Rabu, 25 September 2019


BELAJAR DARI TSABIT BIN AQRAM*
 
Dalam perang Mu’tah yang terjadi pada bulan Jumadal  Ula tahun 8 H Rasulullah saw berpesan kepada pasukan kaum muslimin :  “  Yang bertindak sebagai amir (panglima perang) adalah Zaid bin  Haritsah. Jika Zaid gugur,  Ja’far bin Abu Thalib penggantinya.  Bila Ja’far gugur, Abdullah bin Rawahah penggantinya. Jika Abdullah bin Rawahah gugur, hendaklah kaum Muslimin memilih penggantinya.”

Dalam pertempuran itu tiga panglima perang  yang ditunjuk  Rasulullah saw  gugur satu  demi satu. Setelah gugurnya ketiga panglima perang  tersebut seorang sahabat bernama Tsabit  bin Aqram al-Anshary mengambil panji pasukan. Beliau mengambil panji itu bukan  untuk dirinya dalam arti beliau memposisikan dirinya  sebagai panglima perang, tetapi untuk diberikan kepada orang yang punya  kapasitas sebagai panglima perang. Oleh karena  itu setelah  mengambil panji itu beliau berkata :  “Wahai kaum muslimin, tunjuklah salah seorang di antara kalian (untuk jadi pemimpin).” Sekalipun para sahabat menunjuknya, tetapi beliau menolaknya.  Akhirnya  para sahabat memilih Khalid bin Walid.

Penolakan Tsabit terhadap kepemimpinan ini sebagaimana disebutkan Syaikh Muhammad al-Ghazaly dalam kitabnya Fiqh as-Sirah bukan karena lari dari kematian, tetapi karena ia merasa bahwa dalam pasukan ada orang yang lebih mumpuni dari pada beliau. Dan beliau mengambil panji itu karena  khawatir dalam keadaan sulit ini jika panji itu dibiarkan tidak  diambil  menjadi  pertanda  turunnya keberanian pasukan secara drastis.

Dari sekelumit kisah di atas kita mendapatkan pelajaran bahwa kepemimpinan bukanlah masalah peluang, senioritas, apalagi masalah ambisi pribadi; akan tetapi kepemimpinan adalah masalah kapasitas atau kemampuan. Kalau Tsabit seorang ambisius, beliau jadi panglima perang waktu itu. Panji atau bendera sudah ada di tangannya. Beliau termasuk senior dari  kalangan Anshar karena pernah ikut  dalam perang Badar,  sedangkan veteran perang Badar punya posisi tersendiri bagi Rasulullah  saw. Kondisinya sangat mendukung karena  pada waktu dalam kondisi yang sulit. Begitu juga para sahabat  sudah menunjuknya.  Namun karena merasa tidak layak untuk  memikul jabatan sebagai  panglima perang waktu itu, beliau pun menolak ketika para sahabat menunjuknya dan mengembalikan kepemimpinan kepada musyawarah pasukan. Akhirnya pasukan pun menunjuk Khalid bin Walid  yang  dipandang mampu memimpin pasukan, padahal dari  sisi senioritas  jauh di  bawah Tsabit bin  Aqram,  karena Khalid bin  Walid baru masuk Islam empat bulan yang lalu. Oleh karena itu Syaikh Muhammad al-Ghazali dalam kitabnya Fiqh as-Sirah mendambakan adanya orang-orang seperti Tsabit bin Aqram, beliau mengatakan :  “Aduhai, seandainya setiap  orang tahu kadar kemampuan orang lain dan memposisikan mereka pada posisi yang semestinya, niscaya  umat  ini tidak akan menanggung beban dari kelemahan dan ambisinya.” Yang tidak kalah pentingnya dalam masalah ini adalah  kepemimpinan diberikan atau didapatkan setelah proses musyawarah sebagai realisasi dari pedoman al-Qur’an dan as-Sunnah. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar