL-ISTIHSAN
A. Definisi Al-Istihsan
Menurut bahasa al-istihsan
berarti : mengganggap sesuatu itu baik.
Sedangkan menurut istilah al-istihsan adalah :
هو عدول المجتهد عن مقتضى قياس جلي إلى مقتضى قياس خفي، أو عن حكم كلي
إلى حكم استثنائي لدليل انقدح في عقله رجَّح لديه هذا العدول.
Berpalingnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jaliy (qiyas
yang nyata) kepada tuntutan qiyas khafiy (qiyas yang samar), atau dari
hukum kulliy (umum) kepada hukum istitsna’iy (pengecualian)
karena ada dalil yang menurut akalnya dapat menguatkan perpalingan ini.
Penjelasan :
Apabila terjadi suatu kejadian dan tidak ada nash mengenai
hukumnya. Untuk menganalisanya terdapat dua aspek yang berbeda. Pertama, aspek yang
nyata yang menuntut suatu hukum tertentu. Kedua, aspek yang tersembunyi yang
menuntut hukum lain. Selanjutnya pada diri mujtahid terdapat dalil yang
menguatkan aspek analisis yang tersembunyi, lalu ia berpaling dari aspek
analisis yang nyata. Inilah yang dinamakan al-istihsan menurut syara’.
Demikain pula apabila ada hukum yang bersifat kulliy (umum), namun
pada diri mujtahid ada dalil yang menuntut pengecualian kasusistis dari hukum yang
bersifat kulliy tersebut dan menuntut hukum lainnya, maka ini juga menurut
syara’ disebut dengan al-istihsan.
B. Jenis-Jenis Al-Istihsan
Dari definisi di atas, al-istihsan dibagi menjadi dua jenis :
- Menguatkan qiyas khafiy atas qiyas jaliy karena ada dalil.
- Pengecualian kasuistis (juz’iyyah) dari suatu hukum kulliy karena ada dalil.
Contoh jenis pertama :
Fuqaha Hanafiyah menyebuntukan bahwasanya seorang pewakaf apabila
mewakafkan sebidang tanah pertanian, maka masuk pula secara otomatis hak
pengairan (irigasi), hak air minum, hak lewat ke dalam tanah wakaf, tanpa harus
menyebuntukannya, berdasarkan al-istihsan. Menurut qiyas, semuanya itu tidak
termasuk kecuali secara tekstual semuanya itu disebuntukan sebagaimana dalam
jual beli.
Sisi al-istihsannya ialah : tujuan wakaf adalah pemanfaatan sesuatu
yang diwakafkan kepada mereka. Sedangkan pemanfaatan tanah pertanian tidak akan
terwujud kecuali dengan meminum airnya, saluran
airnya, dan jalannya. Oleh karena itu, semuanya itu juga termasuk dalam
wakaf meskipun tanpa menyebuntukannya, sebab tujuan tersebut. tidak akan
terealisir kecuali dengan semuanya itu seperti dalam sewa menyewa.
Qiyas yang nyata (qiyas jaliy) adalah mempersamakan wakaf ini dengan
jual beli karena sama-sama mengeluarkan milik dari pemiliknya. Sedangkan qiyas yang
tersembunyi (qiyas khafiy) adalah
mempersamakan wakaf ini dengan sewa-menyewa karena sama-sama dimaksudkan untuk
dimanfaatkan.
Contoh lain : Fuqoha hanafiyah menyebuntukan bahwa sisa minuman
burung yang buas seperti burung gagak, burung elang, burung rajawali adalah
suci berdasarkan istihsan, dan najis berdasarkan qiyas.
Sisi qiyasnya adalah sisa minuman burung-burung tersebut disamakan dengan
sisa minuman binatang buas seperti harimau, singa, srigala dan sebagainya, di
mana daging binatang buas tersebut haram dimakan. Sedangkan binatang yang dagingnya haram dimakan, maka sisa
minumannya juga haram diminum. Jadi berdasarkan qiyas sisa minuman burung yang
buas itu najis.
Sisi istihsannya ialah : meskipun
daging burung yang buas haram dimakan, namun air liurnya yang keluar
dari dagingnya tidak bercampur dengan sisa minumannya, sebab ia minum dengan
paruhnya, sedangkan paruh merupakan tulang yang suci. Adapun binatang buas, ia
minum dengan lidahnya yang bercampur dengan air liurnya. Oleh karena itu, sisa
minumannya najis.
Contoh jenis kedua :
Allah melarang jual beli benda yang tidak ada dan mengadakan akad terhadap
sesuatu yang tidak ada. Namun Dia memberikan kemurahan secara istihsan pada
salam (jual beli dengan pemesanan), sewa menyewa, muzara’ah (akad bagi hasil
penggarapan tanah), musaqah (akad bagi hasil penyiraman tanah/kebun), dan
istishna’ (akad jasa pengerjaan sesuatu). Semuanya itu adalah akad, sedangkan
sesuatu yang diakadkan itu tidak ada pada waktu akad berlangsung. Sisi
istihsannya adalah kebutuhan dan kebiasaan manusia.
Contoh lain : Fuqaha menyebuntukan bahwa orang yang diberi amanat
tidaklah mengganti rugi kecuali disebabkan penganiayaan atau kelalaian dlm;
memelihara. Berdasarkan istihasan dikecualikan orang yang menyewa dengan persekutuan. Orang yang
diberi amanat itu mengganti rugi, kecuali apabila rusaknya disebabkan sesuatu
kekuatan yang memaksa. Sisi istihsannya adalah jaminan penyewa.
C. Kehujjahan Al-Istihsan
Dari definisi istihsan dan penjelasan terhadap kedua macamnya
jelaslah bahwa pada hakekatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri
sendiri, karena hukum istihsan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya
berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan qiyas yang nyata, disebabkan
adanya beberapa faktor yang memenangkannya yang membuat tenang si mujtahid.
Itulah segi istihsan. Sedangkan bentuk yang kedua dari istihsan ialah bahwa
dalilnya adalah maslahat, yang menuntut pengecualian kasuistis dari hukum
kulliy (umum), dan ini juga yang disebut dengan segi istihsan.
Kebanyakan Ulama Hanafiyah yang mempergunakan istihsan sebagai
hujjah berdalil tentang kehujjahannya bahwa beristidlal dengan istihsan
merupakan istidlal dengan dasar qiyas yang nyata, atau ia merupakan pentarjihan
suatu qiyas atas qiyas yang kontradiksi dengannya, disebabkan adanya dalil yang
menuntut pentarjihan ini, atau ia merupakan istidlal dengan kemaslahatan umum
(mashlahah mursalah) berdasarkan pengecualian kasuistis dari hukum yang kulliy.
Semuanya ini merupakan istidlal yang shahih.
Sedangkan kelompok mujtahid yang mengingkari terhadap istihsan sebagai
hujjah , mereka menganggapnya sebagai beristinbath terhadap hukum syara’
berdasarkan hawa nafsu dan seenaknya sendiri. Tokoh utama kelompok ini adalah
Imam Syafi’i. Menurut sebuah riwayat beliau berkata : (من استحسن فقد شرع /”Barangsiapa yang
beristihsan, maka ia telah membuat syari’at). Maksudnya ia telah memulai hukum
syara’ dari dirinya sendiri. Dalam kitab Risalah Ushuliyahnya beliau mengatakan
: (الاستحسان تلذذ /Istihsan adalah mencari enak)
D. Syubuhat Orang Yang Tidak Mempergunakannya Sebagai Hujjah
Kelompok yang mengingkari
istihsan sebagai hujjah mengangga
bahwa beristinbath hukum syara’ dengan
istihsan adalah istinbath berdasarkan hawa nafsu dan seenaknya sendiri.
Anggapan ini tidak tepat. sebab sesungguhnya istihsan setelah
diteliti adalah perpindahan dari dalil yang zhahir atau dari hukum yang kulliy
karena ada dalil yang menuntut perpindahan ini. Jadi ia bukan semata-mata
pembentukan syari’at berdasarkan hawa nafsu.
Setiap hakim terkadang muncul pada akalnya suatu kemaslahatan yang
hakiki dlm berbagai kasus, yang menuntut perpindahan hukum pada kasus-kasus tersebut
dari apa yang dituntut oleh zhahir undang-undang. Hal ini tidak lain adalah
bentuk dari istihsan.
Oleh karena itu, Imam asy-Syathibi mengatakan dlm kitab
al-Muwafaqat : “Barangsiapa yang mempergunakan dalil istihsan, ia tidaklah
kembali kepada semata-mata perasaan dan kemauannya saja. Akan tetapi ia kembali
kepada apa yang ia telah ketahui dari
tujuan Syari’ secara keseluruhan pada berbagai contoh yang diajukan, seperti
beberapa masalah yang menuntut qiyas, hanya saja hal itu akan membawa kepada hilangnya
kemaslahatan dari satu segi, atau dari segi lainnya ia bisa mendatangkan
kerusakan.
II. AL-MASHLAHAH AL-MURSALAH
A. Definisi Al-Mashlahah Al-Mursalah
Al-Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang mutlak, menurut
istilah Para Ahli Ushul Fiqh :
المصلحة
التي لم يشرع الشارع حكما لتحقيقها، ولم يدل دليل شرعي على اعتبارها أو إلغائها.
Ialah kemaslahatan yang Syari’ tidak mensyari’atkan suatu hukum
untuk merealisasikannya, dan tidak ada dalil yang menunjukkan pengakuan atau
pembatalannya.
Kemaslahatan ini disebut mutlak karena tidak terikat oleh dalil yang
mengakuinya atau dalil yang membatalkannya. Contohnya, karena kemaslahatan,
para sahabat menetapkan pengadaan penjara, pencetakan mata uang, penetapan
tanah pertanian yang ditaklukkan di tangan penduduknya dan memungut pajak atas
tanah itu, atau kemaslahatan lainnya yang dituntut oleh keadaan darurat,
kebutuhan, atau kebaikan, sedangklan tidak ada hukum yang disyari’atkan
untuknya, dan tidak ada bukti syara’ yang mengakui atau membatalkannya.
Penjelasan :
Maksud pembentukan hukum adalah mewujudkan kemaslahatan orang
banyak, yakni mendatangkan manfaat, menolak madarat, atau menghilangkan
keberatan dari mereka. Kemaslahatan manusia itu bagian-bagiannya tidak
terbatas, satuan-satuannya tidak pernah habis,
selalu muncul yang baru sesuai dengan kondisi manusia yang selalu
baru, senantiasa berkembang akibat
perbedaan lingkungan. Pensyari’atan suatu hukum terkadang mendatangkan
manfaat pada suatu masa dan pada masa yang
lain mendatangkan mudharat. Terkadang juga pada waktu bersamaan mendatangkan
manfaat pada suatu lingkungan tertentu, dan menimbulkan mudharat di lingkungan yang
lain.
Kemaslahatan yang untuk mewujudkannya Syari’ mensyari’atkan suatu
hukum; dan untuk mengakuinya, menunjukkan beberapa illat terhadap yang
disyari’atkannya, kemaslahatan tersebut menurut istilah para ahli ushul fiqh
disebut dengan al-mashlahah al-mu’tabarah dari Syari’. Contoh: untuk menjaga
kehidupan manusia, Allah mensyari’atkan qishash bagi pelaku pembunuhan yang
disengaja. Untuk menjaga harta manusia, Allah mensyari’atkan hukuman bagi
pencuri. Untuk menjaga kehormatan manusia, Allah mensyari’atkan hukuman bagi
orang yang menuduh berzina, dan orang yang berzina.
Masing-masing dari pembunuhan dengan sengaja, pencurian, tuduhan
zina, dan zina merupakan sifat yang munasib (sesuai). Maksudnya adalah
pembentukan yang didasarklan atasnya dapat mewujudkan kemaslahatan. Sifat itu
diakui oleh Syari’, karena Syari’ membangun hukum berdasarkan atasnya. Sifat
munasib yang diakui oleh Syari’ ini
adakalanya munasib muatstsir atau munasib mulaim, sesuai dengan
pengakuan Syari’ padanya. Pembentukan hukum yang didasarkan atas sifat
tersebut tidak ada perbedaan pendapat
lagi.
Kemaslahatan yang dikehendaki oleh lingkungan dan
kenyataan-kenyataan baru yang datang setelah wahyu terputus, sementara Syari’ tidak
menentukan hukum untuk mewujudklannya, dan tidak ada dalil yang mengakui atau
membatalkannya, itulah yang disebut dengan munasib mursal, atau dengan
kata lain disebut dengan al-mashlahah al-mursalah. Misalnya, kemaslahatan
menuntut bahwa perkawinan yang tidak diperkuat dengan akte resmi, maka
pengakuan terhadap perkawianan itu tidak didengar ketika terjadi pengingkaran.
Contoh lain, kemaslahatan yang menghendaki bahwa akad jual beli yang tidak
dicatat tidak dapat memindahkan hak milik. Kesemuanya ini merupakan
kemaslahatan yang hukumnya tidak disyari’atkan oleh Syari’, dan tidakl ada
dalil dari Syari’ yang mengakui atau membatalkannya. Inilah maslahah mursalah
B. Dalil Orang Yang Menjadikan Al-Mashlahah Al-Mursalah Sebagai
Hujjah
Jumhur ulama berpendapat bahwa maslahah mursalah adalah hujjah
syar’iyyah yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwa kejadian yang tidak
ada hukumnya dlm nash, ijma’, qiyas, atau istihsan, padanya disyari’atkan hukum
yang dikehendaki oleh kemaslahatan umum. Pembentukan hukum atas dasar
kemaslahatan tersebut tidak terbentur pada adanya bukti pengakuan dari syara’.
Dalil mereka atas kehujjahan maslahah mursalah ini ada dua hal.
Dalil mereka yang pertama adalah
bahwa kemaslahatan manusia selalu baru dan tidak ada habis-habisnya. Seandainya
hukum tidak disyari’atkan untuk mengantisipasi kemaslahatan manusia yang terus
bermunculan dan tuntutan perkembangan mereka, serta pembentukan hukum hanya
terbatas pada berbagai kemaslahatan yang diakui Syari’ saja, niscaya akan
banyak kemaslahatan manusia yang tertinggal di berbagai tempat dan zaman.
Pembentukan hukum tidak dapat mengikuti roda perkembangan manusia dan
kemaslahatan mereka. Hal ini tidak sesuai dengan apa yang dimaksud dlm
pembentukan hukum sebagai upaya mewujudkan kemaslahatan umat manusia.
Dalil mereka yang kedua adalah
bahwa orang yang meneliti pembentukan hukum oleh para sahabat, tabi’in, dan
para imam mujtahid, jelas bahwa mereka telah menentukan berbagai hukum untuk
merealisir kemaslahatan umum ini, bukan karena adanya dalil yang mengakuinya.
–
Abu
Bakar : mengumpulkan mushaf, memerangi pembangkang zakat,
–
Umar
: melaksanakan penjatuhan talak 3 dlm satu kalimat, menetapkan pajak,
membukukan administrasi, mengadakan penjara, dan sebagainya.
–
Usman
: menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf, memberikan bagian warisan kepada
seorang isteri yang ditalak suaminya karena maksud menghindari diri dari
pembagian waris kepadanya.
–
Ali
: membakar orang-orang Syi’ah Rafidhah yang ekstrim.
–
Ulama
Hanafiyah : melarang mufti yang suka bersenda gurau, dokter yang bodoh, orang
kaya yang bangkrut.
–
Ulama
Malikiyah : membolehkan penahanan dan penta’ziran orang yang dicurigai bersalah
untuk memperoleh pengakuan darinya.
–
Ulama
Syafi’iyah : mewajibkan qishash terhadap sekelompok orang yang membunuh satu
orang.
C. Syarat-Syarat Berhujjah Dengan
Al-Mashlahah Al-Mursalah
- Kemaslahatan itu merupakan kemaslahatan yang hakiki, dan bukan suatu kemaslahatan yang bersifat dugaan saja. Maksud syarat ini adalah bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus dapat mendatangkan manfaat dan menolak bahaya. Adapun sekedar dugaan bahwa pembentukan hukum itu dapat mendatangkan manfaat, tanpa mempertimbangkannya dengan bahaya yang datang, ini adalah kemaslahatan yang bersifat dugaan. Contoh kemaslahatan yang berdasarkan dugaan adalah pencabutan hak suami untuk mentalak isterinya dan meletakkan hak itu pada hakim saja dlm segala situasi dan kondisi.
- Ia merupakan kemaslahatn umum, bukan kemaslahatan pribadi. Maksud syarat ini adalah untuk membuktikan bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus adalah untuk mendatangkan manfaat bagi mayoritas umat manusia, atau menolak bahaya dari mereka, bukan untuk kemaslahatan pribadi atau sejumlah individu yang minoritas.
- Pembentukan hukum berdasarkan kemaslahatan ini tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan berdasarkan nash atau ijma’. Oleh karena itu, tidak sah mengakui kemaslahatan yang menuntut persamaan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam pembagian warisan, karena kemaslahatan ini dibatalkan disebabkan bertentangan dengan nash al-Qur’an.
D. Syubhat (Kesalah-Pahaman) Orang Yang Tidak Menjadikan
Al-Mashlahah Al-Mursalah Sebagai Hujjah
Sebagian Ulama berpendapat bahwa yang tidak ada bukti syara’ yang
mengakui atau membatalkannya tidak bisa dijadikan dasar pembentukan hukum.
Dalil mereka ada dua hal, yaitu :
Pertama : Syari’at
memperhatikan kemaslahatan manusia dengan nash-nashnya dan dengan petunjuknya
berupa qiyas. Syari’ tidaklah membiarkan umat manusia dengan sia-sia, dan tidak
pula membiarkan kemaslahatan apapun tanpa ada penunjukan kepada
pentasyri’annya. Tidak ada suatu kemaslahatan tanpa ada bukti dari Syari’ yang
mengakuinya. Kemaslahatan yang tidak ada bukti dari Syari’ yang mengakuinya,
pada hakikatnya bukan kemaslahatan. Ia tidak lain merupakan mashlahah wahmiyah
(kemaslahatan yang bersifat dugaan saja) dan tidak boleh mendasarkan
pembentukan hukum atas kemaslahatan itu.
Kedua, pembentukan
hukum atas dasar kemutlakan kemaslahatan berarti membuka pintu bagi orang-orang
yang mengikuti hawa nafsu, baik dari kalangan penguasa, pemerintah, maupun para
mufti. Sebagian mereka kadangkala terkalahkan oleh hawa nafsu dan keinginannya,
sehingga mereka membayangkan berbagai mafsadah (kerusakan) sebagai
kemaslahatan. Sedangkan kemaslahatan merupakan perkiraan yang bisa berbeda
akibat perbedaan pendapat dan lingkungan. Oleh karena itu, membuka pintu
pembentukan hukum berdasarkan mutlaknya kemaslahatan membukan pintu kejahatan.
Menurut Abdull wahab Khallaf : Pendapat yang kuat adalah maslahah mursalah bisa dijadikan dasar
pembentukan hukum, sebab jika tidak, akan terjadi stagnasi pembentukan hukum
Islam.
Beliau memberikan bantahan kepada orang yang mengatakan :” setiap
bagian kemaslahatan manusia pada masa manapun dan lingkungan apapun telah
diperhatikan Syari’, dan melalui
nash-nash dan berbagai prinsip umum, Dia telah mensyari’atkan hukum yang
menjadi bukti dan sesuai dengan kemaslahatan itu”, bahwa perkataannya itu tidak
didukung oleh fakta; sebab tidak diragukan lagi bahwa sebagian kemaslahatan yang
baru terjadi tidak nampak bukti syara’ yang
mengakuinya.
Beliau juga memberikan bantahan terhadap kekhawatiran terjadinya
kesia-siaan dan kezaliman serta mengikuti hawa nafsu dengan mengatasnamakan
kemaslahatan, bahwa kekhawitiran ini bisa ditolak., sebab kemaslahatan umum tidak
bisa dijadikan dasar pembentukan hukum kecuali apabila kemaslahatan itu memenuhi
tiga kriteria yang telah dijelaskan, yaitu kemaslahatan yang hakiki, bersifat
umum dan tidak bertentangan dengan nash dan prinsip syar’i.
Dalam hal ini Ibnu al-Qayyim berkata : “Di antara kaum Muslimin ada
sekelompok orang yang berlebih-lebihan dlm memelihara maslahah mursalah,
sehingga mereka menjadikan syari’at serba terbatas, tidak mampu melaksanakan
kemaslahatan manusia yang membutuhkan yang lain, mereka telah menutup dirinya untuk
menempuh berbagai jalan yang benar, yaitu jalan kebenaran dan keadilan. Dan di
antara mereka ada pula orang-orang yang melampaui batas., sehingga mereka
membolehkan sesuatu yang bertentangan dengan syari’at Allah dan memunculkan kejahatan yang panjang
dan kerusakan yang luas”.,
III. ‘URF
A. Pengertian
'Urf
ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan
di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama
ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian
istilah tidak ada perbedaan antara 'urf dengan adat (adat kebiasaan), namun
dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian 'urf lebih umum dibanding
dengan pengertian adat, karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat,
juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan
hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.
Seperti dalam salam (jual beli dengan pesanan)
yang tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat jual beli ialah pada saat
jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang yang dibeli dan
pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada salam barang
yang akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual beli dilakukan,
baru ada dalam bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan
dalam masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka salam itu
dibolehkan.
Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada
persamaan antara ijma' dengan 'urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara
kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma' ada
suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para
mujtahid membahas dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata pendapatnya sama.
Sedang pada 'urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian
seseorang atau beberapa anggota masyarakat sependapat dan melaksanakannya. Hal
ini dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka
mengerjakan pula. Lama-kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga
merupakan hukum tidak tertulis yang telah berlaku diantara mereka. Pada ijma'
masyarakat melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid telah
menyepakatinya, sedang pada 'urf, masyarakat mengerjakannya karena mereka telah
biasa mengerjakannya dan memandangnya baik.
B. Klasifikasi
Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan ruang lingkupnya, yaitu:
- ‘Urf ‘am (umum). Yaitu ‘urf yang berlaku di seluruh negeri muslim, sejak zaman dahulu sampai saat ini. Para ulama sepakat bawa ‘urf umum ini bisa dijadikan sandaran hukum.
- ‘Urf khosh (khusus). Yaitu sebuah ‘urf yang hanya berlaku di sebuah daerah dan tidak berlaku pada daerah lainnya. ‘Urf ini diperselisihkan oleh para ulama apakah boleh dijadikan sandaran hukum ataukah tidak.
Contoh: Di sebuah
daerah tertentu, ada seseorang menyuruh seorang makelar untuk menawarkan
tanahnya pada pembeli, dan ‘urf yang berlaku di daerah tersebut bahwa
nanti kalau tanah laku terjual, makelar tersebut mendapatkan 2% dari harga
tanah yang ditanggung bendua antara penjual dengan pembeli; maka inilah yang
berlaku, tidak boleh bagi penjual maupun pembeli menolaknya kecuali kalau ada
perjanjian sebelumnya.
Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan objeknya, yaitu:
- ‘Urf Lafzhy (ucapan). Yaitu sebuah kata yang dalam masyarakat tententu dipahami bersama dengan makna tertentu, bukan makna lainnya. ‘Urf ini kalau berlaku umum di seluruh negeni muslim ataupun beberapa daerah saja maka bisa dijadikan sandaran hukum.
Misalnya:
a.
Ada seseorang berkata: “Demi Alloh, saya hari ini tidak akan makan daging.”
Ternyata kemudian dia maka ikan, maka orang tersebut tidak dianggap melanggar
sumpah, karena kata ”daging” dalam kebiasaan masyarakat kita tidak
dimaksudkan kecuali untuk daging binatang darat seperti kambing, sapi, dan
lainnya.
b.
Ada seorang penjual berkata: “Saya jual kitab ini seharga lima puluh ribu.”
Maka yang dimaksud adalah lima puluh ribu rupiah, bukan dolar ataupun riyal.
2.
‘Urf Amali (perbuatan). Yaitu Sebuah penbuatan yang sudah menjadi ‘urf dan
kebiasaan masyanakat tertentu. Ini juga bisa dijadikan
sandaran hukum meskipun tidak sekuat ‘urf lafzhy.
Misalnya:
a. Dalam
masyarakat tertentu ada ’urf orang bekerja dalam sepekan mendapat libur
satu hari, pada hari Jum’at. Lalu kalau seorang yang melamar pekerjaan menjadi
tukang jaga toko dan kesepakatan dibayar setiap bulan sebesar Rp.500.000, maka
pekerja tersebut berhak berlibur setiap hari Jum’at dan tetap mendapatkan gaji
tersebut.
Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan diterima atau tidaknya,
yaitu:
- ‘Urf shahih ialah ‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara’.
Misalnya:
Seperti mengadakan
pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah, dipandang baik, telah menjadi
kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara’.
2. 'Urf bathil ialah ‘urf yang tidak baik dan tidak dapat
diterima, karena bertentangan dengan syara’.
Misalnya:
Seperti kebiasaan
mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang
keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid
yang diajarkan agama Islam.
C. Syarat-Syarat ‘Urf
Tidak semua ‘urf bisa dijadikan sandaran hukum. Akan tetapi, harus
memenuhi beberapa syarat, yaitu:
- ’Urf itu berlaku umum. Artinya, ‘urf itu dipahami oleh semua lapisan masyarakat, baik di semua daerah maupun pada daerah tertentu. Oleh karena itu, kalau hanya merupakan ‘urf orang-orang tententu saja, tidak bisa dijadikan sebagai sebuah sandaran hukum.
- Tidak bertentangan dengan nash syar’i. Yaitu ‘Urf yang selaras dengan nash syar’i. ‘Urf ini harus dikerjakan, namun bukan karena dia itu ’urf, akan tetapi karena dalil tersebut.
Misalnya:
‘Urf di masyarakat bahwa seorang suami harus memberikan tempat tinggal untuk
istrinya. ‘Urf semacam ini berlaku dan harus dikerjakan, karena Allah
SWT berfirman:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا
تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ
فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ
فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ
تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati)
mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil,
Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika
mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya,
dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (QS. athTholaq [65]:6).
3.
‘Urf itu sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah ‘urf baru yang barusan
terjadi.
Misalnya:
Maknanya kalau ada
seseorang yang mengatakan demi Allah, saya tidak akan makan daging selamanya. Dan saat dia mengucapkan kata tersebut yang dimaksud dengan daging adalah
daging kambing dan sapi; lalu lima tahun kemudian ‘urf masyarakat
berubah bahwa maksud daging adalah semua daging termasuk daging ikan. Lalu
orang tersebut makan daging ikan, maka orang tersebut tidak dihukumi melanggar
sumpahnya karena sebuah lafadh tidak didasarkan pada ‘urf yang muncul
belakangan.
4.
Tidak berbenturan dengan tashrih.
Jika sebuah ‘urf berbenturan dengan tashrih (ketegasan seseorang dalam
sebuah masalah), maka ‘urf itu tidak berlaku.
Misalnya:
Kalau seseorang bekerja di
sebuah kantor dengan gaji bulanan Rp. 500.000,- tapi pemilik kantor tersebut
mengatakan bahwa gaji ini kalau masuk setiap hari termasuk hari Ahad dan hari
libur, maka wajib bagi pekerja tersebut untuk masuk Setiap hari maskipun ‘urf
masyarakat memberlakukan hari Ahad libur.
5.
‘Urf tidak berlaku atas sesuatu yang telah disepakati
Hal ini sangatlah penting
karena bila ada ’urf yang bertentangan dengan apa yang telah disepakati
oleh para ulama (dalam hal ini ’Ijma) maka ’urf menjadi tidak
berlaku, terlebih bila ’urf nya bertentangan dengan dalil syar’i.
D. Dasar hukum 'urf
Para ulama sepakat bahwa 'urf shahih dapat
dijadikan dasar hujjah selama tidak bertentangan dengan syara'. Ulama Malikiyah
terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan
hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah
dapat dijadikan dasar hujjah. Imam Syafi'i terkenal dengan qaul qadim dan qaul
jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada
waktu beliau masih berada di Mekkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada
di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah
dengan 'urf. Tentu saja 'urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.
IV. ISTISHHAB (الاستصحاب)
A.
Pengertian Istishhab
Kata al-istishhab (الاستصحاب)
secara etimologi berarti (اعتبار
المصاحبة) :
memandang keikutsertaan secara terus-menerus.
Sedangkan menurut terminologi, istishhab ialah
:
الحكم على الشيء بالحال التي كان عليها من قبل، حتى يقوم
دليل على تغير تلك الحال.
Menetapkan hukum berdasarkan keadaannya
sebelumnya, sehingga ada dalil yang menunjukkan perubahan keadaan tersebut.
Atau :
جعل الحكم الذي كان ثابتا في الماضي باقيا في الحال حتى
يقوم دليل على تغيره.
Menjadikan
hukum yang telah ada pada masa yang lalu masih tetap pada keadaannya.
Contoh : Seseorang yang diketahui masih hidup pada
masa tertentu, tetap dianggap hidup pada masa sesudahnya selama belum terbukti
bahwa ia telah wafat. Begitupula seseorang yang telah berwudhu’, jika ia ragu,
dianggap tetap wudhu’nya selama belum terjadi hal yang membuktikan batal
wudhu’nya.
B.
Macam-macam ISTISHHAB
1.
Istishhab al-ibahah al-ashliyah, didasarkan atas hukum asal dari sesuatu yaitu
mubah. Jenis ini banyak berperan dalam menetapkan hukum di bidang muamalah,
bahwa hukum dasar dari sesuatu yang bermanfaat boleh dilakukan selama tidak ada
dalil yang melarangnya.
2.
Istishhab al-baraah al-ashliyah, yaitu istishhab yang didasarkan atas prinsip
bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai ada
dalil yang mengubah statusnya itu, dan bebas dari utang atau kesalahan sampai
ada bukti yang mengubah statusnya. Misal: seseorang yang menuntut haknya
dirampas orang lain, ia harus mampu membuktikannya, karena pihak tertuduh pada
dasarnya bebas dari segala tuntutan, kecuali ada bukti yang jelas.
3.
Istishhab al-hukm, didasarkan atas tetapnya status hukum yang
sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya. Misal: pemilik asal rumah
& tanah tetap dianggap sah selama tidak ada peristiwa jual beli / hibah yang
mengubah status hukum kepemilikan.
4.
Istishhab al-washf, istishhab yang didasarkan atas anggapan masih
tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya.
Misal: air yang diketahui bersih, tetap dianggap bersih selama tidak ada bukti
yang mengubah statusnya itu.
C.
Hukum Istishhab
Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa tiga macam
istishhab (point pertama hingga ketiga) adalah sah dijadikan landasan hukum.
Mereka berbeda pendapat pada jenis istishhab al-washf
:
Kalangan Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat
bahwa istishhab al-washf dapat dijadikan landasan hukum secara penuh, baik
dalam menimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankan haknya yang sudah
ada. Misalnya, seseorang yang hilang tidak ketahuan rimbanya, tetap dianggap
hidup sampai ada bukti bahwa ia telah wafat. Jadi harta dan istrinya masih
dianggap kepunyaannya, dan jika ahli warisnya wafat, dia turut mewarisi harta
peninggalan dan kadar pembagiannya langsung dinyatakan sebagai hak miliknya.
Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat
bahwa istishhab al-washf hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudah
ada, bukan untuk menimbulkan hak yang baru. Dalam contoh orang hilang tersebut
meskipun harta dan istrinya masih dianggap sebagai kepunyaannya, tapi jika ada
hali waris yang wafat maka khusus kadar bagiannya disimpan dan belum dapat
dinyatakan sebagai haknya sampai terbukti ia hidup.
V. SYAR’U MAN
QABLANA
A. Pengertian Syar'u Man Qablana
Yaitu syari’at atau ajaran nabi-bani sebelum
Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syari’at nabi Ibrahim, Nabi Musa,
Nabi Isa. Apakah syariat-syariat yang diturunkan kepada mereka itu berlaku pula
bagi umat Nabi Muhammad Saw.
B. Hukum Syar'u Man Qablana
Para ulama ushul Fiqh sepakat bahwa syariat
para Nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam Quran dan Sunnah Rasul Saw,
tidak berlaku lagi bagi umat Islam. Karena kedatangan syariat Islam telah
mengakhiri berlakunya syariat terdahulu.
Para ulama juga sepakat bahwa syariat sebelum
Islam yang dicantumkan dalam al-Qur’an adalah berlaku bagi umat jika ada
ketegasan bahwa syariat itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad Saw. Contoh:
Syariat puasa, QS. Al-Baqarah: 183
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah : 183)
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum-hukum
syariat nabi terdahulu yang tercantum dalam al-Quran, tetapi tidak ada
ketegasan bahwa hukum-hukum itu masih berlaku bagi umat Islam dan tidak ada
pula penjelasan yang membatalkannya. Misal : hukuman qishahs dalam syariat Nabi
Musa dalam QS. Al-Maidah: 45
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ
بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأنْفَ بِالأنْفِ وَالأذُنَ بِالأذُنِ
وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ
كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ
الظَّالِمُونَ
Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung,
telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya.
Barang siapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi)
penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang lalim. (QS. Al-Maidah
: 45)
Jumhur Ulama Hanafiyah, sebagian Ulama
Malikiyah dan Ulama Syafi’iyah berkata bahwa syari’at tersebut adalah syari’at
kita. Kita wajib mengikuti dan melaksanakanya selama ia telah dikisahkan kepada
kita dan di syari’at kita tidak ada yang menghapusnya. Karena hukum itu adalah
bagian dari hukum-hukum Ilahi yang telah disyari’atkan Allah kepada kita
melalui lisan para rasul-Nya. Oleh karena itu Ulama Hanafiyah berdalil dalam pembunuhan
seorang muslim oleh seorang kafir dzimmi dan pembunuhan seorang laki-laki oleh
seorang perempuan dengan kemutlakan firman Allah surat al-Maidah : 45 di
atas.
Sebagian ulama berkata bahwa syari’at itu tidak
menjadi syari’at bagi kita, karena syari’at kita menghapus syari’at-syari’at
yang telah lalu, kecuali jika syari’at kita menetapkannya.
Barangkali yang benar adalah pendapat yang
pertama, karena syari’at yang telah lalu yang dihapuskan syari’at kita hanyalah syari’at yang
bertentangan dengan syari’at kita saja. Juga karena disebuntukannya
syari’at yang telah lalu di dalam al-Qur’an tanpa ada nash yang menghapusnya,
berarti secara inflisit merupakan syari’at kita. Sebab syari’at itu merupakan
hukum ilahi yang disampaikan rasul
kepada kita dan tidak ada dalil yang menghapusnya, juga karena al-Qur’an
membenarkan kitab Taurat dan Injil sebelumnya. Selama hukum salah satunya tidak
dihapus, maka al-Qur’an mengakuinya.
VI. MADZHAB SAHABAT
A. Pengertian
Semasa RasululIah SAW masih hidup, semua masalah yang muncul atau timbul
dalam masyarakat langsung ditanyakan para sahabat kepada RasululIah SAW, dan
RasululIah SAW memberikan jawaban dan penyelesaiannya. Setelah RasululIah SAW
meninggal dunia, maka kelompok sahabat yang tergolong ahli dalam
mengistinbathkan hukum, telah berusaha sungguh-sungguh memecahkan persoalan
tersebut, sehingga kaum muslimin dapat beramal sesuai dengan fatwa-fatwa
sahabat itu. Kemudian fatwa-fatwa sahabat ini diiwayatkan oleh tabi'in, tabi'it
tabi'in dan orang-orang yang sesudahnya, seperti meriwayatkan hadits. Karena
itu timbul persoalan, apakah pendapat sahabat itu dapat dijadikan hujjah atau
tidak?
B. Hukum Madzhab Sahabat
Para ulama sepakat bahwa ada dua macam pendapat sahabat yang
dapat dijadikan hujjah, yaitu:
a.
Pendapat para sahabat yang diduga keras bahwa
pendapat tersebut sebenarnya berasal dari Rasulullah SAW, karena pikiran tidak
atau belum dapat menjangkaunya, seperti ucapan Aisyiah RA:
لا يمـكن
الحـمـل فى بـطـن أمـه أكـثـر مـن سـنـتـين قـدر مـا يتـحـول ظـل مـعـزل (رواه
الدار قـطـنى)
Artinya:
"Kandungan itu tidak akan
lebih dari dua tahun dalam perut ibunya, (yaitu tidak akan) lebih dari
sepanjang bayang-bayang benda yang ditancapkannya." (HR. Daraquthni)
b. Pendapat sahabat yang tidak ada sahabat lain yang menyalahkannya, seperti
pendapat tentang bahwa nenek mendapat seperenam (1/6) bagian waris, yang
dikemukakan oleh Abu Bakar, dan tidak ada sahabat yang tidak sependapat
dengannya.
Para ulama berbeda pendapat tentang perkataan sahabat yang merupakan pendapat dan
ijtihadnya yang tidak disetujui oleh sahabat yang lain :
a.
Abu Hanifah dan yang sependapat dengannya
berkata : “Apabila saya tidak mendapatkan dalam kitabullah dan sunnah
Rasul-Nya, maka saya mengambil perkataan sahabat yang saya kehendaki dan
meninggalkan perkataan sahabat yang saya kehendaki pula. Kemudian saya tidak
keluar dari perkataan mereka untuk mengambil perkataan yang lain”. Jadi Imam
Abu Hanifah tidak berpendapat bahwa
perkataan sahabt tertentu merupakan hujjah. Beliau dapat mengambil pendapat
sahabat yang beliau kehendaki. Akan tetapi beliau tidak punya alasan untuk
meninggalkan perkataan sahabat seluruhnya. Dalam satu peristiwa, beliau tidak
melakukan qiyas selama ada pendapat sahabat dalam peristiwa tersebut.
Barangkali cara pandang beliau adalah
bahwa perbedaan sahabat dalam satu peristiwa menjadi dua pendapat
merupakan ijma’ dari mereka, yang tidak ada pendapat ketiganya. Begitu juga
perbedaan pendapat mereka menjadi tiga pendapat adalah merupakan ijma’ dari
mereka, yang tidak ada pendapat keempatnya. Jadi keluar dari pendapat mereka
berarti keluar dariijma’ mereka.
b.
Lahir perkataan Imam Syafi’I adalah pendapat
mereka bukan merupakan hujjah, boleh saja berbeda dengan pendapat mereka semua.
Berijtihad dalam mengistinbath hukum adalah pendapat lain. Karena semua itu
merupakan kumpulan pendapat pribadi yang tidak maksum. Sebagaimana seorang
sahabat boleh berbeda dengan pendapat sahabat lain, maka mujtahidin sesudah sahabat juga boleh berbeda pendapat
dengan pendapat sahabat. Oleh karena itu Imam Syafi’i berkata : “Tidak boleh
menetapkan hukum atau berfatwa kecuali dari sisi khabar yang pasti, yaitu
al-Qur’an atau as-Sunnah, atau perkataan para ulama yang mereka tidak
berselisih, atau qiyas atas sebagian ini”.
(والله أعلم الصواب)