BEBERAPA SARANA SYIRIK YANG BERTENTANGAN DENGAN TAUHID
ATAU DENGAN KESEMPURNAAN TAUHID
Sarana yang dalam bahasa Arabnya
bahasa Arabnya wasilah adalah sesuatu yang mengantar kepada sesuatu
yang lain. Dalam syari’at Islam, sarana memiliki hukum yang sama dengan sesuatu
ke mana sarana itu mengantar. Jadi, kalau sarana itu mengantar kepada syirik
besar, maka sarana itu hukumnya sama
dengan syirik besar yang bertentangan dengan tauhid. Begitu juga, kalau sarana
itu mengantar kepada syirik kecil, maka
sarana itu hukumnya sama dengan syirik kecil yang bertentangan dengan
kesempurnaan tauhid. Oleh karena itu mengetahui sarana syirik merupakan suatu
yang sangat penting. Berikut ini, akan disebutkan beberapa sarana syirik yang
sangat penting untuk diketahui.
I. TAWASSUL YANG BID’AH
A. Pengertian Tawassul
Dalam bahasa
Arab, tawassul berarti taqarrub atau mendekat. Misalnya firman Allah SWT
:
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ
Orang-orang yang mereka seru itu,
mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka ( QS. Al-Isra’/17 : 57 )
Maksud ayat
di atas adalah, jalan yang dapat mendekatkan mereka kepada Tuhan mereka.
Dalam terminology syari’at Islam, tawassul adalah taqarrub (mendekatkan diri) kepada
Allah dengan melakukan bebagai ketaatan dan meninggalan larangan. Pengertian
inilah yang dimaksudkan oleh para Mufassir (Ahli Tafsir) dalam menafsikan ayat
di atas (al-Isra’:57). Tawassul digunakan juga dalam arti mendekatkan diri
kepada Allah melalui doa orang lain dan doa orang yang mendekatkan diri
tersebut kepada Allah dengan menggunakan nama dan sifat Allah dan lainnya.
B.
Pembagian Tawassul
Tawassul secara garis besar dibagi
menjadi dua jenis : tawassul masyru’ (diperintahkan) dan tawassul
ghayru masyru’ (tidak diperintahkan).
Tawassul
masyru’ (diperintahkan) yaitu taqarrub kepada Allah dengan cara yang
dicintai dan diridhai Allah. Misalnya dengan ibadah-ibadah wajib atau sunnah,
baik berupa perkataan maupun perbuatan atau keyakinan. Tawassul masyru’
ini memiliki banyak jenis :
Pertama, tawassul kepada
Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya Allah berfirman :
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
Hanya milik Allah asma-ul husna,
maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu. (QS. Al-A’raf/7
: 180 )
Kedua,
tawassul kepada Allah dengan Iman dan Tauhid. Firman-Nya :
رَبَّنَا آَمَنَّا بِمَا
أَنْزَلْتَ وَاتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ
Ya Tuhan kami, kami telah beriman
kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu
masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang
keesaan Allah)". ( QS. Ali Imran/3 : 53 )
Ketiga,
tawassul kepada Allah dengan amal saleh dimana seorang hamba memohon kepada
Allah dengan menyebutkan amalnya paling baik seperti shalat, puasa, membaca
Al-Qur’an, meninggalkan yang haram dan semacamnya. Yang termasuk klasifikasi
ini adalah :
1.
Dengan menyebutkan amal yang
paling baik. Contoh : hadits yang menceritakan tiga orang terperangkap dalam
gua. (lihat hadits R. Shalilhin bab Ikhlas no 12)
2.
Dengan menyebut kebutuhan seorang
hamba kepada Allah. Contoh dilakukan oleh Nabi Ayyub. Firman Allah :
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ
أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika
ia menyeru Tuhannya: "(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa
penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua
penyayang". (QS. Al-Anbiya’/21 : 83)
3.
Mengakui kezaliman seorang hamba
terhadap dirinya sendiri. Contoh yang
dilakukan oleh Nabi Yunus. Al-Qur’an melukiskannya :
وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ
أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun
(Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami
tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang
sangat gelap: "Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau.
Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang
zalim." (QS. Al-Anbiya’/21 : 87)
4.
Dengan bertobat. contoh berkata
seperti ini : “Ya Allah sesungguhnya aku telah bertobat kepada-Mu maka ampunilah
aku.”
Keempat,
tawassul dengan doa orang-orang saleh.
Contoh : seseorang mengatakan kepada orang yang dianggap saleh : “Berdoalah
untukku” atau “jangan lupa berdoa untukku wahai saudaraku”, dan orang itu
mendengarkan permintaan tersebut. Di antara dalil tawassul ini adalah hadits :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ
فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا
وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ
Dari Anas bin
Malik bahwa Umar bin Khattab ra apabila mereka ditimpa kemarau, beliau meminta hujan dengan perantaraan Abbas
bin Abdul Muthalib. Beliau berkata : Ya Allah, sesungguhnya kami dulu
bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan Nabi kami lalu Engkau menurunkan hujan
kepada kami, dan sekarang kami bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan paman
nabi kami, maka turunkanlan hujan kepada kami, lalu mereka pun diturunkan
hujan. (HR. Bukhari)
Sedangkan tawassul ghayru
masyru’ (tidak diperintahkan/tawassul yang bid’ah), yaitu taqarrub
kepada Allah dengan cara yang tidak dicintai dan diridhai Allah, baik dengan
perkataan maupun perbuatan atau keyakinan.
Pertama,
tawassul kepada Allah dengan berdoa dan memohon pertolongan kepada yang telah
mati atau ghaib dan semacamnya. Ini digolongkan sebagai syirik besar yang
bertentangan dengan tauhid dan menyebabkan pelakunya keluar dari Islam.
Kedua,
tawassul kepada Allah dengan bernadzar kepada wali-wali dan orang-orang shalih
yang telah meninggal. Contoh perkataan seseorang : “Wahai Tuanku Fulan, bila
Allah memberi rezeki kepadaku dengan sesuatu, maka akan aku jadikan untukmu
sesuatu”. Karena nadzar termasukibadah, memberikan sebagian ibadah kepada
selain Allah termasuk syirik”.
Ketiga,
tawassul kepada Allah dengan menyembelih hewan kurban kepada arwah para wali.
Tawassul yang diperselisihkan.
Selain
tawassul yang telah disepakati oleh para ulama, yaitu tawassul yang
diperintahkan dan yang tidak diperintahkan, ada juga tawassul yang
diperselisihkan oleh para ulama, yaitu tawassul dengan diri, pangkat, hak,
kedudukan Nabi saw dan orang-orang shaleh. Hal itu seperti perkataan seseorang
: (اللَّهُمَّ
إِنِّي أَسْأَلُك بِنَبِيِّك أَوْ بِجَاهِ نَبِيَّك أَوْ بِحَقِّ نَبِيَّك /Ya Allah, saya mohon kepada-Mu
dengan perantaraan Nabi-Mu, atau kedudukan Nabi-Mu, atau hak Nabi-Mu).
Kebanyakan Ulama fiqh (madzhab
Maliki, Syafi’i, ulama madzhab Hanafi
yang datang kemudian, dan sebagian ulama madzhab Hanbali) berpendapat bahwa
boleh bertawassul dengan diri, kedudukan dan hak Nabi saw, baik pada masa
hidupnya maupun setelah wafatnya. Di antara dalil mereka adalah :
1.
Firman Allah dalam surat al-Isra’ :
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ
Orang-orang
yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka ( QS.
Al-Isra’/17 : 57 )
2.
Hadits tentang orang buta
yang memohon kepada Rasululah saw. untuk mendoakannya sebagaimana disebutkan
dalam hadits di bawah ini :
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ أَنَّ
رَجُلًا ضَرِيرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
: ادْعُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَنِي ، قَالَ : إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ ، وَإِنْ شِئْتَ
صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ . قَالَ : فَادْعُهْ ، قَالَ : فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ
، فَيُحْسِنَ وُضُوءَهُ وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ : اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ
بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ ، إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي
فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ ، اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ .
Dari Usman bin Hunaif bahwa
seorang laki-laki buta datang kepada Rasulullah saw. seraya berkata :
berdo’alah kepada Allah agar menyembuhkanku. Beliau bersabda : “jika kamu
menghendaki aku berdoa, dan jika kamu menghendaki kamu bersabar”. Laki-laki itu
berkata : berdoalah kepada-Nya. Lalu beliau memerintahkannya berwudhu. Ia lalu
berwudhu dengan sempurna dan berdoa dengan doa ini : “Ya Allah, aku mohon
kepada-Mu dan aku berhadap kepada-mu dengan perantaraan Nabi Muhammad, Nabi
rahmat, aku berhadap dengan
perantaraanmu kepada Tuhanku dalam hajatku ini agar di penuhi, Ya Allah, beri
syafaatlah kepadanya karenaku. (HR. Tirmidzi, dan beliau mengatakan : hadits
hasan shahih)
3.
Sabda Rasulullah saw dalam berdo’a untuk
Fatimah binti Asad :
اغْفِرْ
لأُِمِّي فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ ولَقِّنْهَا حُجَّتَها وَوَسِّعْ عَلَيْهَا
مُدْخَلَهَا بِحَقِّ نَبِيِّك وَالأَْنْبِيَاءِ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِي فَإِنَّك
أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
(Ya
Allah) ampuni ibuku Fatimah bin Asad, ajarkanlah dia berargumentasi,
lapangkanlah kuburannya dengan perantaraan hak Nabi-Mu dan para nabi sebelumku,
karena sesungguhnya Engkau Maha Pemberi rahmat. (HR. Thabrani dalam al-Mu’jam
al-Kabir dan al-Mu’jam al-wasith, al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid, beliau
berkata : dalam hadits itu ada Ruh ibn ash-Shalah yang dinilai tsiqah
(dapat dipercaya) oleh Ibnu Hibban dan Hakim, dan dalam hadits itu ada
kelemahan, sedangkan perawi lainnya adalah shahih.
Sedangkan
Ibnu
Taimiah dan Ibnu Qoyyim berpendapat bahwa tawassul ini tidak dibenarkan dalam
Islam. Karena perbuatan manusia hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri di sisi
Allah SWT. Sebgaimana firman Allah di bawah ini :
وَأَنْ
لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
Dan bahwasanya seorang manusia
tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (QS. An-Najm/53 : 39)
Jadi kedudukan mulia seseorang yang saleh di
sisi Allah hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, tidak bagi orang lain. Adalah
suatu kesalahan besar orang yang menganalogikan Allah dengan manusia. Jika
dalam hubungan sesama manusia kita sering menggunakan perantara karena adanya
manfaat tertentu yang diperolehnya, maka kepada Allah hal itu tidak dibutuhkan.
Untuk memperoleh keridhoan Allah seorang hamba tidak perlu menggunakan perantara. Itulah sebabnya para sahabat tidak
melakukan hal dengan kedudukan Rasulullah saw di sisi-Nya. Mereka setelah
wafatnya Rasul justru memohon kepada Abbas untuk mendo’akan mereka. Hal ini
yang pernah dilakukan Umar bin Khattab ra. Dalam shahih Al-Bukhari disebutkan
bahwa Umar meminta hujan (kepada Allah) bertawassul dengan (do’a) Al-Abbas
–Paman Rasul- dan ia berkata: “Ya Allah, sesungguhnya kami apabila tertimpa
kepayahan/kekeringan, kami bertawassul kepada Engkau dengan Nabi kami, kemudian
Engkau menghujani kami. Dan apabila kami bertawassul kepada Engkau dengan paman
Nabi kami, hendaklah Engkau menghujani kami, akhirnya mereka diberikan hujan.”
Di sini Imam Ibnu Taimaih berkata: “Do’a Umar
dalam istisqo ini……. menunjukan bahwa tawassul merupakan bentuk tawassul yang
dibenarkan. Itulah tawassul dengan do’a dan syafaatnya bukan meminta dengan
dzatnya. Karena seandainya hal ini (meminta dengan dzatnya) diperbolehkan maka
Umar, sahabat Muhajirin dan Anshar niscaya bertawassul dengan dzat Nabi, tidak
bertawassul dengan Al-Abbas.” (Qoidah Jaliah fii at-Tawassul, Ibnu Taimiah, 58)
Adapun hadits tentang orang buta yang berkata
kepada Rasulullah saw “Aku bertawassul
denganmu wahai Muhammad kepada Tuhanmu.” (HR Ibnu Majah dan At-Tirmidzi),
maksudnya adalah permohonan kepada Rasulullah untuk mendo’akannya. Karena
Rasulullah selanjutnya berkata kepada orang itu; “Ya Allah, beri syafaatlah
kepadanya karenaku.” (Imam Ahmad). Hal ini dengan mengasumsikan bahwa hadits
ini adalah shahih, sebab sebenarnya sanadnya terputus. (Lihat Almadkhal
liddirasati al-aqidat al-islamiah ‘alaa madzhabi ahli as-sunnah wa al-jama’ah,
DR Ibrahim Al-Buraikan).
Adapun hadits “Bertawassullah kamu dengan
kedudukanku kerena kedudukanku di sisi Allah matlah besat.” Adalah maudlu’
(dipalsukan). (Lihat Silsilat al-ahaadits ad-dho’ifah wa al-maudhu’at,
Al-Baany).
Dan sementara bertawassul dengan dzat
orang-orang yang saleh juga mengandung banyak pengertian yang semua dilarang dan
bertentangan dengan syari’at :
a.
Bertawassul dengan kedudukan seseorang di sisi
Allah.
b.
Dengan lafadz itu ia ingin bersumpah kepada
Allah. Dan bersumpah kepda Allah dengan selainnya adalah haram dan termasuk
syirik kecil.
c.
Ia ingin membuat perantara antara Allah dengan
hamba-hambaNya dalam mendatangkan manfaat dan menolak madharat.
d.
Dengan lafadz ini ia bermaksud memohon berkah
yang tidak dibenarkan.
Dan beberpa hadits yang digunakan dalil oleh
kelompok ulama pertama dijawab para
Ulama yang tidak memperbolehkan bahwasanya yang dimaksud dengan tawassul di
sana adalah permohonan do’a kepada Rasulullah saw dan sebenarnya hadits yang
berkaitan dengan orang buta adalah dho’if.
Dari kedua pendapat di atas jelaslah bahwa
tawassul dengan zat, kedudukan, dan hak
Nabi dan orang-orang yang shaleh adalah merupakan khilaf fiqhy yang menjadi
perdebatan para Ulama. Oleh karena itu, Imam Hasan Al-Banna dalam Ushul
Al-‘Isyriin berkata: “Dan berdo’a apabila disertai dengan tawassul kepada Allah
dengan seseorang dari makhlukNya adalah khilaf far’i (fiqhy) dalam cara berdo’a
dan bukan merupakan masalah-masalah aqidah.”
Sikap Seorang Mukmin
Untuk
menjaga tauhid dan kesempuranannya, setiap mukmin harus berupaya dan berusaha
menjauhkan dirinya dari bentuk tawassul yang mengandung bid’ah dan dilarang
oleh Islam. Karena tawassul yang mengandung nilai kemungkaran ini akan
berpengaruh pada terkabulnya do’a itu sendiri. Oleh karena itu, untuk
kehati-hatian sebaiknya seorang muslim tidak melakukan tawassul dengan zat,
kedudukan, dan hak Nabi dan orang-orang shaleh yang diperselisihkan itu. Masih
banyak cara tawassul yang diperbolehkan yang tidak diperdebatkan para ulama. Di
samping itu agar doa terkabul, setiap
mukmin hendaknya memperhatikan do’a-do’a yang bersumber dari Al-Quran dan
As-Sunnah. Tentunya selain menjaga etika-etika berdo’a yang telah ditetapkan
para Ulama seperti yang paparkan Imam Ibnu Qoyyim dalam Kitab Al-Jawaab
Al-Kaafi. Hal ini dimaksudkan agar do’a cepat dan mudah dikabulkan Allah SWT.
II. BERLEBIH-LEBIHAN
DALAM MENGAGUNGKAN NABI SAW
Nabi saw melarang sikap ghuluww
(berlebih-lebihan dalam mengagungkan dan memuji beliau. Beliau bersabda :
لَا
تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ
فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
(رواه البخاري).
Janganlah kalian memujiku secara berlbih-lebihan sebagaimana orang-orang
Nasrani memuji Isa bin Maryam secara berlebih-lebihan. Sesungguhnya aku adalah
hamba-Nya, maka katakanlah hamba Allah dan Rasul-Nya. (HR. Bukhari)
Pujian yang
tidak berlebih-lebihan adalah pujian yang diberikan Allah dalam al-Qur’an dengan menggunakan kata ‘abd’
(hamba) yang merupakan kedudukan yang paling mulia.
Apabila beliau melihat atau
mendengar perbuatan atau perkataan yang membawa pada sikap ghuluw tehadap diri
beliau, beliau mencegahnya. Dalam hadits :
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا سَيِّدَنَا وَابْنَ سَيِّدِنَا وَيَا خَيْرَنَا وَابْنَ
خَيْرِنَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَيُّهَا
النَّاسُ قُولُوا بِقَوْلِكُمْ وَلَا يَسْتَهْوِيَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ أَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهِ مَا أُحِبُّ أَنْ
تَرْفَعُونِي فَوْقَ مَا رَفَعَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ (رواه أحمد).
Dari Anas bin Malik bahwa seorang laki-laki berkata : wahai Muhammad, wahai
tuan kami dan putra tuan kami, wahai orang yang terbaik di antara kami dan
putra orang terbaik di antara kami. Lalu Rasulullah saw bersabda:”Wahai
manusia, katakanlah sesuai dengan perkataan orang yang ahli dalam agama di
antara kalian, dan janganlah kalian dihinakan oleh setan, aku adalah Muhammad
bin Abdullah seorang hamba Allah dan rasul-Nya, aku tidak suka kalian
mengangkatku melebihi apa yang Allah ‘azza wa jalla telah mengangkatku”. (HR.
Ahmad)
III. SIKAP GHULUW (BERLEBIH-LEBIHAN) TERHADAP ORANG SHALEH
Di antara yang dilarang Islam
adalah sikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap orang shaleh. Oleh
karena itu Allah berfirman menginatkan Ahli Kitab :
يَا أَهْلَ
الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا
الْحَقَّ
)النساء:171)
Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam
agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang
benar. (QS. An-Nisa’:171)
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ
لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ
قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ
(المائدة:77)
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu
berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya
(sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan
(manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus." (QS. Al-Maidah:77)
Syirik yang pertama sekali terjadi dipermukaan bumi adalah-yaitu syirik
kaum Nabi Nuh- disebabkan sikap berlebih-lebihan terhadap orang shalih. Dalam
shahih Bukhari diriwayatkan dari Ibnu Abbas ttg tuhan mereka Wadd, Suwa’,
Yaguts, Ya’uq, dan Nasr :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا صَارَتْ الْأَوْثَانُ الَّتِي كَانَتْ فِي
قَوْمِ نُوحٍ فِي الْعَرَبِ بَعْدُ أَمَّا وَدٌّ كَانَتْ لِكَلْبٍ بِدَوْمَةِ
الْجَنْدَلِ وَأَمَّا سُوَاعٌ كَانَتْ لِهُذَيْلٍ وَأَمَّا يَغُوثُ فَكَانَتْ
لِمُرَادٍ ثُمَّ لِبَنِي غُطَيْفٍ بِالْجَوْفِ عِنْدَ سَبَإٍ وَأَمَّا يَعُوقُ
فَكَانَتْ لِهَمْدَانَ وَأَمَّا نَسْرٌ فَكَانَتْ لِحِمْيَرَ لِآلِ ذِي الْكَلَاعِ
أَسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِينَ مِنْ قَوْمِ نُوحٍ فَلَمَّا هَلَكُوا أَوْحَى
الشَّيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ أَنْ انْصِبُوا إِلَى مَجَالِسِهِمْ الَّتِي
كَانُوا يَجْلِسُونَ أَنْصَابًا وَسَمُّوهَا بِأَسْمَائِهِمْ فَفَعَلُوا فَلَمْ
تُعْبَدْ حَتَّى إِذَا هَلَكَ أُولَئِكَ وَتَنَسَّخَ الْعِلْمُ عُبِدَتْ .
Dari Ibnu Abbas ra : Berhala-berhala yang dulu disembah oleh kaum Nabi Nuh
adalah berhala-berhala yang kemudian disembah oleh orang-orang Arab sesudahnya.
Adapun Wadd adalah behala suku Kalb di Daumatul Jandal, Suwa’ adalah berhala
suku Hudzail, Yaguts adalah berhala suku Murad kemudian Bani Ghuthaif di Jauf
di Saba’, Ya’uq adalah berhala suku Hamdan, Nasr adalah berhala suku Himyar
keluarga Dzil Kila’. (Dikatakan mereka itu) adalah nama-nama orang-orang
shalih dari kaum Nabi Nuh. Setelah
mereka meninggal dunia, setan membisikkan kepada kaumnya untuk membuat patung
di tempat dulu mereka duduk dan memberikan nama patung-patung itu dengan nama
mereka. Lalu kaum nabi Nuh itu melakukannya, patung-patung itubelum disembah.
Baru setelah mereka meninggal dunia dan
lenyaplah pengetahuan tentang patung-patung itu, patung-patung itu disembah.
Sebagian Ulama Salaf berkata : Ketika orang-orang
shalih itu meninggal, mereka (pengikutnya) berdiam diri di kuburan mereka,
kemudian membuat patung mereka. Setelah berlalu waktu yang panjang, mereka
menyembahnya.
Dari sinilah bahwa sikap ghuluw sebagian
umat Islam terhadap orang-orang yang mereka yakini orang shalih dan wali
–khususnya kuburan-kuburan yang mereka
ziarahi- akan membawa pada beberapa bentuk kemusyrikan, seperti nadzar,
berkurban, memohon pertolongan pada mereka dan semacamnya. Dan bisa jadi akan
membwa pada syirik besar, yaitu keyakinan bahwa mereka mempunyai kekuasaan dan
pengaruh di alam ini, sehingga mereka menyembah selain Allah atau menyembah mereka bersama menyembah
Allah.
IV. MENGAGUNGKAN KUBURAN
Di antara
yang sangat diperingatkan Islam adalah mengagungkan kuburan, khususnya kuburan
para Nabi dan orang shalih. Oleh karena itu Islam melarang beberapa hal yang
membawa pada pengagungan kuburan, di antaranya :
1.
Menjadikan kuburan sebagai
masjid.
Sabda
Rasulullah saw :
أَلَا وَإِنَّ مَنْ كَانَ
قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ
مَسَاجِدَ أَلَا فَلَا تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ
ذَلِكَ. (رواه مسلم)
“Ketahuilah, sesungguhnya
umat-umat sebelum kamu menjadikan kuburan
para nabi dan orang-orang soleh mereka sebagai mesjid. Maka janganlah
kamu menjadikan kuburan sebagai mesjid. Sesungguhnya aku melarangmu melakukan
itu.” (HR. Muslim)
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَرَضِهِ الَّذِي لَمْ يَقُمْ مِنْهُ : " لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا
قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ " لَوْلَا ذَلِكَ أُبْرِزَ قَبْرُهُ
غَيْرَ أَنَّهُ خَشِيَ أَوْ خُشِيَ أَنَّ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا .
Dari Aisyah r.a. berkata :
Rasulullah SAW berkata di saat sakitnya yang beliau tidak pernah bangun lagi
dari padanya : “Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani disebabkan mereka
menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai mesjid.” Kalau bukan karena itu tentulah kuburan Rasulullah
SAW ditonjolkan, tapi beliau takut akan hal itu atau takut dijadikan sebagai
mesjid. (HR. Bukhari dan Muslim)
Para ulama
berkata : Sesungguhnya Nabi saw melarang untuk menjadikan kuburannya dan
kuburan orang lain sebagai masjid karena beliau khawatir lahirnya sikap berlebih-lebihan dalam mengagungkannya
dan timbulnya fitnah karenanya, yang barangkali hal itu akan membawa pada
kekufuran sebagaimana yang terjadi pada umat-umat terdahulu.
- Melakukan shalat menghadap kuburan.
Sabda Rasulullah saw :
لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلَا
تُصَلُّوا إِلَيْهَا. (رواه مسلم)
Janganlah kalian duduk di atas
kuburan, dan jangan shalat menghadap kuburan. (HR. Musliam)
3. Menerangi
dan menyalakan lampu di atas kuburan.
Sabda Rasulullah saw :
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَائِرَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا
الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ (رواه أحمد وابو
داود والترمذي والنسائي )
Rasulullah saw melaknat
wanita-wanita yang menziarahi kuburan, orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid, dan memberikan lampu di atas
kuburan. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan Nasa’i)
4. Membuat
bangunan di atas kuburan dan menemboknya.
Imam Muslim
meriwayatkan dari Jabir bahwa ia berkata :
نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ
وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
Rasulullah saw melarang menembok
kuburan, duduk di atasnya, dan membuat bangunan di atasnya.
5. Menulis
sesuatu di atas kuburan.
Berdasarkan
hadits Jabir :
نَهَى
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُجَصَّصَ الْقُبُورُ وَأَنْ
يُكْتَبَ عَلَيْهَا . (رواه أبو داوود والترمذي).
“Nabi saw melarang penembokan kuburan dan
menulis sesuatu di atasnya”. (HR. Abu Daud dan
Tirmidzi)
6. Meninggikan
kuburan.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh
Ali :
عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ قَالَ قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ أَلَا
أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا
إِلَّا سَوَّيْتَهُ .
Dari Abu al-Hayyaj al-Asadiy, ia berkata : Ali bin Abi Thalib berkata
kepadaku : Aku mengutusmu sebagaimana Rasulullah saw mengutusku bahwa janganlah
kamu membiarkan suatu patung kecuali kamu menghapusnya, dan (janganlah kamu
membiarkan) kuburan yang dimuliakan kecuali kamu meratakannya. (HR. Muslim, Abu
Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ahmad)
7. Menjadikan kuburan sebagai hari raya.
Berdasarkan hadits :
لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا وَصَلُّوا
عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُم
“Janganlah
kamu menjadikan rumahmu sebagai kuburan, janganlah kamu menjadikan kuburanku sebagai hari raya,
haturkanlah shalawat untukku,
karena shalawat kamu pasti
sampai kepadaku, di mana pun
kamu berada.” (HR. Abu Daud)
Kuburan Rasulullah saw adalah kuburan yang paling utama di permukaan bumi.
Jika beliau melarang menjadikan kuburannya sebagai hari raya, maka kuburan yang
lainnya lebih utama untuk dilarang, betapapun kedudukannya. Cukuplah seseorang
membaca shalawat dan salam kepada beliau, karena shalawat dan salamnya akan
sampai kepada beliau di mana saja orang itu berada.
Hikmah larangan mengagungkan kuburan :
Islam melarang mengagungkan kuburan adalah
untuk menutup pintu kemusyrikan baik syirik besar maupun syirik kecil
sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Nuh, dan sebagaimana terjadi sekarang
ini. Sikap berlebih-lebihan dalam hal kuburan orang-orang shalih akan membawa
menjadikan kuburan itu sebagaiberhala yang disembah. Oleh karena itu Rasulullah
saw bersabda :
اللَّهُمَّ لَا
تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ اشْتَدَّ غَضَبُ اللَّهِ عَلَى قَوْمٍ
اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ (رواه مالك).
“Ya Allah, janganlah engkau
menjadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah, sunggh kemurkaan Allah amat
besar kepada kaum yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai mesjid.” (HR. Malik)
Suatu hal yang harus disesalkan oleh
setiap muslim yang semangat membela agamanya adalah bahwa yang diperingatkan
Rasulullah saw telah banyak dilakukan oleh orang Islam. Mereka menjadikan
kuburan sebagian orang-orang shalih sebagai hari raya, menghiasinya, mendirikan
masjid dan kubah di atasnya, menyalakan lampu di atasnya, melakukan thawaf sebagaimana thawaf (mengelilingi) ka’bah, mengusap-usapnya, melakukan nadzar, mencium tembok kuburan,
menempelkan tanah kuburan pada pipi, merenung di kuburan dengan penuh khusyu’,
meminta pertolongan kepada ahli kubur, memohon hutangnya terbayar, dilepaskan
dari segala kesusahan, disembuhkan dari penyakit, meminta pertolongan dalam
menghadapi musuh. Sebagian mereka menuliskan permohonannya itu dan
diletakkannya di atas kubura. Na’udzu billah min dzalik.
V. TABARRUK (MENCARI KEBERKAHAN)
Di antara syirik yang diperangi Nabi saw
adalah mencari berkah pada pohon kayu, batu, kuburan, dan semacamnya. Dengan
keyakinan bahwa semuanya itu mempunyai rahasia atau keberkahan khusus yang
diperoleh dengan mengusapnya, mengelilinginya, menziarahinya, atau duduk di
dekatnya. Inilah yang akan membawa pada syirik besar bagi orang yang
melakukannya terus-terusan. Sebab patung-patung berhala orang Arab yang besar
adalah berasal dari batu besar seperti Laata,
pohon kayu seperti ‘Uzza, atau batu seperti Manah. Oleh karena itu Nabi
saw mengingatkan dan melarangnya.
Dalam hadits Tirmidzi disebutkan :
عَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَمَّا خَرَجَ إِلَى حُنَيْنٍ مَرَّ بِشَجَرَةٍ لِلْمُشْرِكِينَ يُقَالُ
لَهَا ذَاتُ أَنْوَاطٍ يُعَلِّقُونَ عَلَيْهَا أَسْلِحَتَهُمْ فَقَالُوا يَا
رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُبْحَانَ اللَّهِ هَذَا
كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَرْكَبُنَّ سُنَّةَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
Dari Abu Waqid al-Laitsi bahwa ketika Rasulullah saw pergi keluar ke Hunain, melewati sebatang pohon orang-oang musyrik yang
disebut Dzatu Anwath, mereka selalu mendatanginya dan menggantungkan
senjata-senjata perang pada pohon itu. Mereka (para sahabat) berkata : wahai Rasulullah saw, buatkanlah bagi kami Dzatu Anwath
sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath. Maka
Nabi saw bersabda : “Maha suci Allah, ini adalah seperti perkataan kaum Nabi Musa (kepada
Musa) : ‘Buatlah untuk kami
sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).’
Sungguh kalian akan melakukan tradisi orang-orang sebelum kamu”. (HR.
Tirmidzi)
Lahir hadits
ini bahwa mereka menginginkan sekedar mendapatkan kebekahan dari pohon ini dan menggantungkan senjata-senjata
perang mereka pada pohon itu. Lalu Nabi melarang keras keinginan ini untuk
menutup jalan yang membawa pada kemusyrikan.
Di antara yang sangat disesalkan, bahwa banyak kaum muslimin yang telah
menyimpang dari petunjuk Nabi saw, mereka mengikuti tradisi orang-orang sebelum
mereka. Mereka membuat patung, lalu mereka mencari keberkahan pada patung itu,
mengusapnya, berdoa di sisinya, bertawassul dengannya, selalu mendatanginya
yang menyerupai mendatanginy orang-orang musyrikin pada patung berhala mereka.
Banyak di negeri kaum muslimin yang memiliki “Dzatu Anwath” yang dilarang Nabi
saw.
Kaum
muslimin, pemerintahnya dan khususnya para ulamanya wajib menghilangkan
kemungkaran ini, menghancurkan dan menghapus patung-patung ini, baik berupa
pohon kayu, tugu, kuburan, mata air, batu, atau yang lainnya. Hal itu
meneladani perbuatan Rasulullah saw ketika mengutus Ali bin Abi Thalib dan
memrintahkannya untuk meratakan kuburan yang dimuliakan dengan tanah
sebagaimana disebutkan dalam hadits :
عَنْ
أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ قَالَ قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ
أَبِي طَالِبٍ أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ
وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ .
Dari Abu al-Hayyaj al-Asadiy, ia berkata : Ali bin Abi Thalib berkata
kepadaku : Aku mengutusmu sebagaimana Rasulullah saw mengutusku bahwa janganlah
kamu membiarkan suatu patung kecuali kamu menghapusnya, dan (janganlah kamu
membiarkan) kuburan yang dimuliakan kecuali kamu meratakannya. (HR. Muslim, Abu
Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ahmad)
(والله
أعلم بالصواب)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar