Rabu, 27 November 2019


Berargumentasi Dengan Qadar
(Oleh :H. Asnin Syafiddin, Lc. MA)

Imam kepada qadar tidak berarti memberi alasan untuk meninggalkan kewajiban atau untuk mengerjakan maksiat. Kalau itu dibuat alasan, maka alasan itu jelas salah ditinjau dari beberapa segi :
1. Firman Allah SWT.  :
سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ
Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: "Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun." demikian pulalah orang-orang sebelum mereka Telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan kami. Katakanlah: "Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada kami?" kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta. (QS. Al-An’am/6 : 148).
Kalau alasan mereka dengan takdir itu dibenarkan, Allah SWT tentu tidak akan menjatuhkan siksa-Nya.

2. Firman–Nya :
رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا
“(Mereka yang kami utus) sebagai rasul-rasul pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. An-Nisa’/4 : 165)
              Kalau takdir dapat dibuat alasan bagi orang-orang yang salah, Allah SWT tidak
menafikkan dengan diutsnya para rasul, karena menyalahi sesuatu setelah terutusnya para
rasul jatuh pada takdir Allah juga.
3.           Hadits yang diriwayatkan  Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib bahwa Nabi saw. bersabda :
مَا مِنْكُمْ مِنْ اَحَدٍ إِلاَّ قَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ أَوْ مِنَ الْجَنَّةِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ ، اَلاَ نَتَّكِلُ يَارَسُوْلَ اللهِ ؟    قَالَ : لاَ اِعْمَلُوْا كُلٌّ مُيَسَّرٌ، ثُمَّ قَرَأَ " فَاَمَّا مَنْ اَعْطَى وَاتَّقَى"
            “ Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk{bagi]nya, akan tetapi telah tetaplah perkataan (ketetapan) dariku; sesungguhnya akan Aku penuhi neraka Jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama “. “Setiap diri kalian telah ditulis (ditetapkan) tempatnya di surga atau di neraka. Ada seorang dari sahabat bertanya, “Mengapa kita tidak (pasrah) saja, Wahai Rasul Allah?” Beliau menjawab, “Tidak. Berbuatlah karena masing-masing akan dimudahkan”. Lalu Beliau membacakan surat Al-Lail ayat 4-7:
اِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّى ، فَاَمَّامَنْ اَعْطَى وَاتَّقَى ، وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى ، فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى.
          Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah”. (QS. Al-Lail :   4-7)
              Jadi, Nabi SAW memerintahkan untuk berbuat serta melarang menyerah pada takdir.
4. Allah SWT memerintahkan serta melarang sesuatu pada hamba-Nya, namun tidak menuntutnya kecuali yang mampu dikerjakannya. Allah berfirman :  
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
 “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu…” (QS. At-Taghabun/64 : 16) 
Baca juga : QS. Al-Baqarah/2 : 286.
Kalau manusia dipaksakan untuk berbuat sesuatu yang tidak mungkin dikerjakannya, maka ini merupakan suatu kesalahan. Oleh karena itu, bila maksiat dilakukan karena kebodohan atau karena lupa, atau karena dipaksa, maka pelakunya tidak berdosa. Mereka dimaafkan Allah.
5. Takdir adalah rahasia yang tersembunyi, tidak dapat diketahui sebelum terjadinya takdir serta kehendak seseorang untuk mengerjakannya terlebih dahulu dari perbuatannya. Jadi, kehendak seseorang untuk mengerjakan sesuatu itu tidak berdasarkan pada pengetahuannya akan takdir Allah. Pada waktu itu habislah alasannya dengan  takdir karena tidak ada alasan bagi seseorang terhadap apa yang tidak diketahuinya.
6.  Kita melihat orang yang ingin mendapat kan urusan dunia secara layak, tidak ingin pindah kepada yang tidak layak. Apakah ia akan beralasan dengan takdir? Mengapa berpindah dari kurang menguntungkan kepada yang menguntungkan dengan alasan takdir? Bukankah dua hal itu satu? Coba perhatikan contoh di bawah ini :
             Kalau di depan seseorang ada dua jalan : pertama,  menuju ke sebuah negri yang       semuanya serba kacau,  pembunuhan, perampokan, pembantaian, kehormatan, ketakutan       dan kelaparan. Yang kedua, menuju sebuah negeri yang semuanya serba teratur, keamanan yang terkendali, kesejahteraan yang melimpah ruah , jiwa, kehormatan, dan harta benda di hormati. Jalan mana yang ia akan tempuh? Ia pasti akan menempuh jalan yang kedua yang menuju ke suatu negeri yang teratur serta aman. Tidak mungkin orang berakal menempuh jalan yang menuju ke sebuah negeri yang kacau serta menakutkan dengan alasan takdir. Mengapa urusan akhirat ia menempuh jalan yang menuju ke neraka bukan jalan yang menuju surga dengan beralasan takdir?
Contoh lain adalah seorang yang sakit disuruh meminum obat lalu meminumnya      sedangkan  hatinya menyukainya. Dan dilarang memakan makanan yang berbahaya lalu            meninggalkannya semetara hatinya menyukainya. Semua itu dimaksudkan mencari                pengobatan serta kesehatan. Orang yang sakit itu mungkin enggan minum obat atau             melanggar memakan makanan yang berbahaya dengan alasan menyerah pada takdir.         Bagaimana seseorang meninggalkan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya atau melakukan larangan Allah dan Rasul-Nya dengan beralasan pada takdir?
7.  Orang yang meninggalkan kewajiban serta melanggar kemaksiatan dengan alasan takdir itu seandainya dianiaya oleh seseorang, dirampas hartanya dan dirusak kehormatannya dengan beralasan pada takdir dan mengatakan: Anda jangan menyalahkan saya, karena kelaliman saya, ini adalah takdir Allah, alasannya itu tidak akan diterima. Bagaimana seseorang tidak mau menerima alasan orang lain dengan takdir dalam penganiayaannya terhadap orang lain, lalu ia sendiri beralasan dengan takdir terhadap kelalimannya dalam hak AllahSWT ? Diriwayatkan pada Amirul Mukminin Umar bin Khatab ra menerima seorang pencuri yang berhak dipotong tangannya. Beliau memerintahkan agar dipotong tangannya. Pencuri berkata: Tunggu dulu  Amirul Mukminin, aku mencuri ini hanya karena takdir Allah.Umarpun tidak kalah menjawab: Demikian kami memotong tanganmu hanya karena takdir Allah SWT.

(والله أعلم بالصواب)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar