Minggu, 03 Juni 2012

Beriman Kepada Qadar Dan Ikhtiar

Beriman Kepada Qadar Dan Ikhtiar
(Oleh : H. Asnin Syafiuddin, Lc. MA)


Iman kepada qadar sebagaimana telah diterangkan di atas tidak menafikan bahwa manusia mempunyai kehendak (iradah) dan kemampuan (qudrah) dalam berbagai perbuatan yang sifatnya ikhtiyari (bisa diusahakan/dilakukan manusia). Syara’ dan kenyataan (realita) menunjukan ketetapan hal itu.   
1. Secara syara’,   Allah berfirman tentang kehendak manusia :
فَمَنْ شَاءَ اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ مَآبًا
“…Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada
Robbnya”. ( QS. An-Naba’ : 39).
Baca juga : QS. Al-Baqarah/2  : 223.
Allah juga berfirman tentang kemampuan manusia :
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. (QS. At-Taghabun/64 :16).
Baca juga : QS. Al-Baqarah : 286 .

2.   Secara kenyataan, manusia mengetahui bahwa dirinya mempunyai kehendak dan kemampuan yang menyebabkannya mengerjakan atau meninggalkan sesuatu. Dia juga dapat membedakan antara kemauannya ( seperti berjalan), dan yang  bukan kehendaknya (seperti gemetar). Kehendak serta kemampuan seseorang  itu akan terjadi dengan masyi’ah (kehendak) serta qudrah (kemampuan) Allah SWT, seperti dalam        firman-Nya :
لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمَ (28) وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ (29)
(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu   tidak    dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah,  robb    semesta alam. (QS. At-Takwir/81 : 28-29)
Karena manusia mempunyai kehendak dan kemampuan untuk berusaha dalam berbagai perbuatan yang sifatnya ikhtiyari, maka manusia diperintahkan untuk menempuh jalan (usaha) sambil bertawakkal kepada Allah swt. Hasil usaha itu tergantung pada izin Allah, karena di di tangan-Nyalah kerajaan segala sesuatu. Yang telah menciptakan jalan, adalah juga yang menciptakan hasil.
Misalnya, bila seseorang menginginkan keturunan yang saleh, maka ia harus menempuh jalan untuk itu, yakni pernikahan yang syar’i (sesuai dengan syari’at). Akan tetapi pernikahan itu mungkin membuahkan dan mungkin pula tidak mendatangkan hasil, tergantung kemauan dan kehendak Allah swt Yang Maha Gagah, Maha Bijaksana, Maha Lembut, dan Maha Mengetahui.
Firman Allah :
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ (49) أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ (50)
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. (QS. Asy-Syura’ : 49-50)
Oleh karena itu, haram hukumnya bila seorang muslim meninggalkan usaha. Jika seseorang tidak berusaha untuk mencari rezeki maka dia berdosa, walaupun benar bahwa rezeki itu berada di tangan Allah. Sebab usaha yang disyari’atkan adalah bagian dari qadar itu sendiri. Rasulullah saw menjelaskan bahwa membaca jampi, berobat, dan kehati-hatian  adalah bagian dari qadar itu sendiri. Beliau ditanya :
أَرَأَيْتَ رُقًى نَسْتَرْقِيهَا وَدَوَاءً نَتَدَاوَى بِهِ وَتُقَاةً نَتَّقِيهَا هَلْ تَرُدُّ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ شَيْئًا قَالَ هِيَ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ
“Bagaimana dengan ruqyah (jampi) yang kami lakukan, dan obat-obatan yang kami gunakan, kehati-hatian, apakah hal itu dapat menolak qadar Allah? Rasululah saw menjawab : “Itu semua termasuk qadar Allah”. (HR. Tirmidzi. Ia berkata : Hadits hasan shahih)
Memandang sebab (usaha) sebagai satu-satunya pembuat akibat (hasil) adalah syirik, karena tidak mengakui kekuasaan Allah. Sedangkan menampik sebab adalah cacat akal. Dan berpaling dari usaha-usaha yang diperintahkan adalah cacat dalam pelaksanaan syari’at.
Karenanya bagi yang sakit misalnya, Rasulullah saw memerintahkan berobat. Dalam hadits disebutkan :
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ شَرِيكٍ قَالَ : أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ ، كَأَنَّمَا عَلَى رُءُوسِهِمْ الطَّيْرُ ، فَسَلَّمْتُ ثُمَّ قَعَدْتُ ، فَجَاءَ الْأَعْرَابُ مِنْ هَا هُنَا وَهَا هُنَا ، فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنَتَدَاوَى؟ فَقَالَ :" تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ دَوَاءً ، غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ : الْهَرَمُ ".

Dari Usamah bin Syuraik mengatakan : “Aku datang kepada Rasulullah saw dan para sahabatnya, seolah-olah di atas kepala mereka ada burung (yakni kepala mereka tertunduk). Aku mengucapkan salam lalu duduk. Lalu datanglah orang-orang Arab gunung dari sana-sini seraya mengatakan : Ya Rasulullah, bolehkah kami berobat?”. Beliau menjawab : “Berobatlah, karena tidaklah Allah menurunkan penyakit melainkan pasti menurunkan obatnya, kecuali obat untuk satu hal : ketuaan.” (HR. Empat Ulama hadits. Tirmidzi mengatakan : hasan shahih).
Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda :
مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً
“Tidaklah Allah menurunkan penyakit melainkan menurunkan pula obatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)


(والله أعلم بالصواب)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar