Berargumentasi Dengan Qadar
(Oleh :H. Asnin Syafiddin, Lc. MA)
Imam kepada qadar tidak berarti memberi alasan
untuk meninggalkan kewajiban atau untuk mengerjakan maksiat. Kalau itu dibuat
alasan, maka alasan itu jelas salah ditinjau dari beberapa segi :
1. Firman Allah SWT. :
سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا
وَلَا آبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ
تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ
Orang-orang
yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: "Jika Allah menghendaki,
niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula)
kami mengharamkan barang sesuatu apapun." demikian pulalah orang-orang
sebelum mereka Telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan
kami. Katakanlah: "Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga
dapat kamu mengemukakannya kepada kami?" kamu tidak mengikuti kecuali
persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta. (QS. Al-An’am/6 : 148).
Kalau alasan mereka dengan takdir itu dibenarkan, Allah
SWT tentu tidak akan menjatuhkan siksa-Nya.
2. Firman–Nya :
رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ
لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ
عَزِيزًا حَكِيمًا
“(Mereka yang kami utus) sebagai rasul-rasul pembawa kabar gembira
dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah
sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”. (QS. An-Nisa’/4 : 165)
Kalau takdir
dapat dibuat alasan bagi orang-orang yang salah, Allah SWT tidak
menafikkan dengan diutsnya para rasul, karena menyalahi sesuatu
setelah terutusnya para
rasul jatuh pada takdir Allah juga.
3.
Hadits
yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim,
dari Ali bin Abi Thalib bahwa Nabi saw. bersabda :
مَا
مِنْكُمْ مِنْ اَحَدٍ إِلاَّ قَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ أَوْ مِنَ
الْجَنَّةِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ ، اَلاَ نَتَّكِلُ يَارَسُوْلَ اللهِ
؟ قَالَ : لاَ اِعْمَلُوْا كُلٌّ
مُيَسَّرٌ، ثُمَّ قَرَأَ " فَاَمَّا مَنْ اَعْطَى وَاتَّقَى"
“ Dan kalau Kami menghendaki niscaya
Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk{bagi]nya, akan tetapi telah
tetaplah perkataan (ketetapan) dariku; sesungguhnya akan Aku penuhi neraka
Jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama “. “Setiap diri kalian telah
ditulis (ditetapkan) tempatnya di surga atau di neraka. Ada seorang dari sahabat bertanya, “Mengapa
kita tidak (pasrah) saja, Wahai Rasul Allah?” Beliau menjawab, “Tidak.
Berbuatlah karena masing-masing akan dimudahkan”. Lalu Beliau membacakan surat Al-Lail ayat 4-7:
اِنَّ
سَعْيَكُمْ لَشَتَّى ، فَاَمَّامَنْ اَعْطَى وَاتَّقَى ، وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى ،
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى.
Sesungguhnya usaha kamu memang
berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan
bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak
akan menyiapkan baginya jalan yang mudah”. (QS. Al-Lail : 4-7)
Jadi,
Nabi SAW memerintahkan untuk berbuat serta melarang menyerah pada takdir.
4. Allah SWT memerintahkan serta melarang sesuatu pada hamba-Nya, namun
tidak menuntutnya kecuali yang mampu dikerjakannya. Allah berfirman :
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut
kesanggupanmu…” (QS. At-Taghabun/64 : 16)
Baca juga : QS. Al-Baqarah/2 : 286.
Kalau manusia dipaksakan untuk berbuat sesuatu yang tidak mungkin
dikerjakannya, maka ini merupakan suatu kesalahan. Oleh karena itu, bila
maksiat dilakukan karena kebodohan atau karena lupa, atau karena dipaksa, maka
pelakunya tidak berdosa. Mereka dimaafkan Allah.
5. Takdir adalah rahasia yang tersembunyi, tidak dapat diketahui
sebelum terjadinya takdir serta kehendak seseorang untuk mengerjakannya
terlebih dahulu dari perbuatannya. Jadi, kehendak seseorang untuk mengerjakan
sesuatu itu tidak berdasarkan pada pengetahuannya akan takdir Allah. Pada waktu
itu habislah alasannya dengan takdir
karena tidak ada alasan bagi seseorang terhadap apa yang tidak diketahuinya.
6. Kita melihat orang yang ingin
mendapat kan urusan dunia secara layak, tidak ingin pindah kepada yang tidak
layak. Apakah ia akan beralasan dengan takdir? Mengapa berpindah dari kurang
menguntungkan kepada yang menguntungkan dengan alasan takdir? Bukankah dua hal
itu satu? Coba perhatikan contoh di bawah ini :
Kalau di depan seseorang ada dua jalan :
pertama, menuju ke sebuah negri
yang semuanya serba kacau, pembunuhan, perampokan, pembantaian,
kehormatan, ketakutan dan
kelaparan. Yang kedua, menuju sebuah negeri yang semuanya serba teratur,
keamanan yang terkendali, kesejahteraan yang melimpah ruah , jiwa, kehormatan,
dan harta benda di hormati. Jalan mana yang ia akan tempuh? Ia pasti akan
menempuh jalan yang kedua yang menuju ke suatu negeri yang teratur serta aman.
Tidak mungkin orang berakal menempuh jalan yang menuju ke sebuah negeri yang
kacau serta menakutkan dengan alasan takdir. Mengapa urusan akhirat ia menempuh
jalan yang menuju ke neraka bukan jalan yang menuju surga dengan beralasan
takdir?
Contoh
lain adalah seorang yang sakit disuruh meminum obat lalu meminumnya sedangkan
hatinya menyukainya. Dan dilarang memakan makanan yang berbahaya lalu meninggalkannya semetara hatinya
menyukainya. Semua itu dimaksudkan mencari pengobatan serta kesehatan.
Orang yang sakit itu mungkin enggan minum obat atau melanggar memakan makanan yang
berbahaya dengan alasan menyerah pada takdir. Bagaimana seseorang meninggalkan
perintah Allah SWT dan Rasul-Nya atau melakukan larangan Allah dan Rasul-Nya
dengan beralasan pada takdir?
7.
Orang yang meninggalkan kewajiban serta
melanggar kemaksiatan dengan alasan takdir itu seandainya dianiaya oleh seseorang,
dirampas hartanya dan dirusak kehormatannya dengan beralasan pada takdir dan
mengatakan: Anda jangan menyalahkan saya, karena kelaliman saya, ini adalah
takdir Allah, alasannya itu tidak akan diterima. Bagaimana seseorang tidak mau
menerima alasan orang lain dengan takdir dalam penganiayaannya terhadap orang
lain, lalu ia sendiri beralasan dengan takdir terhadap kelalimannya dalam hak
AllahSWT ? Diriwayatkan pada Amirul Mukminin Umar bin Khatab ra menerima
seorang pencuri yang berhak dipotong tangannya. Beliau memerintahkan agar
dipotong tangannya. Pencuri berkata: Tunggu dulu Amirul Mukminin, aku mencuri ini hanya karena
takdir Allah.Umarpun tidak kalah menjawab: Demikian kami memotong tanganmu
hanya karena takdir Allah SWT.
(والله
أعلم بالصواب)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar