Kamis, 14 Juni 2012

Riba


PENGHAPUSAN RIBA
SEBUAH PRINSIP DALAM EKONOMI ISLAM
( Oleh : H. Asnin Syafiuddin, Lc. MA )

 

I. Pendahuluan

Di antara nilai yang ditetapkan Islam dalam perekonomian adalah sikap adil. Cukuplah bagi kita bahwa al-Qur’an telah menjadikan tujuan semua risalah langit adalah melaksanakan keadilan, dan al-‘Adl (Yang Maha Adil ) adalah termasuk nama Allah. Lawan dari kata keadilan adalah kezhaliman ( al-zhulm ), yaitu sesuatu yang telah diharamkan Allah atas diri-Nya sebagaimana telah diharmkan atas hamba-hamba-Nya. Atas dasar inilah, Islam mengharamkan setiap hubungan bisnis  yang mengandung kezhaliman dan mewajibkan terpenuhinya keadilan yang teraplikasikan  dalam setiap hubungan dan kontrak-kontrak bisnis.[1]
Di antara fenomena keadilan yang paling menonjol dalam ekonomi Islam adalah pengharaman riba.
Al-Qur’an telah mengumumkan perang dari Allah dan Rasul-Nya terhadap orang-orang yang melakukannya (QS. Al-Baqarah : 278-279). Nabi saw. memasukkan  riba ke dalam tujuh macam dosa yang menghancurkan, “ Jauhilah tujuh macam dosa yang membinasakan “ kata beliau, dan beliaupun menyebut “ makan riba “. Sebagaimana beliau juga memandang riba  sebagai salah satu dari kedua perbuatan hina yang jika tersebar di masyarakat, akan mendatangkan azab Allah. Sabda beliau “  Jika telah tampak di suatu negeri perbuatan riba dan zina, maka mereka telah menghalalkan datangnya azab Allah pada mereka “.[2]
Permasalahannya sekarang  adalah  apakah hakekat riba yang diharamkan Allah, adakah  perbedaan riba di zaman Nabi saw. dengan sekarang, apakah bunga  pada bank-bank konvensional sama dengan riba ? Permasalahan-permasalahan inilah yang akan  dicarikan jawabannya dalam makalah ini sesuai dengan kemampuan penulis.  

II. Pembahasan

1. Hakekat Riba
Riba ( الربا ) secara bahasa berasal dari kata ربا- يربو yang berarti al-ziyadah ( الزيادة / tambahan ) dan al-numuwwu (النمو / tumbuh dan berkembang ).Dikatakan ربا المال apabila harta itu bertambah dan berkembang. Dalam al-Qur’an Allah berfirman :[3]          وترى الارض هامدة فإذا أنزلنا عليها الماء اهتزت وربت ,  artinya : “ Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila Kami telah turunkan air di atasnya, hiduplah bumi dan suburlah …”. Kata ربت dalam ayat di atas bertambah dan subur. Firman Allah  yang lain [4]: فأخذهم أخذة رابية , artinya : “ …lalu Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang sangat keras “. Raabiyah di sini artinya syadiidah, zaaidah yang diiterjemahkan dengan sangat keras. [5]
Menurut istilh ulama fiqh riba adalah sebagai berikut :
  1. Menurut  madzhab hanafi[6] :

فضل مال بلا عوض فى معاوضة مال بمال

 “ Tambahan harta tanpa adanya ‘iwadh ( padanan ) dalam transaksi harta dengan harta “.
b.      Menurut madzhab Maliki [7]:
أن يأخذ صاحب الدين لتاخير دينه بعد حلوله عوضا عينا أو عرضا وهو معنى قول العرب اما أن تقضى واما أن تربى
“ Yaitu  orang yang berpiutang mengambil tambahan dalam bentuk pisik atau sifat karena penundaan utang  setelah jatuh tempo. Ini adalah arti perkataan orang Arab : Bisa kamu lunasi atau kamu tambah “.
c. Menurut madzhab Syafi’I [8]:
عقد على عوض مخصوص غير معلوم التماثل فى معيار الشرع حالة العقد أو مع تأخير فى البدلين أو أحدهما
“ Suatu transaksi atas ‘iwadh ( padanan ) tertentu tanpa diketahui kesamaannya menurut penilaian syara’ sewaktu transaksi, atau dengan mengakhirkan dua tukaran atau salah satunya “.
d. Menurut madzhab Hanbali[9] :
الزيادة فى أشياء مخصوصة
“ Tambahan dalam hal-hal tertentu “.
Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian riba berkisar pada tambahan.
Riba dalam penegertian di atas hukumnya haram menurut al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijma’.
Di antara ayat al-Qur’an yang mengharamkan riba adalah :
الذين يأكلون الربوا لا يقومون إلاّ كما يقوم الذى يتخبطه الشيطان  من المس ذلك بأتهم قالوا إنما البيع مثل الربوا و أحل الله البيع وحرّّم الربوا
“ Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. “[10]
يا أيها الذين أمنوا اتقوا الله وذروا مابقي من الربوا إن كنتم  مؤمنين . فإن لم تفعلوا فأذنوا بحرب من الله ورسوله وإن تبتم فلكم رءوس أموالكم لا تظلمون ولا تظلمون. 
“ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa  riba (yang belum dipungut) jika kamum orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat  (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya “. [11]
Di antara al-Sunnah yang melarang riba adalah :
عن أبى هريرة رضى الله عنه عن االنبى صلى الله عليه وسلم قال : " اجتنبوا االسبع الموبقات ". قالوا يارسول الله وما هنّ ؟ قال : " الشرك بالله ، والسحر ، وقتل النفس التى حرم الله إلاّ بالحق ، وأكل الربا ، وأكل مال اليتيم ، والتولى يوم الزحف ، وقذف المحصنات المؤمنات الغافلات " (متفق عليه)
Dari Abu Hurairah ra. Dari Nabi saw. bersabda : “ Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan “. Para sahabat bertanya : Wahai Rasulullah, apa tujuh perkara itu ? Beliau menkawab : “ Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan  yang benar, makan harta riba, makan harta anak yatim, lari dari peperangan yang sedang berkecamuk, dan menuduh berzina terhadap wanita yang baik, mukmin dan lalai (dari mengerjakan yang diharamkan Allah)”. Hadits Muttafaq  ‘alaih.[12]
عن جابر رضى الله عنه قال : لعن رسو ل الله صلى الله عليه وسلم آكل الربا ، وموكله ،  وكاتبه ،  وشاهديه ، وقال :  هم سواء   . (رواه مسلم )
Dari Jabir ra. Ia berkata : Rasulullah saw. melaknat orang yang makan harta riba, yang memberi makan, penulis dan kedua saksinya. Dan ia berkata : Semuanya sama. (HR. Muslim )[13]
Ummat telah sepakat  bahwa riba hukumnya haram. Mawardi berkata : “ Sampai dikatakan bahwa riba tidak halal dalam syari’at manapun, sesuai dengan firman Allah (Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah  dilarang dari padanya)[14] , maksudnya dalam kitab-kitab terdahulu. [15]
Riba yang diharamkan dalam Islam menurut kebanyakan ulama ada dua macam  :
1) Riba al-nasi’ah.
Nasi’ah artinya menangguhkan dan mengakhirkan. Jadi riba nasi’ah ialah tambahan yang disyaratkan yang diambil si pemberi utang dari  yang berutang    karena penangguhan pembayaran. [16]  
Dalil-dalil yang mengharamkan, mencela dan mengancam riba terutama masuk di dalamnya riba nasi’ah. Riba inilah yang terkenal pada masa Jahiliyyah, kemudian al-Qur’an datang melarang, mencela dan mengancamnya sebagaimana telah disebutkan di atas.  Hadits juga menjelaskan riba ini sebagaimana dalam hadits Usamah bin Zaid bahwa Nabi saw. bersabda : “ لا ربا إلا فى النسيئة “ ,  artinya, “Tidak ada riba kecuali riba nasi’ah “ ( Muttafaq ‘alaih )[17]
2) Riba al-Fadhl
     Al-Fadhl secara bahasa artinya lawan dari al-naqsh atau kurang. Jadi riba fadhl adalah  menjual uang dengan uang atau menjual makanan dengan makanan dengan ada tambahan.
Riba ini juga diharamkan berdasarkan beberapa hadits, antara lain :
عن أبي سعيد الخدرى رضى الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه ووسلم  : "  الذهب بالذهب  والفضة بالفضة والبر بالبر والشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح مثلا بمثل يدا بيد ،   فمن زاد أو استزاد فقد أربى ، الآخذ والمعطي فيه سواء " . رواه مسلم .
Dari Abu Said al-Khudri ra. berkata : Rasulullah saw. bersabda : “ Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus sama dan  dari tangan ke tangan ( kontan )  . Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berbuat riba, penerima dan pemberi sama-sama bersalah “. ( HR. Muslim )[18] 
Madzhab Syafi’I menambahkan jenis ketiga yang dinamakan riba al-yad, yaitu penangguhan penerimaan dua barang yang ditukarkan atau salah satunya. Sebagian madzhab Syafi’I juga menambahkan jenis keempat yang dinamakan riba al-qardh, yaitu utang yang disyaratkan mendapatkan keuntungan.[19]
2. Riba Dan Bunga
Sepanjang pengetahuan penulis tidak ada  orang yang mempermaslahakan haramnya riba. Yang menjadi permasalahan   adalah apakah bunga termasuk riba atau berbeda ?
Prof. M. Abdul Mannan, M.A., Ph.D. dalam bukunya : Teori dan Praktek Ekonomi Islam, dalam pembahasannya tentang riba, bunga dan keuntungan setelah  berbicara tentang riba menyimpulkan bahwa riba yang terdapat pada pra-Islam ialah perpanjangan batas waktu dan penambahan jumlah peminjaman uang sehingga berjumlah begitu besar, sehingga pada akhir jangka waktu peminjaman itu, si peminjam akan mengembalikan kepada yang  meminjamkan sebesar dua kali lipat atau lebih dari jumlah pokok yang dipinjamkannya. [20]
Kemudian dalam pembicaraan tentang bunga, Abdul Mannan mengutip  pendapat Harberler dalam bukunya  Prosperity and Depression yang  menyatakan : “ Penjelasan dan penentuan mengenai suku bunga masih saja menimbulkan lebih banyak pertentangan di antara para ahli ekonomi, dibandingkan dengan cabang lain dari teori mengenai bunga.  Selanjutnya  akan terlihat bahwa teori-teori tentang bunga tidak dapat menjawab pertanyaan, mengapa bunga itu dibayarkan. Tetapi konsesus pendapat menganggap bahwa bunga merupakan tambahan tetap bagi modal. Dikemukakan bahwa tambahan yang tetap ini merupakan biaya yang layak bagi digunakannya uang dalam suatu proses produksi. Sedangkan Riba mengacu pada bunga uang yang terlalu tinggi pada pinjaman tidak produktif. Hal ini berlaku pada masa pra-Islam, ketika orang belum mengenal pinjaman produktif dan pengaruhnya pada pertumbuhan ekonomi “. [21]
Pendapat Harberler ini bunga tidak sama dengan riba, dalam arti bahwa bunga tidak termasuk dalam riba yang dilarang dalam al-Qur’an, karena dua hal. Pertama, bunga merupakan tambahan  tetap bagi modal sebagai biaya yang layak bagi penggunaan uang dalam proses produksi, sementara riba merupakan bunga yang terlalu tinggi. Kedua, Pinjaman dalam bunga bersifat produktif,  sementara pinjaman dalam riba  bersifat konsumtif.
Pendapat Harberler ini kemudian dibantah oleh Abdul Manan dengan tiga hal. Pertama,  perbedaan riba dalam Al-Quran dengan bunga dalam masyarakat kapitalis,  hanya perbedaan tingkat, bukan perbedaan jenis, karena baik riba maupun bunga merupakan ekses atas modal yang dipinjam. Istilah ekses harus diambil dalam arti yang relatif, karena apa yang merupakan ekses layak hari ini, mungkin dianggap suku bunga luar biasa tingginya atau bersifat riba pada hari esok. Kedua, modal yang ditanam dalam bank tidak dapat disamakan dengan modal yang ditanam dalam perdagangan, sebab modal yang ditanam dalam perdagangan mungkin membawa kelebihan yang disebut laba yang bersifat tidak tetap dan juga mengandung arti kemungkinan rugi, sedangkan modal yang ditanam dalam bank menghasilkan bunga tetap dan tidak mengandung arti kerugian apapun. Ketiga,  tidaklah tepat untuk mengatakan bahwa pada masa pra-Islam pinjaman tidak diberikan untuk tujuan produksi, sebab catatan  menunjukan bahwa orang Yahudi Madinah meminjamkan uang tidak hanya untuk tujuan konsumsi, tetapi juga untuk perdagangan. Adanya mudharabah pada waktu itu saja atau persekutuan diam–diam di kalangan orang Arab tidak menunjukan kenyataan bahwa bunga yang produktif tidak sedang digemari di kalangan mereka. Sebetulnya perbedaan antara pinjaman produktif dengan yang tidak produktif adalah perbedaan tingkatan. Jika bunga pada pinjaman konsumtif itu berbahaya, maka bunga pada pinjaman produktif tentu berbahaya juga karena ia merupakan biaya produksi, dan karena itu mempengaruhi harga. Konsumenlah yang harus memikul beban harga yang lebih tinggi  itu.
Karena itu - menurut Abdul Manan - dalam analisis terakhir dapat dikatakan bahwa riba dalam al-Qur’an dan bunga pada perbankan moderen merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. [22]
3. Riba Jahiliyah Dan Riba Modern
Menurut Dr. Hamd bin Hammad bin ‘Abd al-‘Aziz dalam bukunya al-Riba Khatharuhu Wa Sabil al-Khalash minhu bahwa riba Jahiliyah adalah riba nasi’ah itu sendiri yang diharamkan dalam al-Qur’an. Menurut Hamd riba yang    sudah terkenal di kalangan orang-orang Arab Jahiliyah adalah  riba nasi’ah. Menurut mereka  riba nasi’ah itulah yang dinamakan riba.  Sedangkan riba yang disebutkan dalam al-Sunnah yaitu riba al-fadhl adalah istilah Islam. Orang-orang  Arab  tidak mengenalnya sebagai riba walaupun mereka melakukan transaksi dengan riba itu.[23]
Untuk menguatkan pendapatnya Dr. Hamd mengutip perkataan Mujahid yang dinukil dalam tafsir al-Thabari tentang riba yang dilarang Allah : “ Mereka (orang-orang Arab) di masa jahiliyah, apabila ada orang yang memberikan utang kepada yang lain, maka orang yang berutang berkata kepada orang yang memberikan pinjaman : Kamu akan mendapatkan bayaran sekian dan sekian dengan syarat kamu memberikan tempo kepadaku, lalu orang yang memberikan pinjaman itupun memberikan tempo kepadanya “.[24]
Dr. Hamd juga mengutip perkataan perkataan Qatadah dalam tafsir yang sama : “ Riba jahiliyah adalah bahwa seseorang  menjual sesuatu kepada orang lain dalam waktu yang telah ditentukan. Apabila telah jatuh tempo, si peminjam belum bisa melunasi, maka si pemberi pinjaman itu menambah jumlah utang dan menunda pembayarannya “.[25]
Kalau diperhatikan  dari pembahasan riba nasi’ah, perkataan Mujahid dan Qatadah, maka riba jahiliyah pada zaman sekarang sama dengan bunga pada bank-bank konvensional dan lembaga-lembaga keuangan lainnya yang melakukan transaksi simpan pinjam, di mana pihak bank atau lembaga memberikan atau menerima sejumlah  uang dalam waktu tertentu dengan  bunga sekian persen. Jika seseorang tidak mampu mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam pada pihak bank pada waktu yang telah ditentukan, maka bunganya pun bertambah. Semakin lama penundaan pembayaran, semakin bertambah pula bunga yang harus dibayar. Kalau ini berkelanjutan sehingga pokok pinjaman dan bunganya sudah membengkak, maka pihak bank tidak segan-segan untuk menyita jaminan yang diberikan si peminjam kepada pihak bank. Inilah barangkali yang disebut dengan riba modern.  Dalam hal ini Dr. Wahbah al-Zuaheli  mengatakan : “ Termasuk riba nasi’ah yang dikenal sekarang dalam bank-bank dengan memberikan atau meminjamkan uang untuk waktu tertentu dengan bunga per tahun atau bulan tujuh, lima atau dua setenganh persen. Ini termasuk makan harta orang lain secara batil dan mengandung bahaya riba. Hukumnya haram dan berdosa seperti riba, yakni riba nasi’ah dengan dalil firman Allah SWT. { فإن تبتم فلكم رؤوس أموالكم } “ Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu “. Dewasa ini riba sudah menjadi kebiasaan manusia, yang tidak digunakan kecuali terhadap keuntungan ketika penundaan pembayaran pinjaman. Inilah riba nasi’ah yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. Adapun riba fadhl, jarang sekali terjadi. Dengan demikian nampaklah maksud hadits yang telah lalu “ Sesungguhnya riba hanyalah riba nasia’ah “, sebagai peringatan atas bahaya dan sering terjadinya. [26]
4. Bunga Perbankan
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa tidak ada ummat Islam yang mempermasalahkan haramnya riba, tapi yang menjadi permasalahan adalah apakah bunga bank sama dengan riba atau tidak?. Dalam pembahasan di atas juga disebutkan pendapat  dan argumentasi    Prof. M. Abdul Mannan MA. Ph. D.  dan Dr. Wahbah al-Zuaheli bahwa bunga bank  sama hukumnya dengan riba.
Muhammad Syafi’I Antonio dalam bukunya Bank Syari’ah dalam pembahasannya tentang riba mengungkapkan berbagai fatwa tentang riba dan bunga bank berikut ini :[27]
1. Majlis Tarjih Muhammadiyah
Dalam Majelis Tarjih Siduarjo (1968) memutuskan :
a.                   Riba hukumnya haram dengan nash sharih Al-Qur’an dan As-sunnah;
b.                                    Bank dengan system riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal ;
c.                   Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat ;
d.                  Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya    konsepsi system perekonomian, khususnya lembaga perbankan, yang sesuai dengan kaidah islam.
2. Lajnah Bahtsul Masa’il Nahdlatul ulama
Mengenai bank dan pembungaan uang, lajinah memutuskan masalah   tersebut melalui beberapa kali sidang. Menurut lajnah, hukum bank dan hukum bunganya sama seperti gadai. Terdapat tiga pendapat ulama sehubungan dengan masalah ini.
a.                   Haram, sebab termasuk utang yang dipungut rente.
b.                  Halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sedangkan adat yang berlaku tidak dapat begitu saja dijadikan syarat.
c.                   Syubhat ( tidak tentu halal-haramnya ), sebab para ahli hukum berselisih  pendapat tentangnya.
   Meskipun ada perbedaan pandangan, lajnah memutuskan bahwa (pilihan) yang lebih berhati-hati ialah pendapat pertama, yakni menyebut bunga bank adalah haram .
3. Sidang Organisasi Konfrensi Islam ( OKI )
    Semua peserta sidang OKI kedua yang berlangsung di Karachi, Pakistan, Desember 1970, telah menyepakati dua hal utama, yaitu sebagai berikut.
a.  Praktik bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syari’ah Islam.
b. Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai   denga prinsip-prinsip syariah.
  Hasil kesepakatan inilah yang melatar belakangi didirikannya Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB).
4. Mufti Negara Mesir                        
Keputusan Kantor Mufti Negara Mesir terhadap hukum bunga bank senantiasa tetap dan konsisten. Tercatat sekurang-kurangnya sejak tahun 1900 hingga 1989, Mufti Negara Republik Arab Mesir memutuskan bahwa bunga bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan.
5. Konsul Kajian Islam Dunia (مجمع البحوث الاسلامية  )                
     Ulama–ulama besar dunia yang terhimpun dalam Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank. Dalam konferensi 11 KKID yang diselenggarakan di Universitas AL-Azhar, Kairo, pada bulan Muharram 1385 H/Mei 1965 M, ditetapkan bahwa tidak ada sedikitpun keraguan atas keharaman praktik pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional.


6. Fatwa Lembaga-lembaga lain                      
Senada dengan ketetapan dan fatwa dari lembaga-lembaga Islam dunia di atas, beberapa lembaga berikut ini juga menyatakan bahwa bunga bank adalah salah satu bentuk riba yang diharamkan. Lembaga-lembaga tersebut antara lain :
a. ( مجمع الفقه رابطة العالم الاسلامى  ) (Akademi Fiqih Liga Muslim Dunia).
b. [28]( الرئاسة العامة للدعوة والارشاد والبحوث الاسلامية والافتاء المملكة العربية السعودية )       ( Pimpinan Pusat Dakwah, Penyuluhan, Kajian Islam dan Fatwa, kerajaan Saudi Arabia).
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar lembaga Islam  terke muka di dunia menyatakan bahwa  bunga bank sama  hukumnya dengan riba.
Untuk lebih meyakinkan bahwa bunga bank sama dengan riba, berikut ini akan   dikemukakan beberapa bantahan terhadap alasan atau dalih yang dikemukakan orang-orang yang membolehan bunga bank. 
1.            Di antara dalih yang dikemukana orang yang membolehkan bunga bank menurut al- Qardhawi adalah bahwa pemilik uang dari pada meminjamkannya, ia dapat membelanjakannya untuk memenuhi berbagai kebutuhannya yang sekarang dan lebih mendesak dari kebutuhannya yang akan datang. Tetapi ia mengorbankan kebutuhannya yang sekarang dan mengutamakan untuk menunggu. Dengan demikian ia telah memiliki  modal sebagai hasil penantian ini. Penantian dan pengorbanan ini harus dihargai . Harga atau buah dari penantian ini adalah bunga. Jadi, bunga adalah konpensasi penantian atau konpensasi modal.
Dalih ini dibantah oleh al-Qardhawi dengan ungkapan : “ Dalih ini bisa dibantah karena dasar pemikirannya sangat lemah . Karena penyimpanan ( ungkapan lain untuk penantian atau pengorbanan keperluan yang sekarang ) tidak semuanya dengan motivasi mengorbankan kebutuhannya yang sekarang. Sebab, kadang kala kebutuhan seseorang telah terpenuhi semuanya sehingga hartanya menumpuk melebihi kebutuhannya. Di sini jelas tidak ada penantian atau resiko. Maka atas dasar apa orang seperti ini menerima bunga, selama ia tidak mengalami resiko berupa tidak terpenuhinya kebutuhannya yang sekarang dan tidak bersusah payah menanti untuk memenuhi kebutuhannya yang akan datang ? “.[29]
2. Al-Qardhawi juga mengungkapkan dalih yang digunakan para pendukung riba atau bunga bank bahwa pemilik modal berhak mendapatkan keuntungan yang diperoleh  peminjam dari pengelolaan uang yang dipinjamnya dari pemilik modal, karena keuntungan tersebut merupakan perpaduan antara kerja dan modal. Bagaimana hak keuntungan itu hanya diberikan kepada pekerja, sementara pemilik modal tidak mendapatkannya ?
Untuk menjawab dalih ini al-Qardhawi mengutip perkataan Muhammad Abdullah Darraz : “ Adapun keuntungan tersebut memang bukan hasil dari satu unsure tetapi hasil dari dua unsure yang berpadu. Tak diragukan lagi, memang demikian halnya. Tetapi, para pembantah melihat sesuatu yang esensial dan substansial, yaitu bahwa begitu terjadi kontrak pinjam, maka kerja (pengelolaan) dan modal menjadi berada di tangan satu orang, dan tidak ada lagi hubungan pemberi pinjaman dengan modal tersebut. Bahkan peminjam menjadi pihak yang berwenang sepenuhnya untuk mengelolanya, baik mendapatkan keuntungan maupun kerugian. Seandainya modal tersebut musnah atau bangkrut, maka menjadi tanggung jawabnya sendiri. Seandainya kita bersikeras untuk menyertakan pemberi pinjaman dalam mendapatkan keuntungan yang dihasilkan, maka pada saat yang sama kita  harus menyertakan dalam menanggung kerugian yang terjadi. Karena setiap hak pasti disertai kewajiban, atau seperti dikatakan oleh ucapan bijak Nabi saw. :الخراج بالضمان  “ Pemilikan hasil dan manfaat barang dengan jaminan “ (HR. Syafi’I, Ahmad, Ashabus Sunan, Thayalisi dan Thahawi ).[30] 
3. Para pendukung bunga bank juga berdalih bahwa yang riba atau bunga yang diharamkan Islam adalah yang bersifat konsumtif bukan produktif, karena mengambil keuntungan dari pinjaman yang bersifat konsumtif merupakan tindakan a moral, sedangkan turut serta dalam mengambil bunga atau keuntungan  dari pinjaman yang produktif adalah merupakan keadilan.
Mereka juga berdalih bahwa riba yang konsumtif itulah yang terkenal di zaman Rasulullah  saw. dan turunnya al-Qur’an. Jadi haramnya  riba berkaitan denngan ini.
Dalih ini bisa dibantah dengan sebagai berikut :
1)      Pengharaman riba merupakan penataan ekonomi terhadap modal. Orang yang mampu mengelola modal secara sendirian atau bersama orang lain, silakan melakukannya. Orang yang tidak mampu mengelola sendiri, silakan berikan kepada orang lain dengan sayarat keuntungan dan kerugian ditanggung berdua. Si pekerja rugi tenaga dan usaha, sedangkan si pemilik modal rugi karena modalnya berkurang. Ini adalah adil.  Tidak adil kalau salah satunya selalu untung sedang yang lainnya  bisa jadi rugi.
2)      Nash-nash yang mengharamkan riba mutawatir, dan pengharaman riba mencakup semua bentuk riba. Kemudian fakta sejarah bertolak belakang dengan apa yang mereka katakana; banyak sekali pinjaman riba pada masa jahiliyah termasuk jenis produktif. Orang-orang Arab jahiliyah biasa melakukan perdagangan. Orang-orang Quraisy mempunyai dua perjalanan dagang sebagaimana yang dicatat dalam al-Qur’an, yaitu pada musim dingin dan pada musim panas. Perdagangan  semacam ini membutuhkan banyak modal.  Jadi klaim bahwa pinjaman yang terjadi pada masa jahiliyah hanya untuk keperluan konsumsi tidak berdasar sama sekali, di samping nash yang mengharmkan riba mencakup dua hal.[31]
4. Para pendukung riba atau bunga bank juga mengatakan bahwa yang diharamkan itu riba atau bunga yang berlipat ganda, bukan bunga yang sedikit, karena pengerukan keuntungan sangat nampak sekali pada riba atau bunga yang berlipat ganda. Mereka mendasarkan pendapatnya ini dengan al-Qur’an surat Ali Imran : 130 “ Hai orang-orang yang beriman,  janganlah kamu memakan  riba dengan berlipat ganda “ yang menurut mereka diturunkan setelah surat al-Baqarah. Jadi ayat-ayat riba dalam surat al-Baqarah dinasakh oleh ayat di atas. Jadi menurut mereka larangan riba didasarkan pada riba yang berlipat ganda, mafhum mukhalafahnya kalau riba itu tidak berlipat ganda, maka tidak dilarang.
Untuk membantah pendapat ini, bisa disampaikan hal-hal sebagai berikut :
1)      Kalau diperhatikan nash-nash yang menyebutkan riba, tidak dibedakan riba yang diharamkan dan riba yang tidak diharamkan. Semua riba haram, banyak maupun sedikit.
2)      Ayat riba yang berlipat ganda bukan ayat riba yang terakhir sekali diturunkan. Tetapi ayat riba yang terakhir sekali diturunkan adalah yang terdapat dalam surat al-Baqarah sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Ibnu Abbas.[32]
3)      Penyebutan riba yang berlipat ganda tidak berarti yang tidak berlipat ganda boleh. Al-Qur’an menyebutkan hal ini menunjukkan bahwa riba akan sampai pada kondisi yang sangat buruk yang menyebabkan orang lari dari berinteraksi dengannya. [33]

III. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa riba yang diharamkan Allah adalah berkisar pada pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil . Riba yang diharamkan ini menurut kebanyakan ulama ada dua : riba nasi’ah dan riba fadhl, dan menurut madzhab Syafi’I ditambah dengan riba yad dan riba qardh. Riba yang terdapat pada masa jahilyah khusunya riba nasi’ah terdapat juga pada masa sekarang dalam bentuk bunga pada bank-bank konvensional dan lembaga-lembaga simpan pinjam, yang hukumnya menurut pendapat yang kuat sama dengan riba yang diharamkan Allah. Wallahu a’lam.


DAFTAR PUSTAKA
1.      Al-Qardhawi, Yusuf, Dr, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Jakarta, Rabbani Press, 2001..
2.       Mushthafa, Ibrahim, al-Mu’jam al-Wasith, Istanbul, al-Maktabah al-Islamiyyah, tth. Juz 2 hal 326, al-Zaawiy, al-Thahir Ahmad, Tartib Qamus al-Muhith, Riyadh, Daar ‘Alam al-Kutub, cet. 4, 1417 H/ 1996 M.
3.      Al-Zuhaeli, Wahbah, al-Fiqh al-Islami Wa adillatuh, Damaskus, Daar al-Fikr, cet. 3, 1409 H/1989.
4.      Ibnu ‘Abd al-Barr, Abu Umar, Kitab al-Kaafii Fi Fiqh Ahl al-Madinah al-Maliki, Kairo, Mathba’ah Hassan, 1399 H/1979 M.
5.      Al-Khathib, Muhammad al-Syarbini, Mughnii al-Muhtaaj, Beirut, Daar Ihya’ al-Turata al-‘Arabi, tth.
6.      Al-Maqdisi, Ibnu Qudamah, al-Mughnii, Tahqiq Dr. ‘Abdullah ibn ‘Abdul Muhsin al-Turki dan ‘Abdul Fattah Muhammad al-Hulw, Riyadh, Daar ‘Alam al-Kutub, cet. 3, 1417 H/1997 M.
7.      Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fath al-Bari, Beirut Daar al-Fikr, tth. Jld. 5 hal 393, Imam Muslim, Shahih Mulim, Riyadh, Daar ‘Alam al-Kutub, cet. 1  1417 H/1996 M.
8.      Sabiq, al-Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Beirut, Daar al-Kitab al-‘Arabi, cet. 1, 1391
9.      Abdul Mannan, M, MA, Ph.D, Prof, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta, Dana Bhakti Prima Yasa, 1997.
10.  Al-Hammad, Hamd bin Hammad bin ‘Abd al-‘Aziz, al-Ribaa Khatharuhu Wa Sabiil al-Khalash Minhu, Riyadh, al-Riasah al-‘Ammah Li Idarah al-Buhuts al-‘Ilmiyyah Wa al-Ifta’ Wa al-Dakwah Wa al-Irsyad, cet. 2, 1407 H.
11.  Al--Thabari, Ibn Jarir, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Aayi al-Qur’an, Beirut, Daar al-Fikr, 1405 H, juz 3 hal  101. ( CD Room Maktabah al-Tafsiir Wa ‘Ulum al-Qur’an ).
12.  A[1] Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktek, Jakarta, Gema Insani Press, cet. 3, 1422 H/20001 M. 



[1] Al-Qardhawi, Yusuf, Dr, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Jakarta, Rabbani Press, 2001, hal 308.
[2] Al-Qardhawi, Ibid hal 309-310.
[3] QS. Al-Hajj : 5.
[4] QS. Al-Haaqqah : 10.
[5] Mushthafa, Ibrahim, al-Mu’jam al-Wasith, Istanbul, al-Maktabah al-Islamiyyah, tth. Juz 2 hal 326, al-Zaawiy, al-Thahir Ahmad, Tartib Qamus al-Muhith, Riyadh, Daar ‘Alam al-Kutub, cet. 4, 1417 H/ 1996 M, jilid 2 hal 299- 300.
[6] Lihat al-Zuhaeli, Wahabh, al-Fiqh al-Islami Wa adillatuh, Damaskus, Daar al-Fikr, cet. 3, 1409 H/1989, jld. 4, hal 668.
[7]Lihat Ibnu ‘Abd al-Barr, Abu Umar, Kitab al-Kaafii Fi Fiqh Ahl al-Madinah al-Maliki, Kairo, Mathba’ah Hassan, 1399 H/1979 M, jld. 2, hal 3.
[8] Lihat Al-Khathib, Muhammad al-Syarbini, Mughnii al-Muhtaaj, Beirut, Daar Ihya’ al-Turata al-‘Arabi, tth. Jld. 2, hal. 21.
[9] Lihat Al-Maqdisi, Ibnu Qudamah, al-Mughnii, Tahqiq Dr. ‘Abdullah ibn ‘Abdul Muhsin al-Turki dan ‘Abdul Fattah Muhammad al-Hulw, Riyadh, Daar ‘Alam al-Kutub, cet. 3, 1417 H/1997 M, jld. 6, hal 52.
[10] QS. Al-Baqarah : 275.
[11] QS. Al-Baqarah : 278-279.
[12] Lihat al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fath al-Bari, Beirut Daar al-Fikr, tth. Jld. 5 hal 393, Imam Muslim, Shahih Mulim, Riyadh, Daar ‘Alam al-Kutub, cet. 1  1417 H/1996 M, jld. 1 hal. 92.
[13] Imam Muslim, Ibid jld. 3 hal 1219.
[14] QS. Al-Nisa’ 161.
[15] Al—Zuhaeli, Ibid hal 670. Lihat juga Mughni al-Muhtaj, jld. 2 hal 21-22.
[16] Sabiq, al-Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Beirut, Daar al-Kitab al-‘Arabi, cet. 1, 1391 H/1971 M, jld. 3, hal 135.
[17] Lihat al-‘Asqalani, Ibn Hajar, Op Cit, jld 4, hal , Imam Muslim, Op Cit, jld. 3, hal 1218. 
[18] Imam Muslim, Ibid , jld. 3, hal 1211.
[19] Lihat Mughni al-muhtaj hal 21.
[20] Abdul Mannan, M, MA, Ph.D, Prof, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta, Dana Bhakti Prima Yasa, 1997, hal. 119.
[21] Abdul Mannan, Ibid hal 120.
[22] Abdul Mannan, Ibid hal 120-121.
[23] Al-Hammad, Hamd bin Hammad bin ‘Abd al-‘Aziz, al-Ribaa Khatharuhu Wa Sabiil al-Khalash Minhu, Riyadh, al-Riasah al-‘Ammah Li Idarah al-Buhuts al-‘Ilmiyyah Wa al-Ifta’ Wa al-Dakwah Wa al-Irsyad, cet. 2, 1407 H, hal 13. 
[24] Al-Hammad, Ibid hal 13. Lihat juga : Al-Thabari, Ibn Jarir, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Aayi al-Qur’an, Beirut, Daar al-Fikr, 1405 H, juz 3 hal  101. ( CD Room Maktabah al-Tafsiir Wa ‘Ulum al-Qur’an )
[25] Al-Hammad, Op Cit hal 13-14.  Al-Thabari, Op Cit.  hal 101.
[26] Al-Zuhaeli, Wahbah, Opcit hal 682-683.
[27] Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktek, Jakarta, Gema Insani Press, cet. 3, 1422 H/2001 M, hal. 61-66. 
[28] Sekarang :وزارة الشؤون الاسلامية والاوقاف والدعوة والارشاد  (Kementrian Urusan Islam, Wakaf, Dakwah dan Penyuluhan).
[29] Al-Qardhawi, Op Cit hal 311. Lihat juga : Antonio, Op Cit,  hal. 69-70; al-Hammad, Op Cit hal. 41-42.
[30] Al-Qardhawi, Op Cit hal 312-313.
[31] Al-Hammad, Op Cit, hal 37-39. Lihat juga : Antonio, Op Cit. hal  71-72.
[32]  Lihat : al-‘Asqalani, Op Cit jld. 8 hal 205.
[33] Al-Hammad, Op Cit, hal. 34-35. Lihat juga : Antonio, Op Cit, hal. 56-58.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar