Beriman Kepada Qadar Dan Ikhtiar
(Oleh : H. Asnin
Syafiuddin, Lc. MA)
Iman kepada qadar sebagaimana telah
diterangkan di atas tidak menafikan bahwa manusia mempunyai kehendak (iradah)
dan kemampuan (qudrah) dalam berbagai perbuatan yang sifatnya ikhtiyari
(bisa diusahakan/dilakukan manusia). Syara’ dan kenyataan (realita) menunjukan
ketetapan hal itu.
1. Secara syara’, Allah berfirman tentang kehendak manusia :
فَمَنْ شَاءَ اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ مَآبًا
“…Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali
kepada
Robbnya”. ( QS. An-Naba’ : 39).
Baca juga : QS. Al-Baqarah/2 : 223.
Allah juga berfirman tentang kemampuan manusia :
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا
وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ
Maka bertakwalah kamu kepada Allah
menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang
baik untuk dirimu. (QS. At-Taghabun/64 :16).
Baca
juga : QS. Al-Baqarah : 286 .
2. Secara kenyataan,
manusia mengetahui bahwa dirinya mempunyai kehendak dan kemampuan yang
menyebabkannya mengerjakan atau meninggalkan sesuatu. Dia juga dapat membedakan
antara kemauannya ( seperti berjalan), dan yang
bukan kehendaknya (seperti gemetar). Kehendak serta kemampuan
seseorang itu akan terjadi dengan masyi’ah
(kehendak) serta qudrah (kemampuan) Allah SWT, seperti dalam firman-Nya :
لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمَ (28) وَمَا تَشَاءُونَ
إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ (29)
(yaitu)
bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak
dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki
Allah, robb semesta alam. (QS. At-Takwir/81 : 28-29)
Karena manusia mempunyai kehendak dan
kemampuan untuk berusaha dalam berbagai perbuatan yang sifatnya ikhtiyari, maka
manusia diperintahkan untuk menempuh jalan (usaha) sambil bertawakkal kepada
Allah swt. Hasil usaha itu tergantung pada izin Allah, karena di di tangan-Nyalah
kerajaan segala sesuatu. Yang telah menciptakan jalan, adalah juga yang
menciptakan hasil.
Misalnya, bila seseorang menginginkan
keturunan yang saleh, maka ia harus menempuh jalan untuk itu, yakni pernikahan
yang syar’i (sesuai dengan syari’at).
Akan tetapi pernikahan itu mungkin membuahkan dan mungkin pula tidak
mendatangkan hasil, tergantung kemauan dan kehendak Allah swt Yang Maha Gagah,
Maha Bijaksana, Maha Lembut, dan Maha Mengetahui.
Firman Allah :
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ
يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ (49) أَوْ يُزَوِّجُهُمْ
ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ
(50)
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia
menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada
siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia
kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada
siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia
kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. (QS. Asy-Syura’ :
49-50)
Oleh karena itu, haram hukumnya bila seorang muslim
meninggalkan usaha. Jika seseorang tidak berusaha untuk mencari rezeki maka dia
berdosa, walaupun benar bahwa rezeki itu berada di tangan Allah. Sebab usaha
yang disyari’atkan adalah bagian dari qadar itu sendiri. Rasulullah saw
menjelaskan bahwa membaca jampi, berobat, dan kehati-hatian adalah
bagian dari qadar itu sendiri. Beliau ditanya :
أَرَأَيْتَ رُقًى نَسْتَرْقِيهَا وَدَوَاءً
نَتَدَاوَى بِهِ وَتُقَاةً نَتَّقِيهَا هَلْ تَرُدُّ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ شَيْئًا
قَالَ هِيَ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ
“Bagaimana dengan ruqyah
(jampi) yang kami lakukan, dan obat-obatan yang kami gunakan, kehati-hatian, apakah
hal itu dapat menolak qadar Allah? Rasululah saw menjawab : “Itu semua
termasuk qadar Allah”. (HR. Tirmidzi. Ia berkata : Hadits hasan shahih)
Memandang sebab (usaha) sebagai satu-satunya
pembuat akibat (hasil) adalah syirik, karena tidak mengakui kekuasaan Allah.
Sedangkan menampik sebab adalah cacat akal. Dan berpaling dari usaha-usaha yang
diperintahkan adalah cacat dalam pelaksanaan syari’at.
Karenanya bagi yang sakit misalnya,
Rasulullah saw memerintahkan berobat. Dalam hadits disebutkan :
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ شَرِيكٍ قَالَ : أَتَيْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ ، كَأَنَّمَا عَلَى
رُءُوسِهِمْ الطَّيْرُ ، فَسَلَّمْتُ ثُمَّ قَعَدْتُ ، فَجَاءَ الْأَعْرَابُ مِنْ
هَا هُنَا وَهَا هُنَا ، فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنَتَدَاوَى؟ فَقَالَ
:" تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا
وَضَعَ لَهُ دَوَاءً ، غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ : الْهَرَمُ ".
Dari Usamah bin Syuraik
mengatakan : “Aku datang kepada Rasulullah saw dan para sahabatnya, seolah-olah
di atas kepala mereka ada burung (yakni kepala mereka tertunduk). Aku
mengucapkan salam lalu duduk. Lalu datanglah orang-orang Arab gunung dari
sana-sini seraya mengatakan : Ya Rasulullah, bolehkah kami berobat?”. Beliau menjawab : “Berobatlah, karena
tidaklah Allah menurunkan penyakit melainkan pasti menurunkan obatnya, kecuali
obat untuk satu hal : ketuaan.” (HR. Empat Ulama hadits. Tirmidzi mengatakan :
hasan shahih).
Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah saw
bersabda :
مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ
شِفَاءً
“Tidaklah Allah
menurunkan penyakit melainkan menurunkan pula obatnya.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
(والله
أعلم بالصواب)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar