Kamis, 17 Oktober 2019

MENGIMANI ASMA’ DAN SIFAT ALLAH.


MENGIMANI ASMA’ DAN SIFAT ALLAH

 A.    Pengertian Mengimani Asma' dan Sifat Allah

Iman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT atau yang disebut dengan Tauhid al-Asma’ wa ash-Shifat adalah keyakinan yang kuat  bahwa hanya Allah SWT saja yang mempunyai segala sifat kesempurnaan, dan mensucikan-Nya dari segala sifat kekurangan. Hal itu dengan menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang sudah ditetapkan Allah untuk diri-Nya dalam kitab suci-Nya atau atau yang sudah ditetapkan oleh Rasul-Nya dalam sunnahnya, dengan cara yang sesuai dengan kebesaran-Nya tanpa tahrif (penyelewengan), ta'thil (penghapusan), takyif (menanyakan bagaimana?) dan tamtsil atau tasybih (menyerupakan).
Dari pengertian di atas jelaslah bahwa mengimani asma’ dan sifat Allah itu tegak di atas tiga dasar :
Pertama, mensucikan Allah SWT dari penyerupaan terhadap  makhluk dan dari segala bentuk kekurangan.
Jadi  sifat  Allah sama sekali tidak  menyerupai sedikit pun sifat makhluk-Nya. Dalil dasar ini adalah firman Allah :
ليْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
" … Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat " (QS. Asy-Syura'/42 : 11)
Juga seorang muslim  harus mensucikan Allah dari ketidak sempurnaan atau kekurangan seperti ngantuk, tidur, lelah,  bodoh, zhalim, dan sebagainya.
Kedua, mengimani nama dan sifat Allah sebatas yang disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tanpa menambah dan mengurangi sedikit pun, sesuai dengan makna yang zhahir dalam bahasa Arab,  tanpa  menolak seluruh atau sebagian maknanya,  atau memalingkan maknanya dari  makna yang zhahir. Karena yang lebih tahu tentang Allah adalah Allah itu sendiri. Firman Allah  :
قُلْ ءَأَنتُمْ أَعْلَمُ أَمِ ٱللَّهُ ۗ
Katakanlah: "Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah” (QS.  Al-Baqarah : 140)
Ketiga, memutuskan harapan untuk  mengetahui cara atau  hakikat nama dan sifat Allah. Jadi seorang muslim dituntut untuk mengetahui seluruh sifat dan  nama Allah yang disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tanpa bertanya tentang cara dan hakikatnya. Karena mengetahui  cara atau hakikat  suatu  sifat  terbentur untuk mengetahui  cara atau hakikat dzatnya;  sebab sifat-sifat itu  berbeda karena  perbedaan yang disifatinya. Kalau kita tidak  bisa  bertanya tentang cara dan hakikat dzat Allah, maka kita pun  tidak  bisa bertanya tentang  cara dan hakikat sifat-Nya. Oleh karena itu Imam Malik ketika ditanya tentang  istiwa’nya Allah, beliau menjawab :
الإستواء معلوم ، والكيف مجهول ، والإيمان به واجب ، والسؤال عنه بدعة
Istiwa’ itu maklum, caranya tidak dapat diketahui,  mengimaninya wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah>
 Allah berfirman :
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
" Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan " (QS. Al-A'raf/7 : 180 )

B.    Golongan Manusia dalam Mengimani Asma' dan Sifat

 Dalam perkara ini ada dua golongan yang tersesat, yaitu :
1.   Golongan Mu'aththilah, yaitu mereka yang mengingkari nama-nama dan dan sifat-sifat Allah atau mengingkari sebagiannya saja. Menurut anggapan mereka, menetapkan nama-nama dan sifat itu kepada Allah dapat menyebabkan tasybih (penyerupaan), yakni menyerupakan Allah SWT dengan makhluk-Nya .
Pendapat ini jelas keliru karena :
a.     Anggapan itu akan mengakibatkan hal-hal yang bathil atau salah, karena Allah SWT telah menetapkan untuk diri-Nya nama-nama dan sifat-sifat, serta telah menafikan sesuatu yang serupa dengan-Nya. Andaikata menetapkan nama-nama dan sifat-sifat itu menimbulkan adanya penyerupaan, berarti ada pertentangan dalam kalam Allah serta sebagian firman-Nya akan menyelahi sebagian yang lain.
b.     Kecocokan antara dua hal dalam nama atau sifatnya tidak mengharuskan adanya persamaan. Anda melihat ada dua orangKecocokan antara dua hal dalam nama atau sifatnya tidak mengharuskan adanya persamaan. Anda melihat ada dua orang yang keduanya manusia, mendengar, melihat dan berbicara, tetapi tidak harus sama dalam makna kemanuasiaannya, pendengarannya, penglihatannya dan pembicaraannya. Anda juga melihat beberapa binatang yang punya tangan, kaki dan mata, tetapi kecocokannya itu tidak mengharuskan tangan, kaki dan mata mereka sama. Apabila antara makhluk-makhluk yang cocok dalam nama atau sifatnya saja jelas memiliki    perbedaan, maka tentu perbedaan antara Khaliq (Pencipta) dan makhluk (yang diciptakan) akan lebih jelas lagi.
2.   Golongan Musyabbihah, yaitu golongan yang menetapkan nama-nama dan sifat-sifat, tetapi menyerupakan Allah SWT dengan makhluk-Nya. Mereka mengira hal ini sesuai dengan nash-nash Al-Qur'an, karena Allah berbicara dengan hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahaminya.
Anggapan ini jelas keliru ditinjau dari beberapa hal, antara lain :
a.     Menyerupakan Allah SWT dengan makhluk-Nya jelas merupakan sesuatu yang bathil, menurut akal maupun syara'. Padahal tidak mungkin nash-nash kitab suci Al-Qur'an dan Sunnah Rasul menunjukkan pengertian yang bathil.
b.   Allah SWT berbicara dengan hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahami dari segi asal maknanya. Hakikat makna sesuatu yang berhubungan dengan zat dan sifat Allah adalah hal yang hanya diketahui oleh Allah saja.        Apabila Allah menetapkan untuk diri-nya bahwa Dia Maha Mendengar, maka pendengaran itu sudah maklum darisegi maknanya, yaitu menemukan suara-suara. Tetapi hakikat hal itu dinisbatkan kepada pendengaran Allah tidak maklum karena hakikat pendengaran jelas berbeda, walau pada makhluk sekalipun. Jadi perbedaan hakikat itu antara Pencipta yang diciptakan jelas lebih jauh berbeda.
   Apabila Allah SWT memberitakan tentang diri-Nya bahwa Dia bersemayam di atas 'Arasynya, maka bersemayam dari segi asal maknanya sudah maklum, tetapi hakikat bersemayamnya Allah itu tidak dapat diketahui.

Selain  dua golongan di atas, ada juga golongan yang tidak mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah, dan juga tidak menyerupakan nama-nama dan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya, namun ia menetapkan sebagian sifat Allah sesuai dengan keagungan-Nya dan menakwilkan sebagian sifat yang lain dengan anggapan bahwa menetapkan sebagian sifat itu secara lahir dapat menimbulkan tasybih (penyerupaan dengan sifat makhluk). Inilah pendapat kebanyakan ulama Madzhab Asy’ariyah. Apa hukum golongan ini?
Dalam hal ini Prof. Dr. Abdullah al-Qadiriy dalam kitabnya al-Iman Huwa al-Asas menjelaskan bahwa anggapan ini jelas keliru karena tiga hal :
a.    Bertentangan dengan nash-nash Al-Qur'an dan Sunnah dan bertentangan dengan sikap yang diambil kaum Salaf (Sahabat dan pengikutnya). Tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa mereka mentakwilkan satupun nama-nama dan sifat-sifat Allah.
b.    Anggapan mereka bahwa menetapkan sifat-sifat Allah yang mereka takwilkan dapat menimbulkan tasybih adalah juga keliru; karena menetapkan sifat-sifat Allah sesuai dengan zhahirnya yang sesuai dengan keagungan-Nya serta  menafikan penyerupaannya dengan sifat-sifat makhluk, tidak akan menimbulkan tasybih seperti yang mereka perkirakan, sebagaimana Allah berfirman yang artinya :  " … Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat " (QS. Asy-Syura'/42 : 11) . Allah menafikan tasybih dari diri-Nya dan dengan dasar ini menetapkan dua sifat sama' (mendengar) dan bashar (melihat).
c.    Mereka melakukan tindakan kontradiktif dalam menetapakan sebagian sifat atas dasar tanzih (mensucikan sifat Allah dari penyerupaan dengan sifat makhluk-Nya), dan mentakwilkan sebagian sifat karena takut jatuh pada tasybih. Mestinya mereka menetapkan semua nama-nama dan sifat-sifat Allah atas dasar tanzih. Apa yang mereka katakan tentang sifat yang mereka tetapkan hendaknya juga mereka katakan tentang sifat yang mereka takwilkan. Kalau tidak, mereka harus menakwilkan seluruh sifat Allah; karena pada sifat yang mereka tetapkan tanpa takwil seperti  sifat sama' dan bashar, bisa jadi timbul anggapan   tasybih seperti anggapan mereka dalam sifat rahmah. Kemudian berbicara tentang sifat Allah harus sama dengan pembicaraan tentang zat Allah. Sebagaimana tidak ada yang menyerupai zat Allah, begitu juga tidak ada yang menyerupai sifat Allah.

Kemudian apa hukumnya orang yang menakwilkan sifat tersebut?
Lebih lanjut Abdullah al-Qadiriy menjelaskan  bahwa orang-orang yang menakwilan sifat, yaitu golongan Asy’ariyah, mereka tidak menkwailkan sifat atas dasar pengingkaran. Akan tetapi mereka menakwilkannya disebabkan kesalah pahaman mereka bahwa menetapkan sifat-sifat yang ditakwilkan itu secara zhahir dapat membawa kepada tasybih. Jadi pendapat mereka itu berdasarkan ijtihad, sedangkan orang yang berijtihad dimaafkan dari kesalahannya, diberi pahala atas ijtihadnya. Oleh karena itu tidak boleh mencela orang yang telah dimaafkan Allah dan telah dijanjikan pahala walaupun hal itu tidak menghalangi kita untuk menjelaskan kebenaran yang ia tidak mendapat petunjuk padanya.
Oleh karena itu kata beliau,  Ibnu Taimiah –rahimahullah- berkata  :  “Barang siapa  yang diketahui  ia melakukan ijtihad yang diperkenankan, maka tidak boleh menyebutnya dengan mencela dan menganggapnya berdosa, sebab Allah telah mengampuni kesalahannya. Akan tetapi wajib memberikan loyalitas dan mencintainya karena keimanan dan ketakwaan yang ada pada dirinya, melaksanakan hak-hak yang diwajibkan Allah seperti memuji, mendoakan daan semacamnya”. (Majmu’ al-Fatawa, juz 8 hal 234)
Dalam mensikapi madzhab golongan al-Asy’ariyah atau madzhab al-Khalaf tentang nama dan sifat Allah juga, Hasan al-Banna dalam “Risalah al-‘Aqaid”nya menjelaskan : “Kami berkeyakinan bahwa pendapat Salaf  itu dengan diam dan menyerahkan makna sifat-sifat itu sepenuhnya kepada Allah swt adalah lebih selamat dan lebih utama untuk diikutiuntuk memotong habis takwil dan ta’thil (penafian). Jika anda termasuk orang yang memiliki ketenangan iman dan kesejukan keyakinan yang dikaruniakan Allah, maka sekali-kali janganlah menyimpang dari pendapat Salaf. Kami juga meyakini bahwa takwil-takwil kaum Khalaf tidak mengharuskan jatuhnya vonis kekafiran dan kefasikan atas mereka, serta tidak pula menjadikan munculnya pertikaian berlarut-larut di antara mereka dan selainnya, baik dulu maupun sekarang. Lapangan Islam lebih luas dari ini semua”.
 C.    Macam-macam Sifat Allah
            Sifat-sifat Allah yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah ada dua macam :
PertamaShifaat Tsubutiyyah/Sifat-sifat Eksistensial, yaitu sifat-sifat yang mengandung makna kesempurnaan yang selalu ada dalam diri Allah swt.
KeduaShifaat Salbiyyah/Sifat-sifat Negatif, yaitu sifat-sifat yang mengandung penafian atas semua yang bertentangan dengan kesempurnaan Allah Yang Suci guna menetapkan sifat yang menjadi kebalikannya, yakni sifat kesempurnaan eksistensial.
Maka sifat-sifat Allah swt mengandung dua jenis ini. Yaitu kesempurnaan eksistensial atau penafian yang membuktikan kesempurnaan eksistensial. Allah swt tidak boleh disifatkan dengan penafian an sich yang tidak mengandung pembuktian atas kesempurnaan eksistensial. Karena itu adalah kekurangan yang menafikan kesempurnaan-Nya.
Shifaat Tsubutiyyah/Sifat-sifat Eksistensial selanjutnya terbagi menjadi dua :
1.                Shifaat dzaatiyyah  (sifat dzat). Yaitu sifat  yang tidak tekait dengan kehendak, dan tidak dapat dibayangkan bahwa suatu waktu Allah swt tidak memiliki sifat-sifat ini. Misalnya : hayat (hidup), qudrah (kuasa), sama' (mendengar), bashar (melihat), kalam (berbicara) dan semacamnya. Patokannya adalah seluruh sifat yang tidak mungkin terpisah dari Allah SWT.
2.                  Shifaat Fi'liyyah (sifat fi'il/sifat perbuatan). Yakni sifat yang terkait dengan kehendak dan kekuasaan Allah, seperti istiwa' (bersemayam), nuzul (turun), ridha mahabbah (cinta), ghadhab (benci) dan semacamnya.
Yang kedua ini merupakan sifat qadim. Maksudnya, Allah swt telah memiliki sifat tersebut sejak azali dan selalu akan memilikinya di masa yang akan datang. Tetapi di antara sifat perbuatan itu ada yang hanya berlaku pada kondisi tertentu dan tidak berlaku umum dan dalam segala kondisi. Misalnya sifat perbuatan yang termaktub dalam ayat  : وَيَمْكُرُ اللَّهُ/dan Allah menggagalkan tipu daya itu (QS. Al-Anfal:30), dan ayat :  اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ/ Allah akan (membalas) olok-olokan mereka. (QS. Al-Baqarah:15.
Kedua ayat ini diturunkan dalam konteks kontra aksi atas apa yang ingin mereka lakukan. Tetapi perbuatan ini hanya dilakukan Allah swt terhadap orang-orang kafir dan semacamnya. Hanya dalam ikatan konteks ini Allah swt bersifat dengan sifat ini. Sebab makna kesempurnaan memang hanya terdapat dalam ikatan kontekstual.
Sifat perbuatan ini juga bersifat satuan-satuan. Maksudnya Allah swt melakukannya satu persatu berdasarkan kehendak-Nya.
Shifaat Salbiyyah/Sifat-sifat Negatif  seperti  penafian sifat ngantuk dan tidur, bertujuan menetapkan kontra sifat-sifat itu yang membuktikan kesempurnaan Allah swt. Yaitu kesempurnaan hidup dan kesinambungan-Nya dalam mengurus urusan makhluk-Nya, seperti tertera dalam ayat : لا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلا نَوْمٌ/ tidak mengantuk dan tidak tidur. (QS. Al-Baqarah:255).
Begitu pula penafian adanya sekutu yang setara dengan Allah swt tujuanya sama. Yaitu menetapkan kontranya yang membuktikan kesempurnaan Allah. Yaitu kesaan Allah swt, seperti yang tertera dalam firman-nya : وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ/ dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia". (QS. Al-Ikhlash:4)
Kewajiban kita terhadap kedua jenis sifat itu adalah mengakui eksistensi sifat-sifat tersebut pada Allah SWT dengan makna yang sesuai dengan kesempurnaan Allah, yaitu makna hakiki yang tidak disertai dengan tasybih, ta'thil, ta'wil dan takyif. Hendaknya kita mengatakan seperti yang dikatakan oleh Imam Syafe'i –Semoga Allah merahmatinya- : "Aku beriman kepada Allah dan kepada apa yang datang dari Allah sesuai dengan maksud Allah. Dan aku beriman kepada Rasulullah SAW dan kepada apa yang dibawanya sesuai  dengan maksud Rasulullah SAW.

D.    Nama-nama Allah 'Azza wa Jalla

Asma-ullah  adalah nama-nama Allah yang diinformasikan oleh-Nya dalam kitab-Nya atau oleh Rasululah saw dalam Sunnahnya. Setiap nama-nama itu menunjukkan satu atau lebih sifat Allah. Setiap nama itu juga merupakan musytaqq (derivasi/turunan) dari mashdarnya, misalnya al-'alim adalah derivasi dari al-'ilm. Ia menunjukkan pada sifat ilmu Allah. Hal yang sama juga  berlaku pada nama-nama lainnya.
Tidak ada kontradiksi antara nama-nama itu sebagai sifat dan sebagai nama. Misalnya, Ar-Rahman adalah nama sekaligus sifat Allah swt. Yang perlu dicatat, setiap nama Allah menunjukkan maknanya dan semuanya merupakan sifat-sifat terpuji. Dan disebut al-husna karena nama-nama itu menunjukkan nama yang paling baik dan makna yang paling mulia.
Mentauhidkan (mengesakan) Allah dalam hal nama-nama-Nya menuntut kita mengimani semua nama yang disandang-Nya  pada diri-Nya dengan segala makna dan pengaruh yang berkaitan dengan nama itu. Misalnya, dalam Al-Qur'an disebutkan nama Allah 'Ar-Rahim', maka kita mengimani bahwa itu adalah nama Allah, mengimani bahwa Allah mempunyai kasih sayang dan Dia mengasihi orang yang dikehendaki-Nya. Demikian pula dengan semua nama lainnya yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasul-Nya.
Apakah nama-nama Allah hanya berjumlah sembialan puluh sembilan?. Memang dalam sebuah hadits yang diriwayatkam Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda :
إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا  ، مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا ، مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ ،  إِنَّهُ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ
" Sesungguhnya Allah mempunyai sembilan puluh sembilan nama , yakni seratus kurang satu. Barangsiapa menghitungnya maka dia masuk surga. Sesungguhnya Allah itu witir dan mencintai yang witir " (HR.Bukhari dan Muslim).
Namun para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan sabda Rasulullah saw 'sembialn puluh sembilan nama' tidaklah terbatas pada jumlah tersebut, melainkan sekedar menjelaskan  bahwa Allah mempunyai sembilan puluh sembilan nama, dan  barangsiapa menghitungnya, maka dia akan masuk surga. Hadits itu tidak menafikan  adanya nama-nama  lain bagi Allah. Sedangkan pengertian 'barangsiapa menghitungnya, dia akan masuk surga' adalah barangsiapa menghafalnya sembari merenungkan dan mengambil 'ibrah dari maknanya, melaksanakan segala tuntutannya, dan mensucikan Pemiliknya, maka ia akan masuk surga.


(والله أعلم بالصواب)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar