Kamis, 06 Desember 2012

Beberapa Sarana Syirik


BEBERAPA SARANA SYIRIK YANG BERTENTANGAN DENGAN TAUHID ATAU DENGAN KESEMPURNAAN TAUHID


Sarana yang dalam bahasa Arabnya  bahasa Arabnya  wasilah  adalah sesuatu yang mengantar kepada sesuatu yang lain. Dalam syari’at Islam, sarana memiliki hukum yang sama dengan sesuatu ke mana sarana itu mengantar. Jadi, kalau sarana itu mengantar kepada syirik besar, maka  sarana itu hukumnya sama dengan syirik besar yang bertentangan dengan tauhid. Begitu juga, kalau sarana itu mengantar kepada syirik kecil,  maka sarana itu hukumnya sama dengan syirik kecil yang bertentangan dengan kesempurnaan tauhid. Oleh karena itu mengetahui sarana syirik merupakan suatu yang sangat penting. Berikut ini, akan disebutkan beberapa sarana syirik yang sangat penting untuk diketahui.

I. TAWASSUL YANG BID’AH

A.    Pengertian Tawassul

Dalam bahasa Arab, tawassul berarti taqarrub atau mendekat. Misalnya firman Allah SWT :
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ
Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka ( QS. Al-Isra’/17 : 57 )
Maksud ayat di atas adalah, jalan yang dapat mendekatkan mereka kepada Tuhan mereka.  
 Dalam terminology syari’at Islam, tawassul  adalah taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan melakukan bebagai ketaatan dan meninggalan larangan. Pengertian inilah yang dimaksudkan oleh para Mufassir (Ahli Tafsir) dalam menafsikan ayat di atas (al-Isra’:57). Tawassul digunakan juga dalam arti mendekatkan diri kepada Allah melalui doa orang lain dan doa orang yang mendekatkan diri tersebut kepada Allah dengan menggunakan nama dan sifat Allah dan lainnya.

B.                 Pembagian Tawassul

Tawassul secara garis besar dibagi menjadi dua jenis : tawassul masyru’ (diperintahkan) dan tawassul ghayru masyru’ (tidak diperintahkan).
Tawassul masyru’ (diperintahkan) yaitu taqarrub kepada Allah dengan cara yang dicintai dan diridhai Allah. Misalnya dengan ibadah-ibadah wajib atau sunnah, baik berupa perkataan maupun perbuatan atau keyakinan. Tawassul masyru’ ini memiliki banyak jenis :
            Pertama, tawassul kepada Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya Allah    berfirman :
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu. (QS. Al-A’raf/7 : 180 )
Kedua, tawassul kepada Allah dengan Iman dan Tauhid. Firman-Nya :
رَبَّنَا آَمَنَّا بِمَا أَنْزَلْتَ وَاتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ
Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)". ( QS. Ali Imran/3 : 53 )
Ketiga, tawassul kepada Allah dengan amal saleh dimana seorang hamba memohon kepada Allah dengan menyebutkan amalnya paling baik seperti shalat, puasa, membaca Al-Qur’an, meninggalkan yang haram dan semacamnya. Yang termasuk klasifikasi ini adalah :
1.    Dengan menyebutkan amal yang paling baik. Contoh : hadits yang menceritakan tiga orang terperangkap dalam gua. (lihat hadits R. Shalilhin bab Ikhlas no 12)
2.    Dengan menyebut kebutuhan seorang hamba kepada Allah. Contoh dilakukan oleh Nabi Ayyub. Firman Allah :
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: "(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang". (QS. Al-Anbiya’/21 : 83)
3.    Mengakui kezaliman seorang hamba terhadap dirinya sendiri. Contoh  yang dilakukan oleh Nabi Yunus. Al-Qur’an melukiskannya :
وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: "Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim."  (QS. Al-Anbiya’/21 : 87)
4.    Dengan bertobat. contoh berkata seperti ini : “Ya Allah sesungguhnya aku telah bertobat kepada-Mu maka ampunilah aku.”
Keempat, tawassul dengan doa orang-orang  saleh. Contoh : seseorang mengatakan kepada orang yang dianggap saleh : “Berdoalah untukku” atau “jangan lupa berdoa untukku wahai saudaraku”, dan orang itu mendengarkan permintaan tersebut. Di antara dalil tawassul ini adalah hadits :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ
Dari Anas bin Malik bahwa Umar bin Khattab ra apabila mereka ditimpa kemarau,  beliau meminta hujan dengan perantaraan Abbas bin Abdul Muthalib. Beliau berkata : Ya Allah, sesungguhnya kami dulu bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan Nabi kami lalu Engkau menurunkan hujan kepada kami, dan sekarang kami bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan paman nabi kami, maka turunkanlan hujan kepada kami, lalu mereka pun diturunkan hujan. (HR. Bukhari)
Sedangkan  tawassul ghayru masyru’ (tidak diperintahkan/tawassul yang bid’ah), yaitu taqarrub kepada Allah dengan cara yang tidak dicintai dan diridhai Allah, baik dengan perkataan maupun perbuatan atau keyakinan.
Pertama, tawassul kepada Allah dengan berdoa dan memohon pertolongan kepada yang telah mati atau ghaib dan semacamnya. Ini digolongkan sebagai syirik besar yang bertentangan dengan tauhid dan menyebabkan pelakunya keluar dari Islam.
Kedua, tawassul kepada Allah dengan bernadzar kepada wali-wali dan orang-orang shalih yang telah meninggal. Contoh perkataan seseorang : “Wahai Tuanku Fulan, bila Allah memberi rezeki kepadaku dengan sesuatu, maka akan aku jadikan untukmu sesuatu”. Karena nadzar termasukibadah, memberikan sebagian ibadah kepada selain Allah termasuk syirik”.
Ketiga, tawassul kepada Allah dengan menyembelih hewan kurban kepada arwah para wali.


Tawassul yang diperselisihkan.

Selain tawassul yang telah disepakati oleh para ulama, yaitu tawassul yang diperintahkan dan yang tidak diperintahkan, ada juga tawassul yang diperselisihkan oleh para ulama, yaitu tawassul dengan diri, pangkat, hak, kedudukan Nabi saw dan orang-orang shaleh. Hal itu seperti perkataan seseorang : (اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُك بِنَبِيِّك أَوْ بِجَاهِ نَبِيَّك أَوْ بِحَقِّ نَبِيَّك /Ya Allah, saya mohon kepada-Mu dengan perantaraan Nabi-Mu, atau kedudukan Nabi-Mu, atau hak Nabi-Mu).
Kebanyakan Ulama fiqh (madzhab Maliki, Syafi’i, ulama madzhab  Hanafi yang datang kemudian, dan sebagian ulama madzhab Hanbali) berpendapat bahwa boleh bertawassul dengan diri, kedudukan dan hak Nabi saw, baik pada masa hidupnya maupun setelah wafatnya. Di antara dalil mereka adalah :
1.      Firman Allah dalam surat al-Isra’ :
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ
Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka ( QS. Al-Isra’/17 : 57 )

2.                   Hadits tentang orang buta yang memohon  kepada Rasululah saw.   untuk mendoakannya sebagaimana disebutkan dalam hadits di bawah ini :
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ أَنَّ رَجُلًا ضَرِيرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : ادْعُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَنِي ، قَالَ : إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ ، وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ . قَالَ : فَادْعُهْ ، قَالَ : فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ ، فَيُحْسِنَ وُضُوءَهُ وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ :  اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ ، إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ ، اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ .
Dari Usman bin Hunaif bahwa seorang laki-laki buta datang kepada Rasulullah saw. seraya berkata : berdo’alah kepada Allah agar menyembuhkanku. Beliau bersabda : “jika kamu menghendaki aku berdoa, dan jika kamu menghendaki kamu bersabar”. Laki-laki itu berkata : berdoalah kepada-Nya. Lalu beliau memerintahkannya berwudhu. Ia lalu berwudhu dengan sempurna dan berdoa dengan doa ini : “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dan aku berhadap kepada-mu dengan perantaraan Nabi Muhammad, Nabi rahmat, aku berhadap  dengan perantaraanmu kepada Tuhanku dalam hajatku ini agar di penuhi, Ya Allah, beri syafaatlah kepadanya karenaku. (HR. Tirmidzi, dan beliau mengatakan : hadits hasan shahih)
3.      Sabda Rasulullah saw dalam berdo’a untuk Fatimah binti Asad :
اغْفِرْ لأُِمِّي فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ ولَقِّنْهَا حُجَّتَها وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مُدْخَلَهَا بِحَقِّ نَبِيِّك وَالأَْنْبِيَاءِ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِي فَإِنَّك أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
(Ya Allah) ampuni ibuku Fatimah bin Asad, ajarkanlah dia berargumentasi, lapangkanlah kuburannya dengan perantaraan hak Nabi-Mu dan para nabi sebelumku, karena sesungguhnya Engkau Maha Pemberi rahmat. (HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan al-Mu’jam al-wasith, al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid, beliau berkata : dalam hadits itu ada Ruh ibn ash-Shalah yang dinilai tsiqah (dapat dipercaya) oleh Ibnu Hibban dan Hakim, dan dalam hadits itu ada kelemahan, sedangkan perawi lainnya adalah shahih.
            Sedangkan  Ibnu Taimiah dan Ibnu Qoyyim berpendapat bahwa tawassul ini tidak dibenarkan dalam Islam. Karena perbuatan manusia hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri di sisi Allah SWT. Sebgaimana firman Allah di bawah ini :
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.       (QS. An-Najm/53 : 39)
Jadi kedudukan mulia seseorang yang saleh di sisi Allah hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, tidak bagi orang lain. Adalah suatu kesalahan besar orang yang menganalogikan Allah dengan manusia. Jika dalam hubungan sesama manusia kita sering menggunakan perantara karena adanya manfaat tertentu yang diperolehnya, maka kepada Allah hal itu tidak dibutuhkan. Untuk memperoleh keridhoan Allah seorang hamba tidak perlu menggunakan perantara. Itulah sebabnya para sahabat tidak melakukan hal dengan kedudukan Rasulullah saw di sisi-Nya. Mereka setelah wafatnya Rasul justru memohon kepada Abbas untuk mendo’akan mereka. Hal ini yang pernah dilakukan Umar bin Khattab ra. Dalam shahih Al-Bukhari disebutkan bahwa Umar meminta hujan (kepada Allah) bertawassul dengan (do’a) Al-Abbas –Paman Rasul- dan ia berkata: “Ya Allah, sesungguhnya kami apabila tertimpa kepayahan/kekeringan, kami bertawassul kepada Engkau dengan Nabi kami, kemudian Engkau menghujani kami. Dan apabila kami bertawassul kepada Engkau dengan paman Nabi kami, hendaklah Engkau menghujani kami, akhirnya mereka diberikan hujan.”
Di sini Imam Ibnu Taimaih berkata: “Do’a Umar dalam istisqo ini……. menunjukan bahwa tawassul merupakan bentuk tawassul yang dibenarkan. Itulah tawassul dengan do’a dan syafaatnya bukan meminta dengan dzatnya. Karena seandainya hal ini (meminta dengan dzatnya) diperbolehkan maka Umar, sahabat Muhajirin dan Anshar niscaya bertawassul dengan dzat Nabi, tidak bertawassul dengan Al-Abbas.” (Qoidah Jaliah fii at-Tawassul, Ibnu Taimiah, 58)
Adapun hadits tentang orang buta yang berkata kepada Rasulullah saw  “Aku bertawassul denganmu wahai Muhammad kepada Tuhanmu.” (HR Ibnu Majah dan At-Tirmidzi), maksudnya adalah permohonan kepada Rasulullah untuk mendo’akannya. Karena Rasulullah selanjutnya berkata kepada orang itu; “Ya Allah, beri syafaatlah kepadanya karenaku.” (Imam Ahmad). Hal ini dengan mengasumsikan bahwa hadits ini adalah shahih, sebab sebenarnya sanadnya terputus. (Lihat Almadkhal liddirasati al-aqidat al-islamiah ‘alaa madzhabi ahli as-sunnah wa al-jama’ah, DR Ibrahim Al-Buraikan).
Adapun hadits “Bertawassullah kamu dengan kedudukanku kerena kedudukanku di sisi Allah matlah besat.” Adalah maudlu’ (dipalsukan). (Lihat Silsilat al-ahaadits ad-dho’ifah wa al-maudhu’at, Al-Baany).
Dan sementara bertawassul dengan dzat orang-orang yang saleh juga mengandung banyak pengertian yang semua dilarang dan bertentangan dengan syari’at :
a.       Bertawassul dengan kedudukan seseorang di sisi Allah.
b.      Dengan lafadz itu ia ingin bersumpah kepada Allah. Dan bersumpah kepda Allah dengan selainnya adalah haram dan termasuk syirik kecil.
c.       Ia ingin membuat perantara antara Allah dengan hamba-hambaNya dalam mendatangkan manfaat dan menolak madharat.
d.      Dengan lafadz ini ia bermaksud memohon berkah yang tidak dibenarkan.

Dan beberpa hadits yang digunakan dalil oleh kelompok ulama pertama  dijawab para Ulama yang tidak memperbolehkan bahwasanya yang dimaksud dengan tawassul di sana adalah permohonan do’a kepada Rasulullah saw dan sebenarnya hadits yang berkaitan dengan orang buta adalah dho’if.
Dari kedua pendapat di atas jelaslah bahwa tawassul dengan zat, kedudukan,  dan hak Nabi dan orang-orang yang shaleh adalah merupakan khilaf fiqhy yang menjadi perdebatan para Ulama. Oleh karena itu, Imam Hasan Al-Banna dalam Ushul Al-‘Isyriin berkata: “Dan berdo’a apabila disertai dengan tawassul kepada Allah dengan seseorang dari makhlukNya adalah khilaf far’i (fiqhy) dalam cara berdo’a dan bukan merupakan masalah-masalah aqidah.”

Sikap Seorang Mukmin

Untuk menjaga tauhid dan kesempuranannya, setiap mukmin harus berupaya dan berusaha menjauhkan dirinya dari bentuk tawassul yang mengandung bid’ah dan dilarang oleh Islam. Karena tawassul yang mengandung nilai kemungkaran ini akan berpengaruh pada terkabulnya do’a itu sendiri. Oleh karena itu, untuk kehati-hatian sebaiknya seorang muslim tidak melakukan tawassul dengan zat, kedudukan, dan hak Nabi dan orang-orang shaleh yang diperselisihkan itu. Masih banyak cara tawassul yang diperbolehkan yang tidak diperdebatkan para ulama. Di samping itu agar doa terkabul,  setiap mukmin hendaknya memperhatikan do’a-do’a yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah. Tentunya selain menjaga etika-etika berdo’a yang telah ditetapkan para Ulama seperti yang paparkan Imam Ibnu Qoyyim dalam Kitab Al-Jawaab Al-Kaafi. Hal ini dimaksudkan agar do’a cepat dan mudah dikabulkan Allah SWT.

II. BERLEBIH-LEBIHAN DALAM MENGAGUNGKAN NABI SAW

Nabi saw melarang sikap ghuluww (berlebih-lebihan dalam mengagungkan dan memuji beliau. Beliau bersabda :
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ  (رواه البخاري).
Janganlah kalian memujiku secara berlbih-lebihan sebagaimana orang-orang Nasrani memuji Isa bin Maryam secara berlebih-lebihan. Sesungguhnya aku adalah hamba-Nya, maka katakanlah hamba Allah dan Rasul-Nya. (HR. Bukhari)
Pujian yang tidak berlebih-lebihan adalah pujian yang diberikan Allah  dalam al-Qur’an dengan menggunakan kata ‘abd’ (hamba) yang merupakan kedudukan yang paling mulia.
Apabila beliau melihat atau mendengar perbuatan atau perkataan yang membawa pada sikap ghuluw tehadap diri beliau, beliau mencegahnya. Dalam hadits :
عَنْ أَنَسٍ  أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا سَيِّدَنَا وَابْنَ سَيِّدِنَا وَيَا خَيْرَنَا وَابْنَ خَيْرِنَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُولُوا بِقَوْلِكُمْ وَلَا يَسْتَهْوِيَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهِ مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُونِي فَوْقَ مَا رَفَعَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ (رواه أحمد).
Dari Anas bin Malik bahwa seorang laki-laki berkata : wahai Muhammad, wahai tuan kami dan putra tuan kami, wahai orang yang terbaik di antara kami dan putra orang terbaik di antara kami. Lalu Rasulullah saw bersabda:”Wahai manusia, katakanlah sesuai dengan perkataan orang yang ahli dalam agama di antara kalian, dan janganlah kalian dihinakan oleh setan, aku adalah Muhammad bin Abdullah seorang hamba Allah dan rasul-Nya, aku tidak suka kalian mengangkatku melebihi apa yang Allah ‘azza wa jalla telah mengangkatku”. (HR. Ahmad)

III. SIKAP GHULUW (BERLEBIH-LEBIHAN) TERHADAP ORANG SHALEH

Di antara yang dilarang Islam adalah sikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap orang shaleh. Oleh karena itu Allah berfirman menginatkan Ahli Kitab :
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ  )النساء:171)
Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu  mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. (QS. An-Nisa’:171)
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ (المائدة:77)
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus." (QS. Al-Maidah:77)
Syirik yang pertama sekali terjadi dipermukaan bumi adalah-yaitu syirik kaum Nabi Nuh- disebabkan sikap berlebih-lebihan terhadap orang shalih. Dalam shahih Bukhari diriwayatkan dari Ibnu Abbas ttg tuhan mereka Wadd, Suwa’, Yaguts, Ya’uq, dan Nasr :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا  صَارَتْ الْأَوْثَانُ الَّتِي كَانَتْ فِي قَوْمِ نُوحٍ فِي الْعَرَبِ بَعْدُ أَمَّا وَدٌّ كَانَتْ لِكَلْبٍ بِدَوْمَةِ الْجَنْدَلِ وَأَمَّا سُوَاعٌ كَانَتْ لِهُذَيْلٍ وَأَمَّا يَغُوثُ فَكَانَتْ لِمُرَادٍ ثُمَّ لِبَنِي غُطَيْفٍ بِالْجَوْفِ عِنْدَ سَبَإٍ وَأَمَّا يَعُوقُ فَكَانَتْ لِهَمْدَانَ وَأَمَّا نَسْرٌ فَكَانَتْ لِحِمْيَرَ لِآلِ ذِي الْكَلَاعِ أَسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِينَ مِنْ قَوْمِ نُوحٍ فَلَمَّا هَلَكُوا أَوْحَى الشَّيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ أَنْ انْصِبُوا إِلَى مَجَالِسِهِمْ الَّتِي كَانُوا يَجْلِسُونَ أَنْصَابًا وَسَمُّوهَا بِأَسْمَائِهِمْ فَفَعَلُوا فَلَمْ تُعْبَدْ حَتَّى إِذَا هَلَكَ أُولَئِكَ وَتَنَسَّخَ الْعِلْمُ عُبِدَتْ .
Dari Ibnu Abbas ra : Berhala-berhala yang dulu disembah oleh kaum Nabi Nuh adalah berhala-berhala yang kemudian disembah oleh orang-orang Arab sesudahnya. Adapun Wadd adalah behala suku Kalb di Daumatul Jandal, Suwa’ adalah berhala suku Hudzail, Yaguts adalah berhala suku Murad kemudian Bani Ghuthaif di Jauf di Saba’, Ya’uq adalah berhala suku Hamdan, Nasr adalah berhala suku Himyar keluarga Dzil Kila’. (Dikatakan mereka itu) adalah nama-nama orang-orang shalih  dari kaum Nabi Nuh. Setelah mereka meninggal dunia, setan membisikkan kepada kaumnya untuk membuat patung di tempat dulu mereka duduk dan memberikan nama patung-patung itu dengan nama mereka. Lalu kaum nabi Nuh itu melakukannya, patung-patung itubelum disembah. Baru  setelah mereka meninggal dunia dan lenyaplah pengetahuan tentang patung-patung itu, patung-patung itu disembah.
Sebagian Ulama Salaf berkata : Ketika orang-orang shalih itu meninggal, mereka (pengikutnya) berdiam diri di kuburan mereka, kemudian membuat patung mereka. Setelah berlalu waktu yang panjang, mereka menyembahnya.
Dari sinilah bahwa sikap ghuluw sebagian umat Islam terhadap orang-orang yang mereka yakini orang shalih dan wali –khususnya kuburan-kuburan  yang mereka ziarahi- akan membawa pada beberapa bentuk kemusyrikan, seperti nadzar, berkurban, memohon pertolongan pada mereka dan semacamnya. Dan bisa jadi akan membwa pada syirik besar, yaitu keyakinan bahwa mereka mempunyai kekuasaan dan pengaruh di alam ini, sehingga mereka menyembah selain Allah  atau menyembah mereka bersama menyembah Allah.

IV. MENGAGUNGKAN KUBURAN

Di antara yang sangat diperingatkan Islam adalah mengagungkan kuburan, khususnya kuburan para Nabi dan orang shalih. Oleh karena itu Islam melarang beberapa hal yang membawa pada pengagungan kuburan, di antaranya :

1.                   Menjadikan kuburan sebagai masjid.

Sabda Rasulullah saw :
أَلَا وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ أَلَا فَلَا تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ. (رواه مسلم)
“Ketahuilah, sesungguhnya umat-umat sebelum kamu menjadikan kuburan  para nabi dan orang-orang soleh mereka sebagai mesjid. Maka janganlah kamu menjadikan kuburan sebagai mesjid. Sesungguhnya aku melarangmu melakukan itu.” (HR. Muslim)

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَرَضِهِ الَّذِي لَمْ يَقُمْ مِنْهُ : " لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ " لَوْلَا ذَلِكَ أُبْرِزَ قَبْرُهُ غَيْرَ أَنَّهُ خَشِيَ أَوْ خُشِيَ أَنَّ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا .
 Dari Aisyah r.a. berkata : Rasulullah SAW berkata di saat sakitnya yang beliau tidak pernah bangun lagi dari padanya : “Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani disebabkan mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai mesjid.”  Kalau bukan karena itu tentulah kuburan Rasulullah SAW ditonjolkan, tapi beliau takut akan hal itu atau takut dijadikan sebagai mesjid. (HR. Bukhari dan Muslim)
Para ulama berkata : Sesungguhnya Nabi saw melarang untuk menjadikan kuburannya dan kuburan orang lain sebagai masjid karena beliau khawatir lahirnya  sikap berlebih-lebihan dalam mengagungkannya dan timbulnya fitnah karenanya, yang barangkali hal itu akan membawa pada kekufuran sebagaimana yang terjadi pada umat-umat terdahulu.

  1. Melakukan shalat menghadap kuburan.

Sabda Rasulullah saw :
لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا. (رواه مسلم)
Janganlah kalian duduk di atas kuburan, dan jangan shalat menghadap kuburan. (HR. Musliam)

3.      Menerangi dan menyalakan lampu di atas kuburan.

Sabda Rasulullah saw :
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَائِرَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ  (رواه أحمد وابو داود والترمذي والنسائي )
Rasulullah saw melaknat wanita-wanita yang menziarahi kuburan, orang-orang yang menjadikan kuburan   sebagai masjid, dan memberikan lampu di atas kuburan. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan Nasa’i)

4. Membuat bangunan di atas kuburan dan menemboknya.

Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir bahwa ia berkata :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ

Rasulullah saw melarang menembok kuburan, duduk di atasnya, dan membuat bangunan di atasnya.

5. Menulis sesuatu di atas kuburan.

Berdasarkan hadits Jabir :
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُجَصَّصَ الْقُبُورُ وَأَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهَا . (رواه أبو داوود والترمذي).
 “Nabi saw melarang penembokan kuburan dan menulis sesuatu di atasnya”.  (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

6.  Meninggikan kuburan.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ali :
عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ قَالَ  قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ .
Dari Abu al-Hayyaj al-Asadiy, ia berkata : Ali bin Abi Thalib berkata kepadaku : Aku mengutusmu sebagaimana Rasulullah saw mengutusku bahwa janganlah kamu membiarkan suatu patung kecuali kamu menghapusnya, dan (janganlah kamu membiarkan) kuburan yang dimuliakan kecuali kamu meratakannya. (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ahmad)

7. Menjadikan kuburan sebagai hari raya.

Berdasarkan hadits :
  لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُم
Janganlah kamu menjadikan rumahmu sebagai kuburan, janganlah kamu menjadikan kuburanku sebagai  hari raya, haturkanlah shalawat untukku, karena shalawat kamu pasti sampai kepadaku, di mana pun kamu berada.” (HR. Abu Daud)
Kuburan Rasulullah saw adalah kuburan yang paling utama di permukaan bumi. Jika beliau melarang menjadikan kuburannya sebagai hari raya, maka kuburan yang lainnya lebih utama untuk dilarang, betapapun kedudukannya. Cukuplah seseorang membaca shalawat dan salam kepada beliau, karena shalawat dan salamnya akan sampai kepada beliau di mana saja orang itu berada.

Hikmah larangan mengagungkan kuburan :

Islam melarang mengagungkan kuburan adalah untuk menutup pintu kemusyrikan baik syirik besar maupun syirik kecil sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Nuh, dan sebagaimana terjadi sekarang ini. Sikap berlebih-lebihan dalam hal kuburan orang-orang shalih akan membawa menjadikan kuburan itu sebagaiberhala yang disembah. Oleh karena itu Rasulullah saw bersabda :
اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ اشْتَدَّ غَضَبُ اللَّهِ عَلَى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ (رواه مالك).
 “Ya Allah, janganlah engkau menjadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah, sunggh kemurkaan Allah amat besar kepada kaum yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai mesjid.” (HR. Malik)
Suatu hal yang harus disesalkan oleh setiap muslim yang semangat membela agamanya adalah bahwa yang diperingatkan Rasulullah saw telah banyak dilakukan oleh orang Islam. Mereka menjadikan kuburan sebagian orang-orang shalih sebagai hari raya, menghiasinya, mendirikan masjid dan kubah di atasnya, menyalakan lampu di atasnya,  melakukan thawaf sebagaimana thawaf  (mengelilingi) ka’bah, mengusap-usapnya,  melakukan nadzar, mencium tembok kuburan, menempelkan tanah kuburan pada pipi, merenung di kuburan dengan penuh khusyu’, meminta pertolongan kepada ahli kubur, memohon hutangnya terbayar, dilepaskan dari segala kesusahan, disembuhkan dari penyakit, meminta pertolongan dalam menghadapi musuh. Sebagian mereka menuliskan permohonannya itu dan diletakkannya di atas kubura. Na’udzu billah min dzalik.

V. TABARRUK (MENCARI KEBERKAHAN)

Di antara syirik yang diperangi Nabi saw adalah mencari berkah pada pohon kayu, batu, kuburan, dan semacamnya. Dengan keyakinan bahwa semuanya itu mempunyai rahasia atau keberkahan khusus yang diperoleh dengan mengusapnya, mengelilinginya, menziarahinya, atau duduk di dekatnya. Inilah yang akan membawa pada syirik besar bagi orang yang melakukannya terus-terusan. Sebab patung-patung berhala orang Arab yang besar adalah berasal dari batu besar seperti Laata,  pohon kayu seperti ‘Uzza, atau batu seperti Manah. Oleh karena itu Nabi saw mengingatkan dan melarangnya.
Dalam hadits Tirmidzi disebutkan :
عَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ  أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا خَرَجَ إِلَى حُنَيْنٍ مَرَّ بِشَجَرَةٍ لِلْمُشْرِكِينَ يُقَالُ لَهَا ذَاتُ أَنْوَاطٍ يُعَلِّقُونَ عَلَيْهَا أَسْلِحَتَهُمْ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُبْحَانَ اللَّهِ هَذَا كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَرْكَبُنَّ سُنَّةَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
Dari Abu Waqid al-Laitsi bahwa ketika Rasulullah saw  pergi keluar ke Hunain, melewati  sebatang pohon orang-oang musyrik  yang disebut Dzatu Anwath, mereka selalu mendatanginya dan menggantungkan senjata-senjata perang pada pohon itu. Mereka (para sahabat) berkata : wahai Rasulullah  saw, buatkanlah bagi kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath. Maka  Nabi saw bersabda : “Maha suci Allah, ini adalah seperti perkataan kaum Nabi Musa (kepada Musa) : ‘Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).’ Sungguh kalian akan melakukan  tradisi orang-orang sebelum kamu”. (HR. Tirmidzi)
Lahir hadits ini bahwa mereka menginginkan sekedar mendapatkan kebekahan dari  pohon ini dan menggantungkan senjata-senjata perang mereka pada pohon itu. Lalu Nabi melarang keras keinginan ini untuk menutup jalan yang membawa pada kemusyrikan.
Di antara yang sangat disesalkan, bahwa banyak kaum muslimin yang telah menyimpang dari petunjuk Nabi saw, mereka mengikuti tradisi orang-orang sebelum mereka. Mereka membuat patung, lalu mereka mencari keberkahan pada patung itu, mengusapnya, berdoa di sisinya, bertawassul dengannya, selalu mendatanginya yang menyerupai mendatanginy orang-orang musyrikin pada patung berhala mereka. Banyak di negeri kaum muslimin yang memiliki “Dzatu Anwath” yang dilarang Nabi saw.
Kaum muslimin, pemerintahnya dan khususnya para ulamanya wajib menghilangkan kemungkaran ini, menghancurkan dan menghapus patung-patung ini, baik berupa pohon kayu, tugu, kuburan, mata air, batu, atau yang lainnya. Hal itu meneladani perbuatan Rasulullah saw ketika mengutus Ali bin Abi Thalib dan memrintahkannya untuk meratakan kuburan yang dimuliakan dengan tanah sebagaimana disebutkan dalam hadits :
عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ قَالَ  قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ .
Dari Abu al-Hayyaj al-Asadiy, ia berkata : Ali bin Abi Thalib berkata kepadaku : Aku mengutusmu sebagaimana Rasulullah saw mengutusku bahwa janganlah kamu membiarkan suatu patung kecuali kamu menghapusnya, dan (janganlah kamu membiarkan) kuburan yang dimuliakan kecuali kamu meratakannya. (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ahmad)


(والله أعلم بالصواب)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar