PENGHAPUSAN RIBA
SEBUAH PRINSIP DALAM EKONOMI ISLAM
( Oleh : H. Asnin
Syafiuddin, Lc. MA )
I. Pendahuluan
Di antara nilai yang ditetapkan Islam
dalam perekonomian adalah sikap adil. Cukuplah bagi kita bahwa al-Qur’an telah
menjadikan tujuan semua risalah langit adalah melaksanakan keadilan, dan al-‘Adl
(Yang Maha Adil ) adalah termasuk nama Allah. Lawan dari kata keadilan adalah
kezhaliman ( al-zhulm ), yaitu sesuatu yang telah diharamkan Allah atas
diri-Nya sebagaimana telah diharmkan atas hamba-hamba-Nya. Atas dasar inilah,
Islam mengharamkan setiap hubungan bisnis
yang mengandung kezhaliman dan mewajibkan terpenuhinya keadilan yang
teraplikasikan dalam setiap hubungan dan
kontrak-kontrak bisnis.[1]
Di antara fenomena keadilan yang paling menonjol dalam
ekonomi Islam adalah pengharaman riba.
Al-Qur’an telah mengumumkan perang dari
Allah dan Rasul-Nya terhadap orang-orang yang melakukannya (QS. Al-Baqarah :
278-279). Nabi saw. memasukkan riba ke
dalam tujuh macam dosa yang menghancurkan, “ Jauhilah tujuh macam dosa yang
membinasakan “ kata beliau, dan beliaupun menyebut “ makan riba “.
Sebagaimana beliau juga memandang riba
sebagai salah satu dari kedua perbuatan hina yang jika tersebar di
masyarakat, akan mendatangkan azab Allah. Sabda beliau “ Jika telah tampak di suatu negeri perbuatan
riba dan zina, maka mereka telah menghalalkan datangnya azab Allah pada mereka
“.[2]
Permasalahannya sekarang
adalah apakah hakekat riba yang
diharamkan Allah, adakah perbedaan riba
di zaman Nabi saw. dengan sekarang, apakah bunga pada bank-bank konvensional sama dengan riba
? Permasalahan-permasalahan inilah yang akan
dicarikan jawabannya dalam makalah ini sesuai dengan kemampuan penulis.
II. Pembahasan
1. Hakekat Riba
Riba ( الربا ) secara bahasa berasal dari kata ربا- يربو yang berarti al-ziyadah ( الزيادة / tambahan ) dan al-numuwwu (النمو / tumbuh dan berkembang ).Dikatakan ربا
المال apabila harta itu
bertambah dan berkembang. Dalam al-Qur’an Allah berfirman :[3] وترى الارض هامدة فإذا أنزلنا عليها
الماء اهتزت وربت
, artinya : “ Dan kamu lihat
bumi ini kering, kemudian apabila Kami telah turunkan air di atasnya, hiduplah
bumi dan suburlah …”. Kata ربت dalam ayat di atas bertambah dan subur.
Firman Allah yang lain [4]: فأخذهم
أخذة رابية , artinya :
“ …lalu Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang sangat keras “. Raabiyah
di sini artinya syadiidah, zaaidah yang diiterjemahkan dengan sangat
keras. [5]
Menurut istilh ulama fiqh riba adalah sebagai berikut :
- Menurut madzhab hanafi[6] :
فضل مال بلا عوض فى معاوضة مال بمال
“ Tambahan harta tanpa adanya ‘iwadh ( padanan
) dalam transaksi harta dengan harta “.
b.
Menurut madzhab Maliki [7]:
أن يأخذ صاحب الدين لتاخير دينه بعد
حلوله عوضا عينا أو عرضا وهو معنى قول العرب اما أن تقضى واما أن تربى
“
Yaitu orang yang berpiutang mengambil tambahan
dalam bentuk pisik atau sifat karena penundaan utang setelah jatuh tempo. Ini adalah arti
perkataan orang Arab : Bisa kamu lunasi atau kamu tambah “.
c. Menurut madzhab Syafi’I [8]:
عقد على عوض مخصوص غير معلوم التماثل فى معيار الشرع حالة العقد أو مع تأخير فى البدلين أو أحدهما
“ Suatu transaksi atas ‘iwadh ( padanan )
tertentu tanpa diketahui kesamaannya menurut penilaian syara’ sewaktu
transaksi, atau dengan mengakhirkan dua tukaran atau salah satunya “.
d. Menurut madzhab Hanbali[9] :
الزيادة فى أشياء مخصوصة
“ Tambahan dalam hal-hal tertentu “.
Dari
definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian riba berkisar pada
tambahan.
Riba
dalam penegertian di atas hukumnya haram menurut al-Qur’an, al-Sunnah dan
Ijma’.
Di antara
ayat al-Qur’an yang mengharamkan riba adalah :
الذين يأكلون الربوا لا
يقومون إلاّ كما يقوم الذى يتخبطه الشيطان
من المس ذلك بأتهم قالوا إنما البيع مثل الربوا و أحل الله البيع وحرّّم
الربوا
“ Orang-orang yang makan (mengambil)
riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu,
adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
“[10]
يا أيها الذين أمنوا اتقوا الله وذروا
مابقي من الربوا إن كنتم مؤمنين . فإن لم
تفعلوا فأذنوا بحرب من الله ورسوله وإن تبتم فلكم رءوس أموالكم لا تظلمون ولا
تظلمون.
“ Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kamum orang-orang yang beriman. Maka
jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa
Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya “. [11]
Di antara
al-Sunnah yang melarang riba adalah :
عن أبى هريرة رضى الله عنه عن االنبى
صلى الله عليه وسلم قال : " اجتنبوا االسبع الموبقات ". قالوا يارسول
الله وما هنّ ؟ قال : " الشرك بالله ، والسحر ، وقتل النفس التى حرم الله
إلاّ بالحق ، وأكل الربا ، وأكل مال اليتيم ، والتولى يوم الزحف ، وقذف المحصنات
المؤمنات الغافلات " (متفق عليه)
Dari
Abu Hurairah ra. Dari Nabi saw. bersabda : “ Jauhilah tujuh perkara yang
membinasakan “. Para sahabat bertanya : Wahai Rasulullah, apa tujuh perkara itu
? Beliau menkawab : “ Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan
Allah kecuali dengan alasan yang benar,
makan harta riba, makan harta anak yatim, lari dari peperangan yang sedang
berkecamuk, dan menuduh berzina terhadap wanita yang baik, mukmin dan
lalai (dari mengerjakan yang diharamkan Allah)”. Hadits Muttafaq ‘alaih.[12]
عن جابر رضى الله عنه قال : لعن رسو ل
الله صلى الله عليه وسلم آكل الربا ، وموكله ،
وكاتبه ، وشاهديه ، وقال : هم سواء
. (رواه مسلم )
Dari
Jabir ra. Ia berkata : Rasulullah saw. melaknat orang yang makan harta riba,
yang memberi makan, penulis dan kedua saksinya. Dan ia berkata : Semuanya sama.
(HR. Muslim )[13]
Ummat
telah sepakat bahwa riba hukumnya haram.
Mawardi berkata : “ Sampai dikatakan bahwa riba tidak halal dalam syari’at
manapun, sesuai dengan firman Allah (Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal
sesungguhnya mereka telah dilarang dari
padanya)[14]
, maksudnya dalam kitab-kitab terdahulu. [15]
Riba yang
diharamkan dalam Islam menurut kebanyakan ulama ada dua macam :
1) Riba al-nasi’ah.
Nasi’ah
artinya menangguhkan dan mengakhirkan. Jadi riba nasi’ah ialah tambahan
yang disyaratkan yang diambil si pemberi utang dari yang berutang karena penangguhan pembayaran. [16]
Dalil-dalil
yang mengharamkan, mencela dan mengancam riba terutama masuk di dalamnya riba
nasi’ah. Riba inilah yang terkenal pada masa Jahiliyyah, kemudian al-Qur’an
datang melarang, mencela dan mengancamnya sebagaimana telah disebutkan di
atas. Hadits juga menjelaskan riba ini
sebagaimana dalam hadits Usamah bin Zaid bahwa Nabi saw. bersabda : “ لا ربا إلا فى النسيئة “ , artinya, “Tidak
ada riba kecuali riba nasi’ah “ ( Muttafaq ‘alaih )[17]
2) Riba al-Fadhl
Al-Fadhl secara bahasa artinya
lawan dari al-naqsh atau kurang. Jadi riba fadhl adalah menjual uang dengan uang atau menjual makanan
dengan makanan dengan ada tambahan.
Riba ini
juga diharamkan berdasarkan beberapa hadits, antara lain :
عن أبي سعيد الخدرى رضى الله عنه قال :
قال رسول الله صلى الله عليه ووسلم :
" الذهب بالذهب والفضة بالفضة والبر بالبر
والشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح مثلا بمثل يدا بيد ، فمن زاد أو استزاد فقد أربى ، الآخذ والمعطي فيه
سواء " . رواه مسلم .
Dari Abu
Said al-Khudri ra. berkata : Rasulullah saw. bersabda : “ Emas hendaklah
dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung,
kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus sama dan dari tangan ke tangan ( kontan ) . Barangsiapa memberi tambahan atau meminta
tambahan, sesungguhnya ia telah berbuat riba, penerima dan pemberi sama-sama
bersalah “. ( HR. Muslim )[18]
Madzhab Syafi’I menambahkan jenis
ketiga yang dinamakan riba al-yad, yaitu penangguhan penerimaan
dua barang yang ditukarkan atau salah satunya. Sebagian madzhab Syafi’I juga
menambahkan jenis keempat yang dinamakan riba al-qardh, yaitu
utang yang disyaratkan mendapatkan keuntungan.[19]
2. Riba Dan Bunga
Sepanjang pengetahuan penulis tidak
ada orang yang mempermaslahakan haramnya
riba. Yang menjadi permasalahan adalah
apakah bunga termasuk riba atau berbeda ?
Prof. M. Abdul Mannan, M.A., Ph.D. dalam bukunya : Teori dan Praktek
Ekonomi Islam, dalam pembahasannya tentang riba, bunga dan keuntungan
setelah berbicara tentang riba
menyimpulkan bahwa riba yang terdapat pada pra-Islam ialah perpanjangan batas
waktu dan penambahan jumlah peminjaman uang sehingga berjumlah begitu besar,
sehingga pada akhir jangka waktu peminjaman itu, si peminjam akan mengembalikan
kepada yang meminjamkan sebesar dua kali
lipat atau lebih dari jumlah pokok yang dipinjamkannya. [20]
Kemudian dalam pembicaraan tentang bunga, Abdul Mannan mengutip pendapat Harberler dalam bukunya Prosperity and Depression yang menyatakan : “ Penjelasan dan penentuan
mengenai suku bunga masih saja menimbulkan lebih banyak pertentangan di antara
para ahli ekonomi, dibandingkan dengan cabang lain dari teori mengenai
bunga. Selanjutnya akan terlihat bahwa teori-teori tentang bunga
tidak dapat menjawab pertanyaan, mengapa bunga itu dibayarkan. Tetapi konsesus
pendapat menganggap bahwa bunga merupakan tambahan tetap bagi modal.
Dikemukakan bahwa tambahan yang tetap ini merupakan biaya yang layak bagi
digunakannya uang dalam suatu proses produksi. Sedangkan Riba mengacu pada
bunga uang yang terlalu tinggi pada pinjaman tidak produktif. Hal ini berlaku
pada masa pra-Islam, ketika orang belum mengenal pinjaman produktif dan
pengaruhnya pada pertumbuhan ekonomi “. [21]
Pendapat Harberler ini bunga tidak sama dengan riba, dalam arti bahwa
bunga tidak termasuk dalam riba yang dilarang dalam al-Qur’an, karena dua hal. Pertama,
bunga merupakan tambahan tetap bagi modal
sebagai biaya yang layak bagi penggunaan uang dalam proses produksi, sementara
riba merupakan bunga yang terlalu tinggi. Kedua, Pinjaman dalam bunga
bersifat produktif, sementara pinjaman
dalam riba bersifat konsumtif.
Pendapat Harberler ini kemudian dibantah oleh Abdul Manan dengan tiga
hal. Pertama, perbedaan riba
dalam Al-Quran dengan bunga dalam masyarakat kapitalis, hanya perbedaan tingkat, bukan perbedaan
jenis, karena baik riba maupun bunga merupakan ekses atas modal yang dipinjam.
Istilah ekses harus diambil dalam arti yang relatif, karena apa yang merupakan
ekses layak hari ini, mungkin dianggap suku bunga luar biasa tingginya atau
bersifat riba pada hari esok. Kedua, modal yang ditanam dalam bank tidak
dapat disamakan dengan modal yang ditanam dalam perdagangan, sebab modal yang
ditanam dalam perdagangan mungkin membawa kelebihan yang disebut laba yang
bersifat tidak tetap dan juga mengandung arti kemungkinan rugi, sedangkan modal
yang ditanam dalam bank menghasilkan bunga tetap dan tidak mengandung arti
kerugian apapun. Ketiga, tidaklah
tepat untuk mengatakan bahwa pada masa pra-Islam pinjaman tidak diberikan untuk
tujuan produksi, sebab catatan
menunjukan bahwa orang Yahudi Madinah meminjamkan uang tidak hanya untuk
tujuan konsumsi, tetapi juga untuk perdagangan. Adanya mudharabah pada
waktu itu saja atau persekutuan diam–diam di kalangan orang Arab tidak
menunjukan kenyataan bahwa bunga yang produktif tidak sedang digemari di
kalangan mereka. Sebetulnya perbedaan antara pinjaman produktif dengan yang
tidak produktif adalah perbedaan tingkatan. Jika bunga pada pinjaman konsumtif
itu berbahaya, maka bunga pada pinjaman produktif tentu berbahaya juga karena
ia merupakan biaya produksi, dan karena itu mempengaruhi harga. Konsumenlah
yang harus memikul beban harga yang lebih tinggi itu.
Karena
itu - menurut Abdul Manan - dalam analisis terakhir dapat dikatakan bahwa riba
dalam al-Qur’an dan bunga pada perbankan moderen merupakan dua sisi dari mata
uang yang sama. [22]
3. Riba Jahiliyah Dan
Riba Modern
Menurut Dr. Hamd bin Hammad bin ‘Abd
al-‘Aziz dalam bukunya al-Riba Khatharuhu
Wa Sabil al-Khalash minhu
bahwa riba Jahiliyah adalah riba nasi’ah itu sendiri yang diharamkan dalam
al-Qur’an. Menurut Hamd riba yang
sudah terkenal di kalangan orang-orang Arab Jahiliyah adalah riba nasi’ah. Menurut mereka riba nasi’ah itulah yang dinamakan riba. Sedangkan riba yang disebutkan dalam al-Sunnah
yaitu riba al-fadhl adalah istilah Islam. Orang-orang Arab
tidak mengenalnya sebagai riba walaupun mereka melakukan transaksi
dengan riba itu.[23]
Untuk menguatkan pendapatnya Dr. Hamd mengutip perkataan Mujahid yang
dinukil dalam tafsir al-Thabari tentang riba yang dilarang Allah : “ Mereka
(orang-orang Arab) di masa jahiliyah, apabila ada orang yang memberikan utang
kepada yang lain, maka orang yang berutang berkata kepada orang yang memberikan
pinjaman : Kamu akan mendapatkan bayaran sekian dan sekian dengan syarat kamu
memberikan tempo kepadaku, lalu orang yang memberikan pinjaman itupun
memberikan tempo kepadanya “.[24]
Dr. Hamd juga mengutip perkataan perkataan Qatadah dalam tafsir yang sama
: “ Riba jahiliyah adalah bahwa seseorang
menjual sesuatu kepada orang lain dalam waktu yang telah ditentukan.
Apabila telah jatuh tempo, si peminjam belum bisa melunasi, maka si pemberi
pinjaman itu menambah jumlah utang dan menunda pembayarannya “.[25]
Kalau
diperhatikan dari pembahasan riba
nasi’ah, perkataan Mujahid dan Qatadah, maka riba jahiliyah pada zaman sekarang
sama dengan bunga pada bank-bank konvensional dan lembaga-lembaga keuangan
lainnya yang melakukan transaksi simpan pinjam, di mana pihak bank atau lembaga
memberikan atau menerima sejumlah uang
dalam waktu tertentu dengan bunga sekian
persen. Jika seseorang tidak mampu mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam
pada pihak bank pada waktu yang telah ditentukan, maka bunganya pun bertambah.
Semakin lama penundaan pembayaran, semakin bertambah pula bunga yang harus
dibayar. Kalau ini berkelanjutan sehingga pokok pinjaman dan bunganya sudah
membengkak, maka pihak bank tidak segan-segan untuk menyita jaminan yang
diberikan si peminjam kepada pihak bank. Inilah barangkali yang disebut dengan
riba modern. Dalam hal ini Dr. Wahbah
al-Zuaheli mengatakan : “ Termasuk riba
nasi’ah yang dikenal sekarang dalam bank-bank dengan memberikan atau
meminjamkan uang untuk waktu tertentu dengan bunga per tahun atau bulan tujuh, lima atau dua setenganh
persen. Ini termasuk makan harta orang lain secara batil dan mengandung bahaya
riba. Hukumnya haram dan berdosa seperti riba, yakni riba nasi’ah dengan dalil
firman Allah SWT. { فإن تبتم فلكم
رؤوس أموالكم }
“ Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu “. Dewasa ini riba sudah menjadi kebiasaan manusia, yang tidak
digunakan kecuali terhadap keuntungan ketika penundaan pembayaran pinjaman.
Inilah riba nasi’ah yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. Adapun riba
fadhl, jarang sekali terjadi. Dengan demikian nampaklah maksud hadits yang
telah lalu “ Sesungguhnya riba hanyalah riba nasia’ah “, sebagai
peringatan atas bahaya dan sering terjadinya. [26]
4. Bunga Perbankan
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa
tidak ada ummat Islam yang mempermasalahkan haramnya riba, tapi yang menjadi
permasalahan adalah apakah bunga bank sama dengan riba atau tidak?. Dalam
pembahasan di atas juga disebutkan pendapat
dan argumentasi Prof. M. Abdul
Mannan MA. Ph. D. dan Dr. Wahbah
al-Zuaheli bahwa bunga bank sama
hukumnya dengan riba.
Muhammad Syafi’I Antonio dalam bukunya Bank
Syari’ah dalam pembahasannya tentang riba mengungkapkan berbagai fatwa tentang
riba dan bunga bank berikut ini :[27]
1. Majlis Tarjih
Muhammadiyah
Dalam Majelis Tarjih Siduarjo (1968) memutuskan :
a.
Riba hukumnya haram dengan nash
sharih Al-Qur’an dan As-sunnah;
b.
Bank dengan system riba hukumnya
haram dan bank tanpa riba hukumnya halal ;
c.
Bunga yang diberikan oleh
bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini
berlaku, termasuk perkara musytabihat ;
d.
Menyarankan kepada PP Muhammadiyah
untuk mengusahakan terwujudnya
konsepsi system perekonomian, khususnya lembaga perbankan, yang sesuai
dengan kaidah islam.
2.
Lajnah Bahtsul Masa’il Nahdlatul ulama
Mengenai
bank dan pembungaan uang, lajinah memutuskan masalah tersebut melalui beberapa kali sidang.
Menurut lajnah, hukum bank dan hukum bunganya sama seperti gadai. Terdapat tiga
pendapat ulama sehubungan dengan masalah ini.
a.
Haram, sebab termasuk utang yang
dipungut rente.
b.
Halal, sebab tidak ada syarat pada
waktu akad, sedangkan adat yang berlaku tidak dapat begitu saja dijadikan
syarat.
c.
Syubhat ( tidak tentu halal-haramnya
), sebab para ahli hukum berselisih
pendapat tentangnya.
Meskipun
ada perbedaan pandangan, lajnah memutuskan bahwa (pilihan) yang lebih
berhati-hati ialah pendapat pertama, yakni menyebut bunga bank adalah haram .
3. Sidang Organisasi
Konfrensi Islam ( OKI )
Semua
peserta sidang OKI kedua yang berlangsung di Karachi, Pakistan, Desember 1970, telah
menyepakati dua hal utama, yaitu sebagai berikut.
a. Praktik bank dengan sistem bunga adalah tidak
sesuai dengan syari’ah Islam.
b.
Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya
sesuai denga prinsip-prinsip syariah.
Hasil
kesepakatan inilah yang melatar belakangi didirikannya Bank Pembangunan Islam
atau Islamic Development Bank (IDB).
4.
Mufti Negara Mesir
Keputusan Kantor Mufti Negara Mesir terhadap hukum
bunga bank senantiasa tetap dan konsisten. Tercatat sekurang-kurangnya sejak
tahun 1900 hingga 1989, Mufti Negara Republik Arab Mesir memutuskan bahwa bunga
bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan.
5.
Konsul Kajian Islam Dunia (مجمع البحوث الاسلامية
)
Ulama–ulama besar dunia yang terhimpun dalam Konsul Kajian Islam Dunia
(KKID) telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank. Dalam konferensi
11 KKID yang diselenggarakan di Universitas AL-Azhar, Kairo, pada bulan
Muharram 1385 H/Mei 1965 M, ditetapkan bahwa tidak ada sedikitpun keraguan atas
keharaman praktik pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank
konvensional.
6.
Fatwa Lembaga-lembaga lain
Senada dengan ketetapan dan fatwa dari
lembaga-lembaga Islam dunia di atas, beberapa lembaga berikut ini juga
menyatakan bahwa bunga bank adalah salah satu bentuk riba yang diharamkan.
Lembaga-lembaga tersebut antara lain :
a. ( مجمع الفقه رابطة العالم
الاسلامى ) (Akademi Fiqih Liga Muslim Dunia).
b. [28]( الرئاسة
العامة للدعوة والارشاد والبحوث الاسلامية والافتاء المملكة العربية السعودية ) ( Pimpinan Pusat Dakwah, Penyuluhan,
Kajian Islam dan Fatwa, kerajaan Saudi Arabia).
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian
besar lembaga Islam terke muka di dunia
menyatakan bahwa bunga bank sama hukumnya dengan riba.
Untuk lebih meyakinkan bahwa bunga bank sama dengan
riba, berikut ini akan dikemukakan
beberapa bantahan terhadap alasan atau dalih yang dikemukakan orang-orang yang
membolehan bunga bank.
1.
Di antara dalih yang dikemukana
orang yang membolehkan bunga bank menurut al- Qardhawi adalah bahwa pemilik
uang dari pada meminjamkannya, ia dapat membelanjakannya untuk memenuhi
berbagai kebutuhannya yang sekarang dan lebih mendesak dari kebutuhannya yang
akan datang. Tetapi ia mengorbankan kebutuhannya yang sekarang dan mengutamakan
untuk menunggu. Dengan demikian ia telah memiliki modal sebagai hasil penantian ini. Penantian
dan pengorbanan ini harus dihargai . Harga atau buah dari penantian ini adalah
bunga. Jadi, bunga adalah konpensasi penantian atau konpensasi modal.
Dalih ini dibantah oleh al-Qardhawi dengan ungkapan
: “ Dalih ini bisa dibantah karena dasar pemikirannya sangat lemah . Karena
penyimpanan ( ungkapan lain untuk penantian atau pengorbanan keperluan yang
sekarang ) tidak semuanya dengan motivasi mengorbankan kebutuhannya yang
sekarang. Sebab, kadang kala kebutuhan seseorang telah terpenuhi semuanya sehingga
hartanya menumpuk melebihi kebutuhannya. Di sini jelas tidak ada penantian atau
resiko. Maka atas dasar apa orang seperti ini menerima bunga, selama ia tidak
mengalami resiko berupa tidak terpenuhinya kebutuhannya yang sekarang dan tidak
bersusah payah menanti untuk memenuhi kebutuhannya yang akan datang ? “.[29]
2. Al-Qardhawi juga mengungkapkan dalih yang
digunakan para pendukung riba atau bunga bank bahwa pemilik modal berhak
mendapatkan keuntungan yang diperoleh
peminjam dari pengelolaan uang yang dipinjamnya dari pemilik modal,
karena keuntungan tersebut merupakan perpaduan antara kerja dan modal.
Bagaimana hak keuntungan itu hanya diberikan kepada pekerja, sementara pemilik
modal tidak mendapatkannya ?
Untuk menjawab dalih ini al-Qardhawi mengutip perkataan
Muhammad Abdullah Darraz : “ Adapun keuntungan tersebut memang bukan hasil dari
satu unsure tetapi hasil dari dua unsure yang berpadu. Tak diragukan lagi,
memang demikian halnya. Tetapi, para pembantah melihat sesuatu yang esensial
dan substansial, yaitu bahwa begitu terjadi kontrak pinjam, maka kerja
(pengelolaan) dan modal menjadi berada di tangan satu orang, dan tidak ada lagi
hubungan pemberi pinjaman dengan modal tersebut. Bahkan peminjam menjadi pihak
yang berwenang sepenuhnya untuk mengelolanya, baik mendapatkan keuntungan
maupun kerugian. Seandainya modal tersebut musnah atau bangkrut, maka menjadi
tanggung jawabnya sendiri. Seandainya kita bersikeras untuk menyertakan pemberi
pinjaman dalam mendapatkan keuntungan yang dihasilkan, maka pada saat yang sama
kita harus menyertakan dalam menanggung
kerugian yang terjadi. Karena setiap hak pasti disertai kewajiban, atau seperti
dikatakan oleh ucapan bijak Nabi saw. :الخراج بالضمان “ Pemilikan hasil dan
manfaat barang dengan jaminan “ (HR. Syafi’I, Ahmad, Ashabus Sunan,
Thayalisi dan Thahawi ).[30]
3. Para pendukung bunga bank juga berdalih bahwa
yang riba atau bunga yang diharamkan Islam adalah yang bersifat konsumtif bukan
produktif, karena mengambil keuntungan dari pinjaman yang bersifat konsumtif
merupakan tindakan a moral, sedangkan turut serta dalam mengambil bunga atau
keuntungan dari pinjaman yang produktif
adalah merupakan keadilan.
Mereka juga berdalih bahwa riba yang konsumtif
itulah yang terkenal di zaman Rasulullah
saw. dan turunnya al-Qur’an. Jadi haramnya riba berkaitan denngan ini.
Dalih ini bisa dibantah dengan sebagai berikut :
1)
Pengharaman riba merupakan
penataan ekonomi terhadap modal. Orang yang mampu mengelola modal secara
sendirian atau bersama orang lain, silakan melakukannya. Orang yang tidak mampu
mengelola sendiri, silakan berikan kepada orang lain dengan sayarat keuntungan
dan kerugian ditanggung berdua. Si pekerja rugi tenaga dan usaha, sedangkan si
pemilik modal rugi karena modalnya berkurang. Ini adalah adil. Tidak adil kalau salah satunya selalu untung
sedang yang lainnya bisa jadi rugi.
2)
Nash-nash yang mengharamkan riba
mutawatir, dan pengharaman riba mencakup semua bentuk riba. Kemudian fakta
sejarah bertolak belakang dengan apa yang mereka katakana; banyak sekali
pinjaman riba pada masa jahiliyah termasuk jenis produktif. Orang-orang Arab
jahiliyah biasa melakukan perdagangan. Orang-orang Quraisy mempunyai dua
perjalanan dagang sebagaimana yang dicatat dalam al-Qur’an, yaitu pada musim
dingin dan pada musim panas. Perdagangan
semacam ini membutuhkan banyak modal.
Jadi klaim bahwa pinjaman yang terjadi pada masa jahiliyah hanya untuk
keperluan konsumsi tidak berdasar sama sekali, di samping nash yang mengharmkan
riba mencakup dua hal.[31]
4. Para pendukung
riba atau bunga bank juga mengatakan bahwa yang diharamkan itu riba atau bunga
yang berlipat ganda, bukan bunga yang sedikit, karena pengerukan keuntungan
sangat nampak sekali pada riba atau bunga yang berlipat ganda. Mereka
mendasarkan pendapatnya ini dengan al-Qur’an surat Ali Imran : 130 “ Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda “ yang
menurut mereka diturunkan setelah surat
al-Baqarah. Jadi ayat-ayat riba dalam surat
al-Baqarah dinasakh oleh ayat di atas. Jadi menurut mereka larangan riba
didasarkan pada riba yang berlipat ganda, mafhum mukhalafahnya kalau riba itu
tidak berlipat ganda, maka tidak dilarang.
Untuk membantah pendapat
ini, bisa disampaikan hal-hal sebagai berikut :
1)
Kalau diperhatikan nash-nash yang
menyebutkan riba, tidak dibedakan riba yang diharamkan dan riba yang tidak
diharamkan. Semua riba haram, banyak maupun sedikit.
2)
Ayat riba yang berlipat ganda
bukan ayat riba yang terakhir sekali diturunkan. Tetapi ayat riba yang terakhir
sekali diturunkan adalah yang terdapat dalam surat al-Baqarah sebagaimana diriwayatkan
oleh Imam al-Bukhari dari Ibnu Abbas.[32]
3)
Penyebutan riba yang berlipat
ganda tidak berarti yang tidak berlipat ganda boleh. Al-Qur’an menyebutkan hal
ini menunjukkan bahwa riba akan sampai pada kondisi yang sangat buruk yang
menyebabkan orang lari dari berinteraksi dengannya. [33]
III. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa riba
yang diharamkan Allah adalah berkisar pada pengambilan tambahan dari harta
pokok atau modal secara batil . Riba yang diharamkan ini menurut kebanyakan
ulama ada dua : riba nasi’ah dan riba fadhl, dan menurut madzhab Syafi’I
ditambah dengan riba yad dan riba qardh. Riba yang terdapat pada masa jahilyah
khusunya riba nasi’ah terdapat juga pada masa sekarang dalam bentuk bunga pada
bank-bank konvensional dan lembaga-lembaga simpan pinjam, yang hukumnya menurut
pendapat yang kuat sama dengan riba yang diharamkan Allah. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Qardhawi,
Yusuf, Dr, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Jakarta, Rabbani
Press, 2001..
2. Mushthafa, Ibrahim, al-Mu’jam al-Wasith,
Istanbul,
al-Maktabah al-Islamiyyah, tth. Juz 2 hal 326, al-Zaawiy, al-Thahir Ahmad, Tartib
Qamus al-Muhith, Riyadh,
Daar ‘Alam al-Kutub, cet. 4, 1417 H/ 1996 M.
3. Al-Zuhaeli,
Wahbah, al-Fiqh al-Islami Wa adillatuh, Damaskus, Daar al-Fikr, cet. 3,
1409 H/1989.
4. Ibnu ‘Abd
al-Barr, Abu Umar, Kitab al-Kaafii Fi Fiqh Ahl al-Madinah al-Maliki,
Kairo, Mathba’ah Hassan, 1399 H/1979 M.
5. Al-Khathib,
Muhammad al-Syarbini, Mughnii al-Muhtaaj, Beirut, Daar Ihya’ al-Turata al-‘Arabi, tth.
6. Al-Maqdisi, Ibnu
Qudamah, al-Mughnii, Tahqiq Dr. ‘Abdullah ibn ‘Abdul Muhsin al-Turki dan
‘Abdul Fattah Muhammad al-Hulw, Riyadh, Daar ‘Alam al-Kutub, cet. 3, 1417
H/1997 M.
7. Al-Asqalani,
Ibnu Hajar, Fath al-Bari, Beirut Daar al-Fikr, tth. Jld. 5 hal 393, Imam
Muslim, Shahih Mulim, Riyadh,
Daar ‘Alam al-Kutub, cet. 1 1417 H/1996
M.
8. Sabiq,
al-Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Beirut,
Daar al-Kitab al-‘Arabi, cet. 1, 1391
9. Abdul Mannan, M,
MA, Ph.D, Prof, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta,
Dana Bhakti Prima Yasa, 1997.
10. Al-Hammad, Hamd
bin Hammad bin ‘Abd al-‘Aziz, al-Ribaa Khatharuhu Wa Sabiil al-Khalash
Minhu, Riyadh, al-Riasah al-‘Ammah Li Idarah al-Buhuts al-‘Ilmiyyah Wa
al-Ifta’ Wa al-Dakwah Wa al-Irsyad, cet. 2, 1407 H.
11. Al--Thabari, Ibn
Jarir, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Aayi al-Qur’an, Beirut, Daar al-Fikr,
1405 H, juz 3 hal 101. ( CD Room
Maktabah al-Tafsiir Wa ‘Ulum al-Qur’an ).
12. A[1] Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank
Syari’ah Dari Teori Ke Praktek, Jakarta,
Gema Insani Press, cet. 3, 1422 H/20001 M.
[1]
Al-Qardhawi, Yusuf, Dr, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam,
Jakarta, Rabbani Press, 2001, hal 308.
[2]
Al-Qardhawi, Ibid hal 309-310.
[3] QS.
Al-Hajj : 5.
[4] QS.
Al-Haaqqah : 10.
[5]
Mushthafa, Ibrahim, al-Mu’jam al-Wasith, Istanbul, al-Maktabah al-Islamiyyah, tth. Juz
2 hal 326, al-Zaawiy, al-Thahir Ahmad, Tartib Qamus al-Muhith, Riyadh,
Daar ‘Alam al-Kutub, cet. 4, 1417 H/ 1996 M, jilid 2 hal 299- 300.
[6] Lihat
al-Zuhaeli, Wahabh, al-Fiqh al-Islami Wa adillatuh, Damaskus, Daar
al-Fikr, cet. 3, 1409 H/1989, jld. 4, hal 668.
[7]Lihat
Ibnu ‘Abd al-Barr, Abu Umar, Kitab al-Kaafii Fi Fiqh Ahl al-Madinah al-Maliki,
Kairo, Mathba’ah Hassan, 1399 H/1979 M, jld. 2, hal 3.
[8] Lihat
Al-Khathib, Muhammad al-Syarbini, Mughnii al-Muhtaaj, Beirut, Daar Ihya’ al-Turata al-‘Arabi, tth.
Jld. 2, hal. 21.
[9] Lihat
Al-Maqdisi, Ibnu Qudamah, al-Mughnii, Tahqiq Dr. ‘Abdullah ibn ‘Abdul Muhsin
al-Turki dan ‘Abdul Fattah Muhammad al-Hulw, Riyadh, Daar ‘Alam al-Kutub, cet.
3, 1417 H/1997 M, jld. 6, hal 52.
[10] QS.
Al-Baqarah : 275.
[11] QS.
Al-Baqarah : 278-279.
[12] Lihat
al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fath al-Bari, Beirut Daar al-Fikr, tth. Jld. 5 hal
393, Imam Muslim, Shahih Mulim, Riyadh,
Daar ‘Alam al-Kutub, cet. 1 1417 H/1996
M, jld. 1 hal. 92.
[13] Imam
Muslim, Ibid jld. 3 hal 1219.
[14] QS.
Al-Nisa’ 161.
[15]
Al—Zuhaeli, Ibid hal 670. Lihat juga Mughni al-Muhtaj, jld. 2 hal 21-22.
[16] Sabiq,
al-Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Beirut,
Daar al-Kitab al-‘Arabi, cet. 1, 1391 H/1971 M, jld. 3, hal 135.
[17] Lihat
al-‘Asqalani, Ibn Hajar, Op Cit, jld 4, hal , Imam Muslim, Op Cit, jld. 3, hal
1218.
[18] Imam
Muslim, Ibid , jld. 3, hal 1211.
[19] Lihat
Mughni al-muhtaj hal 21.
[20] Abdul
Mannan, M, MA, Ph.D, Prof, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta, Dana Bhakti Prima Yasa, 1997, hal. 119.
[21] Abdul
Mannan, Ibid hal 120.
[22] Abdul
Mannan, Ibid hal 120-121.
[23]
Al-Hammad, Hamd bin Hammad bin ‘Abd al-‘Aziz, al-Ribaa Khatharuhu Wa Sabiil
al-Khalash Minhu, Riyadh, al-Riasah al-‘Ammah Li Idarah al-Buhuts
al-‘Ilmiyyah Wa al-Ifta’ Wa al-Dakwah Wa al-Irsyad, cet. 2, 1407 H, hal
13.
[24]
Al-Hammad, Ibid hal 13. Lihat juga : Al-Thabari, Ibn Jarir, Jami’ al-Bayan ‘an
Ta’wil Aayi al-Qur’an, Beirut, Daar al-Fikr, 1405 H, juz 3 hal 101. ( CD Room Maktabah al-Tafsiir Wa ‘Ulum
al-Qur’an )
[25]
Al-Hammad, Op Cit hal 13-14. Al-Thabari,
Op Cit. hal 101.
[26]
Al-Zuhaeli, Wahbah, Opcit hal 682-683.
[27]
Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktek, Jakarta,
Gema Insani Press, cet. 3, 1422 H/2001 M, hal. 61-66.
[28]
Sekarang :وزارة الشؤون الاسلامية والاوقاف والدعوة
والارشاد (Kementrian Urusan Islam, Wakaf, Dakwah dan
Penyuluhan).
[29]
Al-Qardhawi, Op Cit hal 311. Lihat juga : Antonio, Op Cit, hal. 69-70; al-Hammad, Op Cit hal. 41-42.
[30]
Al-Qardhawi, Op Cit hal 312-313.
[31]
Al-Hammad, Op Cit, hal 37-39. Lihat juga : Antonio, Op Cit. hal 71-72.
[32] Lihat : al-‘Asqalani, Op Cit jld. 8 hal 205.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar