MENGIMANI ASMA’ DAN
SIFAT ALLAH
A. Pengertian Mengimani Asma' dan Sifat Allah
Iman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah
SWT atau
yang disebut dengan Tauhid al-Asma’ wa ash-Shifat adalah keyakinan yang kuat
bahwa hanya Allah SWT saja yang mempunyai segala sifat kesempurnaan, dan
mensucikan-Nya dari segala sifat kekurangan. Hal itu dengan menetapkan
nama-nama dan sifat-sifat yang sudah ditetapkan Allah untuk diri-Nya dalam
kitab suci-Nya atau atau yang sudah ditetapkan oleh Rasul-Nya dalam sunnahnya,
dengan cara yang sesuai dengan kebesaran-Nya tanpa tahrif (penyelewengan), ta'thil (penghapusan), takyif (menanyakan
bagaimana?) dan tamtsil atau tasybih (menyerupakan).
Dari pengertian di atas
jelaslah bahwa mengimani asma’ dan sifat Allah itu tegak di atas tiga dasar :
Pertama, mensucikan Allah SWT dari penyerupaan terhadap makhluk dan dari segala bentuk kekurangan.
Jadi sifat
Allah sama sekali tidak
menyerupai sedikit pun sifat makhluk-Nya. Dalil dasar ini adalah firman
Allah :
ليْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
" … Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan
Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat " (QS.
Asy-Syura'/42 : 11)
Juga seorang muslim harus mensucikan Allah dari ketidak
sempurnaan atau kekurangan seperti ngantuk, tidur, lelah, bodoh, zhalim, dan sebagainya.
Kedua, mengimani nama dan sifat Allah sebatas yang disebutkan dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah tanpa menambah dan mengurangi sedikit pun, sesuai
dengan makna yang zhahir dalam bahasa Arab, tanpa menolak seluruh atau sebagian maknanya, atau memalingkan maknanya dari makna yang zhahir. Karena yang lebih tahu
tentang Allah adalah Allah itu sendiri. Firman Allah :
قُلْ ءَأَنتُمْ أَعْلَمُ أَمِ ٱللَّهُ ۗ
Katakanlah:
"Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah”
(QS. Al-Baqarah : 140)
Ketiga, memutuskan harapan untuk
mengetahui cara atau hakikat nama
dan sifat Allah. Jadi seorang muslim dituntut untuk mengetahui seluruh sifat
dan nama Allah yang disebutkan dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah tanpa bertanya tentang cara dan hakikatnya. Karena mengetahui cara atau hakikat suatu
sifat terbentur untuk
mengetahui cara atau hakikat dzatnya; sebab sifat-sifat itu berbeda karena perbedaan yang disifatinya. Kalau kita
tidak bisa bertanya tentang cara dan hakikat dzat Allah,
maka kita pun tidak bisa bertanya tentang cara dan hakikat sifat-Nya. Oleh karena itu
Imam Malik ketika ditanya tentang istiwa’nya
Allah, beliau menjawab :
الإستواء معلوم ،
والكيف مجهول ، والإيمان به واجب ، والسؤال عنه بدعة
Istiwa’ itu maklum, caranya tidak dapat diketahui, mengimaninya wajib, dan bertanya tentangnya
adalah bid’ah>
Allah berfirman :
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ
الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ
سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
" Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah
kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan
mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan " (QS. Al-A'raf/7
: 180 )
B. Golongan Manusia dalam Mengimani Asma' dan Sifat
Dalam perkara ini ada dua golongan yang tersesat, yaitu :
1. Golongan Mu'aththilah, yaitu mereka yang mengingkari nama-nama dan dan sifat-sifat
Allah atau mengingkari sebagiannya saja. Menurut anggapan mereka, menetapkan
nama-nama dan sifat itu kepada Allah dapat menyebabkan tasybih (penyerupaan),
yakni menyerupakan Allah SWT dengan makhluk-Nya .
Pendapat ini jelas keliru karena :
a. Anggapan itu akan mengakibatkan hal-hal yang bathil atau salah,
karena Allah SWT telah menetapkan untuk diri-Nya nama-nama dan sifat-sifat,
serta telah menafikan sesuatu yang serupa dengan-Nya. Andaikata menetapkan
nama-nama dan sifat-sifat itu menimbulkan adanya penyerupaan, berarti ada
pertentangan dalam kalam Allah serta sebagian firman-Nya akan menyelahi
sebagian yang lain.
b. Kecocokan antara dua hal dalam nama atau sifatnya tidak
mengharuskan adanya persamaan. Anda melihat ada dua orangKecocokan antara dua
hal dalam nama atau sifatnya tidak mengharuskan adanya persamaan. Anda melihat
ada dua orang yang keduanya manusia, mendengar, melihat dan berbicara, tetapi
tidak harus sama dalam makna kemanuasiaannya, pendengarannya, penglihatannya
dan pembicaraannya. Anda juga melihat beberapa binatang yang punya tangan, kaki
dan mata, tetapi kecocokannya itu tidak mengharuskan tangan, kaki dan mata
mereka sama. Apabila antara makhluk-makhluk yang cocok dalam nama atau sifatnya
saja jelas memiliki perbedaan, maka tentu perbedaan antara
Khaliq (Pencipta) dan makhluk (yang diciptakan) akan lebih jelas lagi.
2. Golongan Musyabbihah, yaitu golongan yang menetapkan nama-nama dan sifat-sifat,
tetapi menyerupakan Allah SWT dengan makhluk-Nya. Mereka mengira hal ini sesuai
dengan nash-nash Al-Qur'an, karena Allah berbicara dengan hamba-Nya dengan
sesuatu yang dapat dipahaminya.
Anggapan ini jelas
keliru ditinjau dari beberapa hal, antara lain :
a. Menyerupakan Allah SWT dengan makhluk-Nya jelas merupakan
sesuatu yang bathil, menurut akal maupun syara'. Padahal tidak mungkin
nash-nash kitab suci Al-Qur'an dan Sunnah Rasul menunjukkan pengertian yang
bathil.
b. Allah SWT berbicara dengan hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang
dapat dipahami dari segi asal maknanya. Hakikat makna sesuatu yang berhubungan
dengan zat dan sifat Allah adalah hal yang hanya diketahui oleh Allah
saja. Apabila Allah menetapkan untuk
diri-nya bahwa Dia Maha Mendengar, maka pendengaran itu sudah maklum darisegi
maknanya, yaitu menemukan suara-suara. Tetapi hakikat hal itu dinisbatkan
kepada pendengaran Allah tidak maklum karena hakikat pendengaran jelas berbeda,
walau pada makhluk sekalipun. Jadi perbedaan hakikat itu antara Pencipta yang
diciptakan jelas lebih jauh berbeda.
Apabila Allah SWT
memberitakan tentang diri-Nya bahwa Dia bersemayam di atas 'Arasynya, maka
bersemayam dari segi asal maknanya sudah maklum, tetapi hakikat bersemayamnya
Allah itu tidak dapat diketahui.
Selain dua golongan di atas, ada juga
golongan yang tidak mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah, dan juga tidak
menyerupakan nama-nama dan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya, namun ia
menetapkan sebagian sifat Allah sesuai dengan keagungan-Nya dan menakwilkan
sebagian sifat yang lain dengan anggapan bahwa menetapkan sebagian sifat itu
secara lahir dapat menimbulkan tasybih (penyerupaan dengan
sifat makhluk). Inilah pendapat kebanyakan ulama Madzhab Asy’ariyah. Apa hukum
golongan ini?
Dalam hal ini Prof. Dr. Abdullah al-Qadiriy
dalam kitabnya al-Iman Huwa al-Asas menjelaskan bahwa anggapan
ini jelas keliru karena tiga hal :
a. Bertentangan dengan nash-nash Al-Qur'an dan Sunnah dan
bertentangan dengan sikap yang diambil kaum Salaf (Sahabat dan pengikutnya).
Tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa mereka mentakwilkan satupun nama-nama
dan sifat-sifat Allah.
b. Anggapan mereka bahwa menetapkan sifat-sifat Allah yang mereka
takwilkan dapat menimbulkan tasybih adalah juga keliru; karena menetapkan
sifat-sifat Allah sesuai dengan zhahirnya yang sesuai dengan keagungan-Nya
serta menafikan penyerupaannya dengan sifat-sifat makhluk, tidak akan
menimbulkan tasybih seperti yang mereka perkirakan, sebagaimana Allah berfirman
yang artinya : " … Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan
Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat " (QS.
Asy-Syura'/42 : 11) . Allah menafikan tasybih dari diri-Nya dan
dengan dasar ini menetapkan dua sifat sama' (mendengar)
dan bashar (melihat).
c. Mereka melakukan tindakan kontradiktif dalam menetapakan
sebagian sifat atas dasar tanzih (mensucikan sifat Allah dari
penyerupaan dengan sifat makhluk-Nya), dan mentakwilkan sebagian sifat karena
takut jatuh pada tasybih. Mestinya mereka menetapkan semua
nama-nama dan sifat-sifat Allah atas dasar tanzih. Apa yang mereka
katakan tentang sifat yang mereka tetapkan hendaknya juga mereka katakan
tentang sifat yang mereka takwilkan. Kalau tidak, mereka harus menakwilkan
seluruh sifat Allah; karena pada sifat yang mereka tetapkan tanpa takwil
seperti sifat sama' dan bashar, bisa jadi
timbul anggapan tasybih seperti anggapan mereka dalam sifat rahmah. Kemudian
berbicara tentang sifat Allah harus sama dengan pembicaraan tentang zat Allah.
Sebagaimana tidak ada yang menyerupai zat Allah, begitu juga tidak ada yang
menyerupai sifat Allah.
Kemudian apa hukumnya
orang yang menakwilkan sifat tersebut?
Lebih lanjut Abdullah al-Qadiriy menjelaskan bahwa
orang-orang yang menakwilan sifat, yaitu golongan Asy’ariyah, mereka tidak
menkwailkan sifat atas dasar pengingkaran. Akan tetapi mereka menakwilkannya
disebabkan kesalah pahaman mereka bahwa menetapkan sifat-sifat yang ditakwilkan
itu secara zhahir dapat membawa kepada tasybih. Jadi pendapat mereka itu
berdasarkan ijtihad, sedangkan orang yang berijtihad dimaafkan dari
kesalahannya, diberi pahala atas ijtihadnya. Oleh karena itu tidak boleh
mencela orang yang telah dimaafkan Allah dan telah dijanjikan pahala walaupun
hal itu tidak menghalangi kita untuk menjelaskan kebenaran yang ia tidak
mendapat petunjuk padanya.
Oleh karena itu kata beliau, Ibnu Taimiah –rahimahullah-
berkata : “Barang siapa yang diketahui ia melakukan
ijtihad yang diperkenankan, maka tidak boleh menyebutnya dengan mencela dan
menganggapnya berdosa, sebab Allah telah mengampuni kesalahannya. Akan tetapi
wajib memberikan loyalitas dan mencintainya karena keimanan dan ketakwaan yang
ada pada dirinya, melaksanakan hak-hak yang diwajibkan Allah seperti memuji,
mendoakan daan semacamnya”. (Majmu’ al-Fatawa, juz 8 hal 234)
Dalam mensikapi madzhab golongan al-Asy’ariyah atau madzhab
al-Khalaf tentang nama dan sifat Allah juga, Hasan al-Banna dalam “Risalah
al-‘Aqaid”nya menjelaskan : “Kami berkeyakinan bahwa pendapat
Salaf itu dengan
diam dan menyerahkan makna sifat-sifat itu sepenuhnya kepada Allah swt
adalah lebih selamat dan lebih utama untuk diikuti, untuk memotong habis takwil dan ta’thil (penafian). Jika anda termasuk orang yang memiliki
ketenangan iman dan kesejukan keyakinan yang dikaruniakan Allah, maka
sekali-kali janganlah menyimpang dari pendapat Salaf. Kami juga meyakini bahwa
takwil-takwil kaum Khalaf tidak mengharuskan jatuhnya vonis kekafiran dan
kefasikan atas mereka, serta tidak pula menjadikan munculnya pertikaian
berlarut-larut di antara mereka dan selainnya, baik dulu maupun sekarang. Lapangan Islam lebih luas dari ini semua”.
C. Macam-macam Sifat Allah
Sifat-sifat
Allah yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah ada dua macam :
Pertama, Shifaat Tsubutiyyah/Sifat-sifat Eksistensial,
yaitu sifat-sifat yang mengandung makna kesempurnaan yang selalu ada dalam diri
Allah swt.
Kedua, Shifaat Salbiyyah/Sifat-sifat Negatif, yaitu
sifat-sifat yang mengandung penafian atas semua yang bertentangan dengan
kesempurnaan Allah Yang Suci guna menetapkan sifat yang menjadi kebalikannya,
yakni sifat kesempurnaan eksistensial.
Maka sifat-sifat Allah swt mengandung dua jenis
ini. Yaitu kesempurnaan eksistensial atau penafian yang membuktikan
kesempurnaan eksistensial. Allah swt tidak boleh disifatkan dengan penafian an
sich yang tidak mengandung pembuktian atas kesempurnaan eksistensial. Karena
itu adalah kekurangan yang menafikan kesempurnaan-Nya.
Shifaat Tsubutiyyah/Sifat-sifat Eksistensial selanjutnya terbagi
menjadi dua :
1. Shifaat dzaatiyyah (sifat dzat). Yaitu sifat yang
tidak tekait dengan kehendak, dan tidak dapat dibayangkan bahwa suatu waktu
Allah swt tidak memiliki sifat-sifat ini. Misalnya : hayat (hidup), qudrah (kuasa), sama' (mendengar), bashar (melihat), kalam (berbicara)
dan semacamnya. Patokannya adalah seluruh sifat yang tidak mungkin terpisah
dari Allah SWT.
2. Shifaat Fi'liyyah (sifat
fi'il/sifat perbuatan). Yakni sifat yang terkait dengan kehendak dan kekuasaan
Allah, seperti istiwa' (bersemayam), nuzul (turun), ridha , mahabbah (cinta), ghadhab (benci)
dan semacamnya.
Yang kedua ini merupakan sifat qadim.
Maksudnya, Allah swt telah memiliki sifat tersebut sejak azali dan selalu akan
memilikinya di masa yang akan datang. Tetapi di antara sifat perbuatan itu ada
yang hanya berlaku pada kondisi tertentu dan tidak berlaku umum dan dalam
segala kondisi. Misalnya sifat perbuatan yang termaktub dalam ayat
: وَيَمْكُرُ اللَّهُ/dan Allah menggagalkan tipu daya itu (QS.
Al-Anfal:30), dan ayat : اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ/ Allah akan (membalas) olok-olokan mereka.
(QS. Al-Baqarah:15.
Kedua ayat ini diturunkan dalam konteks kontra
aksi atas apa yang ingin mereka lakukan. Tetapi perbuatan ini hanya dilakukan
Allah swt terhadap orang-orang kafir dan semacamnya. Hanya dalam ikatan konteks
ini Allah swt bersifat dengan sifat ini. Sebab makna kesempurnaan memang hanya terdapat
dalam ikatan kontekstual.
Sifat perbuatan ini juga bersifat
satuan-satuan. Maksudnya Allah swt melakukannya satu persatu berdasarkan
kehendak-Nya.
Shifaat Salbiyyah/Sifat-sifat Negatif seperti
penafian sifat ngantuk dan tidur, bertujuan menetapkan kontra sifat-sifat itu
yang membuktikan kesempurnaan Allah swt. Yaitu kesempurnaan hidup dan
kesinambungan-Nya dalam mengurus urusan makhluk-Nya, seperti tertera dalam ayat
: لا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلا نَوْمٌ/ tidak mengantuk
dan tidak tidur. (QS. Al-Baqarah:255).
Begitu pula penafian adanya sekutu yang setara
dengan Allah swt tujuanya sama. Yaitu menetapkan kontranya yang membuktikan
kesempurnaan Allah. Yaitu kesaan Allah swt, seperti yang tertera dalam
firman-nya : وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ/ dan tidak ada
seorang pun yang setara dengan Dia". (QS. Al-Ikhlash:4)
Kewajiban kita terhadap kedua jenis sifat itu
adalah mengakui eksistensi sifat-sifat tersebut pada Allah SWT dengan makna
yang sesuai dengan kesempurnaan Allah, yaitu makna hakiki yang tidak disertai
dengan tasybih, ta'thil, ta'wil dan takyif. Hendaknya kita mengatakan seperti
yang dikatakan oleh Imam Syafe'i –Semoga Allah merahmatinya- : "Aku
beriman kepada Allah dan kepada apa yang datang dari Allah sesuai dengan maksud
Allah. Dan aku beriman kepada Rasulullah SAW dan kepada apa yang dibawanya
sesuai dengan maksud Rasulullah SAW.
D. Nama-nama Allah 'Azza wa Jalla
Asma-ullah adalah nama-nama Allah yang diinformasikan oleh-Nya dalam
kitab-Nya atau oleh Rasululah saw dalam Sunnahnya. Setiap nama-nama itu
menunjukkan satu atau lebih sifat Allah. Setiap nama itu juga merupakan musytaqq (derivasi/turunan)
dari mashdarnya, misalnya al-'alim adalah derivasi dari al-'ilm.
Ia menunjukkan pada sifat ilmu Allah. Hal yang sama juga berlaku pada
nama-nama lainnya.
Tidak ada kontradiksi antara nama-nama itu
sebagai sifat dan sebagai nama. Misalnya, Ar-Rahman adalah
nama sekaligus sifat Allah swt. Yang perlu dicatat, setiap nama Allah
menunjukkan maknanya dan semuanya merupakan sifat-sifat terpuji. Dan
disebut al-husna karena nama-nama itu menunjukkan nama yang
paling baik dan makna yang paling mulia.
Mentauhidkan (mengesakan) Allah dalam hal
nama-nama-Nya menuntut kita mengimani semua nama yang disandang-Nya pada
diri-Nya dengan segala makna dan pengaruh yang berkaitan dengan nama itu.
Misalnya, dalam Al-Qur'an disebutkan nama Allah 'Ar-Rahim', maka kita mengimani
bahwa itu adalah nama Allah, mengimani bahwa Allah mempunyai kasih sayang dan
Dia mengasihi orang yang dikehendaki-Nya. Demikian pula dengan semua nama
lainnya yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasul-Nya.
Apakah nama-nama Allah hanya berjumlah
sembialan puluh sembilan?. Memang dalam sebuah hadits yang diriwayatkam Abu
Hurairah, Rasulullah saw bersabda :
إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً
وَتِسْعِينَ اسْمًا ، مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا ، مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ
الْجَنَّةَ ، إِنَّهُ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ
" Sesungguhnya Allah mempunyai sembilan puluh sembilan nama
, yakni seratus kurang satu. Barangsiapa menghitungnya maka dia masuk surga.
Sesungguhnya Allah itu witir dan mencintai yang witir " (HR.Bukhari dan
Muslim).
Namun para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan sabda
Rasulullah saw 'sembialn puluh sembilan nama' tidaklah terbatas pada jumlah
tersebut, melainkan sekedar menjelaskan bahwa Allah mempunyai sembilan
puluh sembilan nama, dan barangsiapa menghitungnya, maka dia akan masuk
surga. Hadits itu tidak menafikan adanya nama-nama lain bagi Allah.
Sedangkan pengertian 'barangsiapa menghitungnya, dia akan masuk surga' adalah
barangsiapa menghafalnya sembari merenungkan dan mengambil 'ibrah dari
maknanya, melaksanakan segala tuntutannya, dan mensucikan Pemiliknya, maka ia
akan masuk surga.
(والله أعلم بالصواب)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar